Hafsah bersimpuh di depan makam suaminya, dalam keadaan berbadan dua. Wanita berjilbab itu menumpahkan rasa lelah, atas kejamnya dunia, disaat sang suami tercinta tidak ada lagi disisinya.
Karena kesalahan dimasa lalu, Hafsah terpaksa hidup menderita, dan berakhir diusir dari rumah orang tuanya.
Sepucuk surat peninggalan suaminya, berpesan untuk diberikan kepada sahabatnya, Bastian. Namun hampir 4 tahun mencari, Hafsah tak kunjung bertemu juga.
Waktu bergulir begitu cepat, hingga Hafsha berhasil mendapati kebenaran yang tersimpan rapat hampir 5 tahun lamanya. Rasa benci mulai menjalar menyatu dalam darahnya, kala tau siapa Ayah kandung dari putrinya.
"Yunna ingin sekali digendong Ayah, Bunda ...." ucap polos Ayunna.
Akankan Hafsah mampu mengendalikan kebencian itu demi sang putri. Ataukah dia larut, terbelunggu takdir ke 2nya.
SAQUEL~1 Atap Terbagi 2 Surga~
Cuma disini nama pemeran wanitanya author ganti. Cerita Bastian sempat ngegantung kemaren. Kita simak disini ya🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 19
Dimas tersadar, sedikit terlihat salah tingkah. Dia lalu berdehem, mencoba mengusir rasa gugupnya saat ini.
"Eghem! Oh ya, ini ... Saya ingin mencairkan cek ini!" ujar Dimas sambil menyodorkan selembar cek yang dia bawa.
"Oh ya, mohon tunggu sebentar ya, Pak!" Baru saja Hafsah ingin beranjak, spontan langkahnya terhenti, kala Dimas memanggilnya lagi.
"Hafsah, tunggu sebentar!"
"Iya, bagaimana Pak?" Hafsah terpaksa duduk kembali. Dahinya mengernyit, namun dia dipaksa untuk selalu ramah dan penuh senyuman.
"Ini data perusahaan tempat saya bekerja. Nanti uangnya langsung masukan kedalam rekening perusahaan saja!" imbuh Dimas, menyodorkan sebuah kartu identitas Perusahaan Atmaja.
Hafsah menerima kartu itu. Dia memandangi singkat, lalu mengotak atik komputer didepannya, untuk menyalin nomor rekening yang tertera. Setelah itu, Hafsah bangkit lagi berjalan masuk untuk meminta tanda tangan, atau cap atasannya.
Selang 5 menit, Hafsah kembali lagi sambil menyodorkan selembar bukti transaksi itu, dan juga mengembalikan kartu Perusahaan Dimas.
"Ini, Pak!"
"Terimakasih, Hafsah! Kalau begitu saya permisi!" Dimas bangkit dari duduknya, dan langsung berbalik. Namun baru dua langkah, dia tiba-tiba berhenti. Dimas kembali lagi kemeja Teller, dengan wajah yang terlihat salah tingkah.
"Hafsah, apa kamu punya katu nama? Semisal kelak kalau saya ke Bank, biar saya dapat bertanya sama kamu, ramai atau tidaknya."
Hafsah agak tertegun bingung. Dia lantas mengambil kartu nama miliknya, lalu dia kasihkan kepada pria muda didepannya itu.
"Terimaksih! Saya permisi!" Dimas langsung bergegas keluar, dengan wajah tampak bahagia.
Dista kini menyenggol lengan sang sahabat, "Bukanya, dia pria yang berada di Butik bu Fatma?"
"Iya Dis! Namanya pak Dimas! Dia Asisten di perusahaan Atmaja."
"Naksir kali, dia sama kamu, sah!" ledek Dista terkekeh.
"Ya nggak mungkin lah, Dis! Kamu ini ngawur aja! Aku hanya setia dengan mas Raga! Wlee ...." ejek Hafsah menjulurkan lidahnya.
•••Atmaja Group G•••
Sementara di perusahaan, kini Dimas tampak mengembangkan senyum bahagia, sambil bersorak didalam hati kala memandangi kartu nama milik Hafsah tadi.
