Dalam dunia yang koyak oleh perang berkepanjangan, dua jiwa bertolak belakang dipertemukan oleh nasib.
Yoha adalah bayangan yang berjalan di antara api dan peluru-seorang prajurit yang kehilangan banyak hal, namun tetap berdiri karena dunia belum memberi ruang untuk jatuh. Ia membunuh bukan karena ia ingin, melainkan karena tidak ada jalan lain untuk melindungi apa yang tersisa.
Lena adalah tangan yang menolak membiarkan kematian menang. Sebagai dokter, ia merajut harapan dari serpihan luka dan darah, meyakini bahwa setiap nyawa pantas untuk diselamatkan-bahkan mereka yang sudah dianggap hilang.
Ketika takdir mempertemukan mereka, bukan cinta yang pertama kali lahir, melainkan konflik. Sebab bagaimana mungkin seorang penyembuh dan seorang pembunuh bisa memahami arti yang sama dari "perdamaian"?
Namun dunia ini tidak hitam putih. Dan kadang, luka terdalam hanya bisa dimengerti oleh mereka yang juga terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr_Dream111, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari yang mulai normal
5 hari sudah aku tinggal di kota ini lagi. Pengobatan yang ku jalani juga berjalan lancar, apalagi akhir-akhir ini aku juga sudah tidak bermimpi buruk lagi. Perlahan ingatanku tentang beberapa pertarungan yang ku lalui dulu mulai menghilang.
Hari ini seperti biasa setelah menjalani pengobatan bersama dokter Kai, aku menghabiskan sisa hari dengan berjalan-jalan dan membeli beberapa makanan. Jujur semenjak kembali ke kota aku selalu merasa lapar mungkin karena sudah lama tidak memakan makanan yang layak. Dulu hampir setiap hari aku makan binatang-binatang di hutan dan yang paling kubenci adalah ikan asin yang dikeringkan.
Tidak seperti prajurit lain yang setelah pulang perang langsung bertugas di kota seperti, menjaga benteng, atau berpatroli antar provinsi, aku justru menganggur. Meski pangkatku kapten, tak serta merta membuatku memimpin pasukan. Statusku yang masih menjadi anggota pasukan Faks yang aktif harus tetap merahasiakan identitas dari publik.
Kunikmati perjalanan berkeliling kota mengunjungi banyak tempat seperti distrik industri di bagian barat kota, distrik pertanian di tenggara, dan banyak distrik lagi. Aku juga menyempatkan diri berkunjungi ke kuil untuk mendoakan teman-temanku. Entah sudah habis berapa uangku hari ini hanya untuk menyewa kereta kuda.
Tak terasa malam begitu cepat dan sudah waktunya pulang. Kulihat sepanjang jalan kota, banyak para polisi yang berpatroli. Aku tidak suka dengan sikap mereka yang arogan dan cenderung kasar kepada penduduk sipil. Selain itu, sudah berkali-berkali kujumpai prajurit militer yang bersitegang dengan kepolisian saat berpatroli bahkan sampai saling mengangkat senjata yang tidak sebanding.
Kami sebagai militer saat tidak di medan perang atau perbatasan hanya diizinkan membawa bayonet. Kami dilarang memakai senjata api entah itu pistol atau senapan dengan alasan menghemat amunisi.
Sementara kepolisian, mereka selalu membawa senjata lengkap dari pistol, senapan semi otomatis, dan bayonet. Mungkin persenjataan juga menjadi salah satu faktor tidak akurnya 2 aparat negara ini. Dan aku sebisa mungkin tidak ingin terlibat dengan kepolisian.
Langkahku terhenti saat melihat sebuah klinik tua dengan papan kayu yang termakan rayap. Inilah tempat tinggalku dulu saat aku dirawat paman Cooper dan bibi Elis. Mereka berdua adalah dokter sekaligus orang tua angkatku.
Aku pun teringat jika aku mau menemui mereka dan meminta maaf. Kakiku melangkah ke hadapan pintu klinik tua ini dan mengetuk pintu berulang kali tapi sayangnya tidak ada jawab.
" Maaf tuan, apakah anda ada perlu dengan pak Cooper? " tanya seorang pria paruhbaya yang kebetulan lewat di depan klinik dan melihatku mengetuk pintu.
" Ya, saya ingin bertemu dengan dokter Cooper dan bibi Elis. " Jawabku.
" Baru pagi tadi pak Cooper dan istrinya ke Burga. "
" Jadi rumah ini kosong ya? " gumamku sekali lagi memandang bangunan tua ini.
Pria itu menggelengkan kepalanya, " Tidak juga. Putri mereka masih di sini. "
" Putri? "
" Ya. Pak Cooper mengadopsi seorang gadis dan sudah tinggal bersamanya sejak lama. Dia sering menjual kue di taman kota. Harusnya sebentar lagi pulang. "
" Terimakasih atas informasinya tuan. " Pungkasku sembari menundukkan kepala.
