NovelToon NovelToon
Menikah Tanpa Rasa, Jatuh Cinta Tanpa Sengaja

Menikah Tanpa Rasa, Jatuh Cinta Tanpa Sengaja

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Amelia greyson

Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

20

Pagi itu, Amira terbangun dengan perasaan yang aneh. Pagi-pagi sekali, sebelum matahari benar-benar terbit, ia merasa pusing dan mual, seolah dunia berputar lebih cepat dari biasanya. Ia membuka matanya perlahan, merasakan berat di kepalanya, lalu mencoba untuk bangun dari tempat tidur. Namun, begitu ia berdiri, tubuhnya terasa lemas, dan dunia di sekitarnya semakin kabur.

“Amira?” suara Arif terdengar lembut dari samping. Ia terbangun dan langsung duduk di ranjang, melihat Amira yang tampak kesulitan. “Ada apa?”

Amira mencoba tersenyum, meskipun di dalam hatinya, ada sesuatu yang aneh. “Aku. cuma pusing sedikit, mungkin kurang tidur.”

Arif mengernyitkan dahi, tidak percaya begitu saja. “Kamu nggak biasa begini, Amira. Apa kamu nggak merasa apa-apa lagi selain pusing?”

Amira menggelengkan kepala, berusaha tidak menunjukkan kekhawatirannya lebih dalam. “Nggak, cuma sedikit mual. Mungkin karena kecapekan.”

Namun, di dalam hatinya, Amira merasa ada yang tidak beres. Ia sudah terlambat datang bulan selama beberapa hari, dan meskipun ia tidak ingin memikirkan kemungkinan itu, ia tak bisa mengabaikan perasaan yang semakin intens. Sakit kepala yang ia rasakan bukanlah hal biasa, dan mual itu seolah datang begitu mendalam, seakan tubuhnya sedang memberi petunjuk yang tak bisa diabaikan.

Arif tetap memandangnya dengan khawatir. “Apa kamu mau aku ambilkan air atau sesuatu? Atau mungkin kita ke dokter kalau kamu merasa lebih buruk?”

Amira menatapnya dengan senyum tipis. “Aku baik-baik saja, Arif. Hanya butuh sedikit istirahat.”

Arif tampaknya tidak terlalu yakin, tetapi ia akhirnya mengangguk, membiarkan Amira berbaring kembali di kasur. “Kalau kamu merasa lebih baik, beri tahu aku, ya?”

Amira hanya mengangguk, merasa sedikit lega mendengar perhatian Arif. Namun, jauh di dalam hatinya, ia mulai merasakan kecemasan yang tak bisa dihindari. Perasaan mual itu tak hanya datang begitu saja ada sesuatu yang lebih dalam yang ia coba abaikan.

Hari itu berjalan seperti biasa, meskipun Amira merasa tubuhnya semakin lemas. Maira bangun seperti biasanya, penuh semangat, tetapi Amira merasa kesulitan mengikuti ritme pagi itu. Ia duduk di meja makan, menatap piring makanannya yang tak tersentuh dengan mata yang sedikit kosong. Arif memperhatikannya dengan seksama, tapi tak ingin memaksakan pertanyaan.

“Amira, kamu nggak mau makan?” tanya Arif pelan, suaranya penuh perhatian.

Amira menggelengkan kepala. “Nggak, aku nggak lapar. Mungkin setelah istirahat lebih baik.”

Arif mengernyitkan dahi, namun ia tahu betul kalau Amira adalah orang yang jarang mengeluh. Jadi, jika Amira mengatakan ia tidak lapar, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Tapi, ia hanya bisa menunggu, berharap perasaan itu segera hilang dengan sendirinya.

Maira yang duduk di sebelahnya melihat Amira dengan wajah khawatir. “Mama Amira kenapa? Kenapa nggak makan?”

Amira mencoba tersenyum, berusaha meyakinkan Maira. “Mama hanya merasa sedikit tidak enak badan, Sayang. Nanti kalau sudah baik, Mama makan ya.”

Maira mengangguk, meskipun wajahnya tampak masih bingung. Ia melanjutkan makannya, sementara Amira dan Arif saling bertatapan sejenak. Ada banyak hal yang belum mereka katakan, namun mereka tahu keduanya sama-sama ingin Amira merasa lebih baik.

Setelah beberapa jam, Amira berusaha untuk tetap melanjutkan aktivitas seperti biasa. Namun, semakin ia mencoba untuk bertahan, semakin jelas ia merasa tidak mampu mengabaikan gejala yang ada. Rasa mual yang semakin kuat membuatnya terpaksa beristirahat lebih lama. Pikirannya melayang, menyadari bahwa ada satu hal yang harus ia ketahui, meskipun ia takut menghadapinya.

Sore hari, Amira memutuskan untuk pergi ke apotek di dekat rumah. Ia merasa khawatir, meskipun ia sudah mencoba untuk mengabaikan kemungkinan yang ada. Setelah membeli alat tes kehamilan, ia kembali pulang dengan langkah berat. Namun, ia tahu, untuk bisa melanjutkan hidupnya, ia harus memastikan apakah perasaannya benar atau tidak.

Setibanya di rumah, Maira sudah mulai bermain dengan mainannya, sementara Arif duduk di ruang tamu sambil membaca beberapa dokumen. Amira berjalan cepat ke kamar mandi, menutup pintu dengan hati-hati. Alat tes itu terasa dingin di tangannya. Ia mencoba untuk tidak terlalu cemas, tapi rasa takut mulai merayapi hatinya.