Setelah mendapat informasi separuh mengenai keberadaan sahabatnya, kini Bastian kembali kali ke kantornya, karena baru saja mendapat telfon, untuk memberi tahu, bahwa clientnya baru saja mengirim cek kepada Dimas, sang asisten.
Begitu tiba diruangan kerjanya, Bastian langsung meluruhkan kedua pundaknya, sambil menjatuhkan tubuhnya diatas kursi kebesaran. Kepala Bastian benar-benat terasa nyeri, mengingat masalah yang sudah ia timbun hampir 5 tahun lamanya.
"Raga ... Apa benar kamu sudah meninggalkanku? Maafkan aku, Raga!" teriakan Bastian hanya mampu tercekat dalam tenggorokannya saja, hingga matanya memanas kembali.
"Raga, jika dulu kamu mau menutupi semua aibku. Maka biarkan sekarang, aku yang menggantikan tanggung jawab kepada putrimu! Aku bersedia, menanggung semua biaya hidupnya! Maafkan aku, Raga!" lirih Bastian yang kini terisak dalam tangisnya.
Bastian menyunggar kasar kepalanya, baru merasakan kehilangan dari dua sahabatnya itu. Sahabat yang selalu ada, dan tidak pernah meninggalkan dirinya, kala dia memiliki masalah.
Arrgghhh!!!
Teriakannya terdengar frustasi. Nafas Bastian terlihat berhembus cepat, sulit sekali untuk menahan emosi.
Tok! Tok!
Bastian menarik nafas dalam, sebelum dia menyuruh sekertarisnya untuk masuk.
"Maaf Tuan, pak Dimas sudah kembali. Apa saya suruh dia kesini-"
"Tidak usah! Biar saya yang keruangannya!"
Setelah itu, wanita berjilbab navy itu pamit keluar.
Bastian bangkit, berharap keluar dari ruangannya dapat mengusir rasa lelah yang akhir-akhir ini menghantam isi kepalanya.
Ceklek!
"Dimana anak itu?" gumam Bastian sambil melangkahkan kaki kedalam. Dia berhenti dimeja kerja Dimas, mengambil dokumen yang tergeletak diatas meja tersebut.
Namun mata Bastian memicing, saat melihat sebuah kartu nama seseorang yang kini tergeletak diatas laptop Dimas. Tanpa ragu, Bastian mengambilnya.
"Hafsah? Ini kartu nama Hafsah? Bagaimana Dimas mendapatkan kartu nama ini?" Bastian masih menatap bingung kartu nama itu, sambil dibolak balikan.
Dudududu ....
Dimas ternyata baru keluar dari kamar mandi. Dia bersenandung, sambil menaikan sedikit resleting celananya.
"Ya ALLAH Tuan, Anda ini ngagetin saja!" Dimas melonjat kaget, sambil mengusap dadanya yang berdetak kuat.
Bastian mengangkat katu nama itu. "Darimana kamu mendapatkan kartu nama ini, Dimas?"
"Pas saya nyairin cek di Bank! Dan kebetulan, wanita cantik itu kerja sebagai Teller disana. Makannya saya mintai kartu namanya! Sudah dua kali ini saya bertemu dengannya, Tuan!" ujar Dimas seraya mendekat kearah Bastian. Wajahnya sama sekali tenang, tanpa dosa sedikitpun.
Mata Bastian membola, kala Dimas menyebutkan pertemuannya dengan Hafsah sudah dua kali itu.
"Dimana kamu bertemu dia sebelumnya?"
"Apaan sih Tuan! Tuan awas saja kalau naksir! Itu buat saya. Kan Tuan sudah ada bu Aisyah-"
"Jawab, Dimas?" bentak Bastian yang sudah mulai naik pitam.
Dimas seketika memegang kembali dadanya, "Waktu di Butiknya bu Fatma, Tuan! Wanita itu datang bersama teman perempuan, dan juga putrinya. Saya aja sempat berkenalan dengan putrinya. Kasian tahu nggak, Tuan ...."
"Maksudmu?" Bastian memicing, namun sorot matanya ingin lebih tahu.
"Ya kasian tuan! Ternyata bocah kecil itu anak yatim. Dia ditinggal Ayahnya, pas masih didalam kandungan ibunya. Tapi-"
"Tapi apa?" sahut Bastian mengintimidasi.