" Sama-sama. Saya pergi dulu tuan. " Balasnya yang langsung berjalan pergi.
Aku tidak menyangka kalau paman mengadopsi anak lagi setelah kepergianku. Aku pun berencana menunggu di sini sampai anak paman Cooper kembali. Tapi setelah berjam-jam menunggu bahkan sampai jalanan sepi orang, anak yang di maksud pria tadi belum juga menunjukkan batang hidungnya. Akupun memutuskan untuk pulang saja dan kembali di lain waktu.
Sebelum memasuki distrik militer, aku menyempatkan pergi ke kedai makan tepat disampig pos pintu masuk distrik. Bau rempah-rempah di kedai itu menggugah nafsu makan.
Tanpa pikir lagi aku ke sana dan di dalam kedai, lumayan ramai oleh para prajurit. Aku memesan kare yang menjadi menu andalan kedai ini.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya pesananku tiba. Semangkuk kare ayam dengan segelas wine.
Aku belum pernah meminum wine sebelumnya, tapi pemilik kedai ini bilang kare akan nikmat jika minumanya wine. Saat kusantap kare itu, rasa rempah-rempah yang beragam langsung pecah dimulut. Belum pernah kurasakan makanan selezat ini semenjak ibuku meninggal.
Kulahap kare itu sampai tak tersisa lalu kuseruput wine. Benar apa yang pemilik kedai bilang, rasa pahit sedikit manis seakan membersihkan rasa rempah-rempah kare tadi di mulutku.
Jadi begini ya rasa wine itu?
Kuminum sedikit demi sedikit sambil menikmati lantunan musik dari para pemain musik di kedai.
Ketika sedang menikmati wine, aku melihat seorang anak kecil berpakaian kumuh mengintip dari pintu masuk kedai. Mata anak itu menjelajahi para pengunjung yang sedang makan dengan lidah yang terus membasahi bibirnya. Rasa ibaku tergerak pada anak itu karena aku seperti melihat diriku saat baru dibawa ke kota ini.
Aku melambaikan tangan dengan maksud menyuruhnya masuk. Dia paham dan masuk ke kedai lalu berjalan ke tempatku berada. " Apa kau lapar? "
Anak itu melirik sekitar lalu mengangguk, " Ya tuan tapi saya tidak punya uang. "
" Duduklah dan pesan apa saja yang kau mau. Aku akan membayarnya, " ucapku.
Anak itu tersenyum lebar lalu langsung memesan makanan. Cara dia memesan makanan menandakan bahwa dia belum makan seharian. Dia memesan banyak makanan dan habis dalam beberapa menit saja.
" Apa masih lapar? " Tanyaku melihat anak itu yang sedang memegangi perut.
" Tidak tuan. Saya sangat berterimakasih anda memberi saya makan. Tapi... apa saya boleh memesan makanan satu lagi untuk ibu saya? "
" Sebelum itu, siapa namamu? "
" Nama saya Silas tuan. Saya punya ibu dan kami keluarga miskin. Ibu sedang sakit dan saya yang harus mencari uang untuk bisa makan setiap hari. Saya berkerja apapun demi uang tapi hari ini saya tidak mendapatkan pekerjaan apa-apa. "
Aku prihatin pada anak bernama Silas ini. Tak kusangka dibalik kemegahan kota Ventbert, masih banyak kesenjangan sosial yang terjadi di dalamnya. " Baik, pesanlah apa saja untuk ibumu dan segeralah pulang. "
Kubayar semua makanan yang kami berdua pesan dan Silas langsung berlari pulang dengan raut wajah bahagia. Aku juga memberikan dia uang makan sebesar 300 Lyra. Oh ya, Magolia menggunakan mata uang kertas bernama Lyra sebagai alat tukar.
Sama seperti kerajaan lain, mata uang kertas Lyra juga sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Harga barang-barang, makanan, atau bahan makanan rata-rata sekitar 5 sampai 100 Lyra dan aku mendapat uang dari baginda ratu sebanyak 300 ribu Lyra. Aku sendiri kaget saat baru pertama kali membuka amplop dari baginda ratu. Dengan uang sebanyak itu membuatku bingung untuk menghabiskannya karena gaji bulananku sendiri yang akan mulai dibayar bulan depan saja sebesar 4 ribu Lyra.
Aku berjalan pulang dengan perut kenyang sambil membawa sebotol wine yang kubeli. Jujur aku menyukai rasa wine ini dan berniat kuminum saat di rumah nanti. Di jalan aku masih terus memikirkan tentang anak paman Cooper. Aku cukup penasaran dan juga ingin menemuinya untuk menanyakan kabar paman dan Elis.
^^^To be continue^^^