Anara Bella seorang gadis yang mandiri dan baik hati. Ia tak sengaja di pertemukan dengan seorang pria amnesia yang tengah mengalami kecelakaan, pertemuan itu malah menghantarkan mereka pada suatu ikatan pernikahan yang tidak terduga. Mereka mulai membangun kehidupan bersama, dan Anara mulai mengembangkan perasaan cinta terhadap Alvian.
Di saat rasa cinta tumbuh di hati keduanya, pria itu mengalami kejadian yang membuat ingatan aslinya kembali, melupakan ingatan indah kebersamaannya dengan Anara dan hanya sedikit menyisakan kebencian untuk gadis itu.
Bagaimana bisa ada rasa benci?
Akankah Anara memperjuangkan cintanya?
Berhasil atau berakhir!
Mari kita lanjutkan cerita ini untuk menemukan jawabannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama eNdut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Vian
Tin tin tin,
Suara klakson terdengar bersahutan saat jalan yang hendak di lewati sedikit terhalang mobil sayur milik Andi, Andi yang mengerti segera bergerak maju dan sedikit memasukan mobilnya ke pekarangan rumah salah satu warga.
Satu, dua dan tiga mobil datang beruntun dan berhenti tepat di depan kediaman Nara. Nara yang masih berdiri di pintu pagar tentu tak tau siapa pemilik mobil tersebut hingga akhirnya dari pintu depan, keluarlah seorang pria berpakaian rapi, dengan kemeja serta celana hitam.
Pria itu mengangguk kepada Nara dan di balas anggukan juga oleh gadis itu. Setelahnya beralih membukakan pintu bagian penumpang. Saat pintu itu terbuka sosok tampan berjas rapi keluar dari mobil tersebut.
"Mas Vian".
Semua mata langsung tertuju pada kehadiran sosok tampan, menawan serta stay cool yang kini berdiri di depan Nara dan tengah memberikan tatapan dalam pada gadis itu.
"Wah siapa itu, tampan sekali?".
"Apa itu si Wowo ya?".
"Wowo? Wowo siapa Bu Yati?".
"Suami Nara".
"Jadi namanya Wowo, mungkin Bowo kali Bu. Tetapi yang ini tampan Lo Bu, tidak gendut dan botak?".
"Ya kan tadi saya bilangnya mungkin".
Tanpa memperdulikan ucapan-ucapan dari para Ibu-ibu itu, Vian meraih pinggang Nara dan membawa tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.
"Mas Vian".
"Mas datang Nara".
Nara tersenyum, ia tak menyangka jika Vian akan datang menyusulnya. Perlahan Nara melepaskan pelukannya dan menatap dalam wajah lelaki yang kini menjadi suaminya. Kekesalan yang Nara rasakan mendadak hilang dan di gantikan dengan kebahagiaan yang tidak terkira.
"Iya benar, itu suaminya, mereka pelukan", suara dari seorang Ibu-ibu yang masih setia menonton mengalihkan perhatian Nara, tiba-tiba saja sebuah ide muncul di kepala gadis itu untuk membalas perkataan mereka sebelumnya.
"Suamiku sayang kamu tampan sekali", ucap Nara sembari mengusap pipi Vian, tangannya bergerak merapikan jas yang di kenakan oleh lelaki itu. Sementara Vian yang mendapatkan perlakuan demikian dari Nara hanya bisa menerimanya dengan rasa bingung. "Sayang, apa kamu tahu, tadi ada seseorang yang mengatakan jika kamu itu jelek sayang".
"Jelek? Aku jelek?".
"Iya, bahkan mereka juga bilang jika kamu gendut dan botak", ucap Nara dengan suara yang keras. Nara memeng sengaja melakukan itu agar Ibu-ibu yang sebelumnya menghina suaminya mendengar dan membuat mereka malu.
Dan benar saja Bu Yati dan yang lainnya hanya bisa menahan rasa malu dan mengumpat dalam hati masing-masing.
"Nar sebenarnya apa yang sedang kamu lakukan?".
"Pamer, memamerkan suamiku yang tampan pada tetangga-tetangga julid ku. Tadinya mereka mengatakan jika Mas tidak ikut pulang ke rumahku itu karena aku malu mempunyai suami yang jelek, gendut dan botak Mas, kan sebel aku".
"Ha ha ha, baiklah dapat Mas terima. Nar, aku datang bersama Papa dan Mamaku".
"Hah, apa Mas? Papa Mama?".
Tak lama seorang sopir yang berada di mobil barisan kedua keluar dan membukakan pintu untuk Papa Agam dan Mama Arin.
"Putra saya tidak jelek dan botak ya Ibu-Ibu, putra saya sangat tampan", ucap Mama Arin saat perempuan tersebut turun dari dalam mobil. Mama Arin begitu cantik, ia memakai dress selutut berlengan panjang berwarna hitam, walaupun pakaian yang di kenakan Mama Arin memiliki model yang sederhana namun saat di kenakan olehnya terlihat begitu elegan dan juga berkelas.