Beberapa menit kemudian, hasil tes itu muncul. Amira menatapnya dalam diam, tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Dua garis merah yang jelas menandakan apa yang selama ini ia coba hindari — ia hamil.

Jantungnya berdegup kencang. Di satu sisi, ia merasa cemas, bingung, dan takut. Di sisi lain, ada perasaan yang lebih hangat, yang selama ini ia sembunyikan di dalam hati, tiba-tiba muncul. Namun, ia tidak tahu bagaimana harus memberitahukan Arif. Mungkin ini terlalu cepat, atau mungkin ini tidak sesuai dengan rencana mereka yang sederhana dan damai.

Ia menghela napas panjang dan berbalik, keluar dari kamar mandi. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar, melihat Arif yang sedang duduk, tampak seperti sedang menunggu sesuatu.

Mas Arif...” suara Amira terdengar lebih pelan dari biasanya.

Arif menoleh, melihat ekspresi Amira yang kali ini lebih serius. “Ada apa, Amira?”

Amira berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “Aku... aku hamil, mas Arif.”

Arif terdiam. Mata mereka bertemu, dan dalam diam itu, semuanya terasa begitu penuh makna. Arif terkejut, tetapi juga bisa merasakan perasaan yang sulit dijelaskan. Amira menatapnya dengan cemas, menunggu reaksi dari Arif. Apakah ia siap?

Setelah beberapa detik yang terasa lama, Arif akhirnya mengangkat tangannya dan meraih tangan Amira. “Kita akan hadapi ini bersama, Amira,” ucapnya pelan namun tegas. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku janji akan ada di sini, bersama kamu.”

Amira menatapnya, merasakan ketulusan dalam kata-kata Arif. Meskipun semuanya terasa begitu mendalam dan penuh kebingungan, ia tahu satu hal mereka akan menjalani semuanya bersama, apapun yang terjadi.

Kehidupan mereka mulai berubah, tetapi kebersamaan mereka menjadi kekuatan yang menguatkan setiap langkah yang mereka ambil. Amira dan Arif tidak tahu apa yang akan datang, tetapi mereka tahu bahwa apapun itu, mereka akan tetap bersatu. Sebuah perjalanan baru yang penuh kejutan, dan dimulai dari pagi itu, saat Amira pertama kali mengetahui bahwa hidup mereka akan berubah selamanya.

Setelah Arif mendengar pengakuan Amira, suasana sejenak terasa hening. Hanya suara detak jam yang terdengar di ruangan itu. Arif memandang Amira dalam diam, seolah berusaha mencerna apa yang baru saja ia dengar. Tidak ada kepanikan, hanya ketenangan yang aneh. Mungkin, karena ia tahu, ini bukan sesuatu yang harus ditakuti.

“Amira…” Suara Arif pecah setelah beberapa detik. “Kamu nggak perlu khawatir. Ini bukan hal yang mudah, tapi kita akan lewati bersama.”

Amira menatapnya, matanya berkaca-kaca. Ia tak pernah merasa sebingung ini sebelumnya. Banyak pertanyaan, banyak ketakutan yang tiba-tiba muncul. “Tapi, Arif… kita… kita sudah cukup siapkah?”

Arif tersenyum lembut, meraih tangan Amira dan menggenggamnya erat. “Aku nggak tahu. Tapi aku yakin kita bisa belajar bersama, seperti yang kita lakukan sampai sekarang. Yang terpenting, kita nggak sendirian dalam hal ini.”

Amira mengangguk perlahan, merasa sedikit tenang dengan kata-kata Arif. Namun, di dalam hatinya, ada banyak hal yang masih belum terjawab. Kegelisahan itu terus mengganggu, terutama mengenai bagaimana hal ini akan mempengaruhi hubungan mereka ke depan.

Maira yang mendengar percakapan itu dari pintu kamar, tiba-tiba muncul dengan wajah ceria, memecah keheningan yang tercipta. "Papa Mama, aku boleh bawa mainanku ke luar?"

Arif dan Amira tersenyum, mencoba menyembunyikan ketegangan mereka. “Tentu, Sayang,” jawab Arif dengan lembut.

Maira melompat kegirangan dan berlari keluar, sementara Arif kembali menatap Amira dengan penuh perhatian. "Kita akan baik-baik saja, Amira. Aku janji."

Amira merasakan kehangatan itu meresap dalam dirinya. Ketakutannya tidak sepenuhnya hilang, tapi kini ia tahu bahwa ia tidak harus menghadapinya sendiri. Ada Arif di sampingnya, dan itu memberi sedikit rasa lega.

1
kalea rizuky
dr marah baik marah lagi baik. lagi mau nya apa ortu arif nee
kalea rizuky
kok aneh dr marah2 langsung cpet luluh
kalea rizuky
lu aja yg tolol Rif ngapain ngasih celah ke perempuan lain meski sahabat bodoj
leahlaurance
wow....so sweet,thor lebih diperhati ya banyak typo nya.
Hyyyyy Gurliiii🪲: Terimaksih banyak kak,
total 1 replies
leahlaurance
kaya dikit semacam ,satu imam dua makmum😅
Hyyyyy Gurliiii🪲: Haiiii kakak kak, maaaf yaaa sblum nya
Saya gak tau cerita ituuu 🤣
total 1 replies
leahlaurance
cerita ini kaya,curhat seoramg isteri.ayu usaha terus embak.
leahlaurance
mampir ,dan di bab ini sepertinya biasa juga.
leahlaurance
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!