'Tapi bocah kecil itu sangat mirip Anda sewaktu kecil!' ungkapan itu hanya mampu berdengung dalam batin Dimas saja.
"Nggak apa-apa, Tuan! Tapi ternyata saya bertemu kembali dengan ibunya, namanya Hafsah Nur Amala!"
Tanpa bantahan apapun, Bastian langsung melenggang pergi dari ruang itu, sambil membawa kartu nama sahabatnya dulu.
Pikir Bastian, Hafsah pasti dapat membantunya untuk mencari keberadaan Ragantara. Setelah dia memastikan sendiri, baru Bastian akan meluruskan masalah yang terjadi diantara dia dan sahabatnya.
*
*
*
"Ini benar rumahnya, Dis?" tanya Hafsah sambil melihat secarik kertas ditangannya.
"Kayaknya juga benar sih, Sah! Kita turun saja dulu buat nanya."
Setelah pulang, dan sesuai janji Dista, karena dia baru sempat menemani Hafsah untuk mencari keberadaan Puspita. Kini mereka segera turun, dan berhenti didepan pagar rumah mewah.
Dari arah depan, terdapat sebuah mobil bewarna putih yang berhenti didepan mobil milik Dista.
Seorang pria bekisar umur 40 tahun, turun dari mobil tadi, menatap kearah Hafsah dan Dista dengan tatapan penuh tanya.
"Maaf, Mbak-mbaknya cari siapa?" tegur pria tadi.
"Maaf, apa ini betul kediaman Puspita? Saya temannya," ucap Dista membuka suara.
"Benar, Mbak! Saya suaminya," jawab pria tadi. "Oh ya, kalau begitu silahkan masuk saja. Puspita ada didalam! Mari," lanjutnya mempersilahkan tamunya untuk masuk.
Rupanya pria tadi suaminya Puspita. Walaupun terpaut jarak usia jauh, tetapi pria tadi terlihat sosok penyayang, bahkan lembut dalam bicaranya.
"Mah, diluar ada temanmu datang. Kamu temuin cepat! Kasian sudah dari tadi diluar."
Puspita mengernyit. Dia sekarang bukan lagi sosok wanita yang gila akan pesona. Puspita lebih ke sosok ibuan, yang hanya bertugas melayani suami serta keluarga kecilnya.
Karena penasaran, Puspita langsung bergegas keluar.
Degh!!!
Jantung Puspita hampir berhenti ditempat, saat mendapati Hafsah dan Dista sudah berdiri didepannya saat ini. Tanpa sepatah kata, Puspita ingin kembali masuk kedalam, hingga suara Hafsah mengikat langkah kakinya.
"Aku mohon padamu, Puspita! Kamu pasti sudah tahu yang sebenarnya dulu! Kamu seorang ibu, begitu juga aku. Kita sama-sama memiliki putri kecil, yang kelak akan beranjak dewasa. Jangan sampai, apa yang aku alami akan berbalik ke putrimu sendiri!" hardik Hafsah menekan kalimatnya.
Dada Puspita terasa sesak. Kedua matanya berembun. Sudah hampir 5 tahun ini, rasa bersalah menyiksa ketenangan jiwanya.
Puspita seketika berbalik. Dia bersimpuh dibawah kaki Hafsah sambil terisak.
Hafsah terkejut. Dia saling melempar tatapan kearah Dista, lalu menunduk untuk membantu Puspita bangkit.
"Hafsah, tolong maafkan aku! Maafkan semua kekhilafanku dulu, yang kini menghancurkan masa depanmu! Gara-gara aku, kamu yang menanggung semua itu. Maafkan aku, Hafsah!"
Hafsah juga ikut meluruhkan tubuhnya diatas lantai. Dia menggoyangkan kedua bahu Puspita, agar temannya itu mengangkat pandangannya.
"Puspita, apa maksud semua ucapanmu? Apa yang sebenarnya terjadi?" suara Hafsah meninggi, hingga airmatanya juga ikut tumpah.
"Aku berdosa padamu, Hafsah! Akulah yang menaruh obat dalam minumanmu dan Bastian dulu!"
Degh!!!
Tatapan Hafsah terbuka, hingga dia menggoyangkan kedua bahu Puspita kembali, "Katakan, apa yang terjadi selanjutnya?" tanya Hafsah dengan suara bergetar.