Ibu-ibu yang sempat menggunjingkan Nara merasa tersentil saat mendengar perkataan Mama Airin, walaupun ucapan beliau terdengar kalem namun dari setiap katanya mengandung arti penegasan.
Nara sendiri cukup terkejut dengan kedatangan Vian di tambah kedua orang tuanya juga ikut datang, selain itu rasa malu juga menghinggapinya karena sikapnya barusan.
"Kenapa Mas Vian tidak bilang sejak awal, setidaknya aku bisa menjaga sikapku", ucap Nara setengah berbisik.
"Kamu tidak memberiku waktu untuk bicara Nara".
"Aishhh".
Nara mengangguk hormat saat orang tua Vian berjalan mendekat.
"Om, Tante”, sapanya. Gadis itu lantas menyalami dan mencium punggung tangan kedua mertuanya.
"Kok Om, Tante, seharusnya kamu memanggil kami Mama dan Papa seperti Vian memanggil kami Nara".
Nara tertegun, apakah mereka sudah menerimanya sebagai menantu? "Ah iya, maksud Nara, Mama Papa. Mari-mari silahkan masuk".
Sebelum masuk, Papa Agam memerintahkan sopirnya untuk menurunkan beberapa barang dari mobil dan memintanya untuk membawanya masuk.
"Ternyata suami Nara orang kaya".
"Iya, wah wah wah".
Ibu-ibu yang tadinya hanya menggunjing Nara kini mengagumi gadis itu, apalagi kini suami Nara yang mereka duga jelek ternyata tampan dan kaya. Begitu juga dengan barang bawaan orang tua Vian yang terlihat mahal.
Berita kedatangan suami Nara serta kelurganya dengan cepat menyebar, hingga seseorang dengan sengaja menyusul Bu Murni ke sawah untuk menyampaikan berita tersebut.
"Bu Murni, Bu Murni", teriak seorang perempuan yang memang seumuran dengan Bu Murni berjalan cepat dengan nafas yang sudah terlihat ngos-ngosan.
Bu Murni yang sedang duduk di gubuk segera menoleh ke arah suara namun tangannya tidak berhenti menarik-narik senar yang saling terhubung, membentang di atas sawah dengan kantong kresek berwarna-warni yang di gunakan untuk menakuti dan mengusir para burung.
"Bu Siti! Ada apa Bu?".
Melihat nafas Bu Siti yang tak beraturan tersebut, Bu Murni mengambil satu botol air putih dan memberikannya kepada Bu Siti.
"Minum dulu Bu".
"Terimakasih Bu Murni". Ibu itu lalu menerima dan meminumnya, di rasa keadaanya sudah lebih baik, Bu Siti lantas menjelaskan maksud kedatangannya kemari yaitu mengabarkan kepada Bu Murni jika keluarga suami Nara datang ke rumah.
"Tetapi anak itu tidak mengatakan jika suaminya akan datang", gumam Bu Murni.
Tanpa memikirkan burung-burung yang memakan padinya, Bu Murni segera pulang, ia juga tak lupa mengucapkan terimakasih kepada Bu Siti sebelum pergi.
Sementara itu di rumah. Naraa yang sedang berada didapur untuk menyiapkan makanan setelah berbincang ringan dengan kedua mertuanya di datangi oleh Vian yang tiba-tiba saja memeluknya dari belakang.
"Mas Vian".
"Maaf aku telah menyusahkan mu Nar, kamu pasti merasa kesulitan".
Nara memutar tubuhnya, keduanya kini dalam posisi berhadapan.
"Tidak apa-apa Mas, lagi pula sekarang Mas Vian sudah disini. Semua pasti akan baik-baik saja", ucap Nara, keduanya saling pandang dan tersenyum. "Oh iy Mas, bagaimana Mas bisa membawa orang tua Mas kemari? Apa ingatanmu sudah kembali?".
Flashback On
Vian duduk sendiri di teras dengan di temani secangkir kopi dingin karena memang sejak satu jam yang lalu Vian berada disini dan tak lekas beranjak.
"Sampai kapan orang itu akan terus mengawasi ku?", batin Vian dengan pandangan yang lurus ke depan namun bola matanya melirik ke arah samping dimana beberapa pohon pisang tumbuh subur dan seseorang tengah bersembunyi di sana.
Vian mengambil cangkir kopi dan membawanya masuk ke dalam. Setelah Vian pergi, orang yang bersembunyi di balik pohon itu keluar, dia menekan tombol pada earphone di telinganya dan mengatakan sesuatu namun tiba-tiba saja ia terjatuh tersungkur saat sebuah tendangan mengenai punggungnya.
"Arghhh".
Orang itu menoleh dan mendapati Vian yang sudah berdiri dengan tatapan nyalang menatapnya.
"Kamu siapa?".
"Sa-saya hanya lewat", jawab orang berpakaian serba hitam itu sedikit gugup.
"Lewat? Apa kamu pikir saya bodoh?".
"Ti-tidak Tuan Muda, sungguh saya tidak berani berpikir demikian".
"Dia memanggilku Tuan Muda, apa dia ada kaitannya denganku?", batin Vian bertanya-tanya. "Jawab aku, siapa kamu?".
Bukannya langsung menjawab, orang yang di tanyai Vian itu malah mencoba melarikan diri. Vian yang memang memiliki pemikiran atau insting yang cepat segera meraih potongan bata dan melemparkannya tepat mengenai kaki orang itu, untuk kedua kalinya orang itu jatuh tersungkur. Vian tak menyia-nyiakan kesempatan, segera ia meraih tangan orang itu, mengunci pergerakannya dan membawanya ke dalam rumah.
Tak ingin membiarkan orang itu kabur lagi, Vian mengambil tali dan mengikatnya di kursi. Bersamaan dengan itu sebuah dering telepon terdengar. Vian lantas mengambil ponsel serta earphone yng berada di telinga orang itu. Tuan Besar, nama yang terpampang di depan layar.
"Berhenti mengirim orang untuk mengawasi ku".
"Kamu, Vian?", jawab sebuah suara dari seberang telepon.
"Ya, aku Vian. Jika kau ada perlu denganku maka keluarlah dan temui aku".
Tut, panggilan berakhir, Vian menutup teleponnya dan meletakan ponsel itu di atas meja. Orang yang sebelumnya dia ikat hanya menunduk pasrah akan apa yang akan terjadi kepadanya nanti, pekerjaannya telah gagal dan pastinya dia akan mendapatkan hukuman.
Sementara itu di kediaman Agam, pria paruh baya tersebut cukup terkejut saat mengetahui jika yang mengangkat telepon darinya adalah Vian. Agam lantas menemui istrinya dan memintanya untuk bersiap menemui Vian. Arin bingung namun Agam berjanji akan menceritakan apa yang terjadi di perjalanan.
Suara deru mobil terdengar memasuki pekarangan rumah, Vian yang tahu itu siapa, hanya memasang wajah tenang dan duduk santai di tempatnya.
Dua orang muncul dia adalah Agam dan juga Arin dan di belakang keduanya menyusul Johan yang juga ikut bersama mereka. Melihat kedatangan mereka orang yang diikat oleh Vian sebelumnya berusaha untuk menyapa Tuannya hingga membuat orang itu jatuh bersama dengan kursi yang teringat jadi satu dengan tubuhnya.
"Denta".
"Tuan, Tuan tolong maafkan saya, saya telah gagal menjalankan perintah".
Johan bergerak cepat, mengambil pisau dari saku jasnya dan membuka ikatan tali tersebut, setelah Denta terlepas, Johan memintanya untuk segera kembali.
"Bukankah kalian orang yang mengaku sebagai orang tuaku saat di Rumah Sakit?", ucap Vian sembari bangkit dari duduknya.
"Benar Nak, ini Mama. Mama sangat merindukanmu Nak".
Arin hendak mendekat namun Vian memundurkan satu langkahnya menjauh.
"Jika kalian memang benar orang tuaku mengapa kalian melakukan ini. Kalian mengetahui keberadaan ku namun bukannya menemui ku kalian malah mengirimkan orang-orang untuk mengawasi ku. Apa kalian membuang ku?".
"Vian, Nak, jangan pernah berpikiran seperti itu". Arin cukup sedih mendengar ucapan putranya yang mengira jika semua yang ia lakukan ini hanya untuk menyingkirkannya.
"Iya Vian, kami melakukan ini demi keamanan mu. Kecelakaan mu terjadi karena ada seseorang yang berniat mencelakai mu", imbuh Agam mencoba meyakinkan putranya.
"Tetapi Papamu telah berhasil menangkapnya Nak, kita bisa pulang bersama sekarang".
"Benarkah, jika bukan karena aku menangkap orangmu mungkin saat ini kalian belum muncul kan?".
"Ya kau memang benar, jika saja kau belum mengetahui semuanya, Papa memang belum berniat menemui mu. Tetapi Papa tidak ingin membuatmu lebih salah paham lagi, jadi kami memutuskan untuk kesini dan menjelaskan semuanya". Agam masih berusaha menjelaskan dan membujuk Vian. Menceritakannya sedetail mungkin tentang kejadian yang Vian alami. Sejujurnya Vian belum merasa yakin namun lelaki itu mencoba untuk menerima orangtuanya.
"Aku sudah menikah", ucap Vian yang membuat Agam dan Arin menatap putranya itu secara bersamaan. "Aku yakin jika kalian juga sudah mengetahuinya. Aku berjanji pada istriku untuk mengenalkannya kepada orang tuaku jika aku sudah menemukannya".
"Apa kau mencintainya Nak?".
"Aku tidak tahu, aku hanya tidak ingin dia mendapatkan masalah. Apa kalian ingin menemuinya?".
"Ya, tentu saja kita akan menemuinya".
Agam segera menelpon Johan untuk menyiapkan pesawat pribadinya untuk melakukan penerbangan malam ini juga. Sementara Arin meminta seseorang untuk menyiapkan barang bawaan yang akan ia berikan kepada Nara nantinya. Mereka mempunyai orang-orang yang siap dalam dua puluh empat jam untuk melakukan perintahnya.
Flashback Off
"Begitulah ceritanya aku bisa bersama dengan orang tuaku sekarang Nar".