Prita dihantui mimpi-mimpi samar tentang sosok misterius dan sosok asing bernama Tana' Bulan. Di tengah kesehariannya yang tenang di Loka Pralaya bersama sahabat-sahabatnya, Wulan dan Reida, serta bimbingan bijak dari Nyi Lirah, mimpi-mimpi itu terasa lebih dari sekadar bunga tidur.
Sebuah buku kuno berkulit, Bajareng Naso, menjadi kunci misteri ini. Ditulis oleh Antaboga, legenda di dalamnya menyimpan jejak masa lalu Prita yang hilang—ingatan yang terkubur akibat pengembaraannya melintasi berbagai dunia. Nyi Lirah yakin, memahami legenda Bajareng Naso adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepingan-kepingan memori Prita yang berserakan.
Namun, pencarian kebenaran ini tidaklah mudah.
Akankah Prita berhasil memecahkan misteri mimpinya dan memulihkan ingatannya yang hilang? Siapakah tamu tak diundang itu, dan apa hubungannya dengan rahasia yang dijaga oleh Luh Gandaru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kisah Bajareng Naso
Nyi Lirah memberikan buku yang dipegangnya itu kepada Reida.
“Terima kasih, Nyi Lirah,” kata Reida setelah menerima buku itu. Dipandanginya buku itu agak lama, ia terdiam sejenak, menarik napasnya agak dalam sebelum mulai bercerita.
“Wulan, Prita,” kata Reida kepada kami berdua, “di dalam buku ini, Antaboga menulis bahwa dirinya pernah satu kali bertemu dengan seseorang yang pernah bertemu langsung dengan Bajareng Naso.”
“Namun, dia tidak menuliskan nama ataupun sosoknya.
Menurutnya, hal itu hanya akan menimbulkan kecaman dari orang yang tidak mempercayainya,” Reida melanjutkan penjelasannya. “Dan untuk lebih jelasnya, ada baiknya aku bacakan saja buku ini, supaya kalian berdua dapat mendengarnya sendiri. Siapa tahu ada petunjuk yang mungkin aku lewatkan.”
“Baik, Reida,” kata Wulan dan aku serempak, menantikan dengan rasa ingin tahu yang semakin besar.
“Baiklah, mari kita mulai dari bab pertama,” kata Reida. Kemudian ia membuka buku itu dan mulai membacanya dengan suara yang jelas dan tenang. Wulan dan aku mendengarkannya dengan cermat, berusaha menangkap setiap kata dan maknanya.
Dengan gayanya yang khas, Reida membacakan isi buku itu, dimulai dari asal usul Bajareng Naso. Diceritakan bahwa Bajareng Naso awalnya adalah dua orang dari dunia yang berbeda, yaitu Bajareng dan Naso. Tulisan dalam buku itu berupa bait-bait yang tersusun dari empat baris dan berbunyi seperti pantun atau puisi.
Bajareng berasal dari dunia Balinangan
Dan Naso berasal dari dunia Loka Pralaya, tepatnya di negeri Bako
Kedua orang itu sama sekali tidak saling mengenal, mereka hidup dalam dunianya masing-masing
Hingga akhirnya ada sesuatu yang menyebabkan portal Marsamba terbuka, portal itu terhubung ke semua dunia.
Dan sialnya, saat portal itu terbuka
Bajareng ikut tertarik ke dalamnya, dan terlempar ke dunia Loka Pralaya
Saat Bajareng terlempar, ia sempat mengalami lupa ingatan
Selama satu tahun yang dilaluinya Bajareng berusaha untuk mengingat kembali siapa dirinya.
Namun usaha itu gagal dan membuatnya frustasi dan marah
Orang-orang dari dunia Balinangan terkenal dengan kekuatan fisiknya yang luar biasa
Ia kebal terhadap api dan senjata tajam
Bajareng tak dapat lagi menahan amarahnya, dengan kekuatannya yang demikian besar, ia membuat kekacauan di Loka Pralaya.
Negeri Taruna, menjadi korban pertamanya
Lalu Anggana, Gendhing, Lawe, Lontara dan terakhir Sirani
Ada satu negeri yang tidak dihancurkannya, bernama Bako
Bajareng masih berbaik hati.
Sebab menurutnya Bako tidak membuatnya marah
Sebab Bako tidak memusuhinya
Ia tertidur di sana sangat lama, satu tahun lamanya
Naso adalah seorang pertapa, ia belajar sepanjang masa.
Baginya, hari-hari diisi dengan membaca
Hampir semua buku telah dilahapnya
Pengetahuan yang sempurna, menuntut tanggung jawab nyata
Bajareng yang tertidur, membuat Naso terpekur.
Naso membangunkan Bajareng, Bajareng terbangun
Namun mata Naso tidak takut bertemu Bajareng
Mata Bajareng tidak marah bertemu Naso
Mereka berdua saling menyatu.
Kekuatan besar dan luasnya ilmu
Menjadi Bajareng Naso yang Utuh
Menyatu dalam satu tubuh
Reida menghentikan bacaannya. “Bab pertama berakhir di sini,” katanya sambil menutup buku sejenak. “Mungkin ada yang ingin kalian tanyakan?” tanya Reida, menatap kami berdua.
Wulan dan aku saling bertukar pandang. Mata Wulan memberi isyarat agar aku yang mengajukan pertanyaan pertama kali.
“Reida,” kataku memberanikan diri, “dalam bait terakhir di bab ini, dikatakan bahwa: mereka berdua saling menyatu, kekuatan besar dan luasnya ilmu.”
“Benar, Prita,” jawab Reida mengangguk.
“Menurutku, kalimat inilah kuncinya,” kataku mencoba menafsirkan makna kalimat dari bait itu.
Reida dan Nyi Lirah tampak terkejut dengan ucapanku. “Apa maksudmu, Prita?” tanya Nyi Lirah dengan nada penasaran.
“Maaf, Nyi Lirah, saya tidak yakin seratus persen, namun menurut saya dalam kalimat inilah yang menunjukkan bahwa Bajareng Naso bukanlah sekadar cerita legenda,” kataku mencoba menjelaskan apa yang ada di benakku.
Nyi Lirah mencoba memahami maksudku, namun beliau ingin memastikannya sendiri dari bibirku. “Coba, bagaimana maksud ucapanmu itu, Prita? Supaya kita semua yang ada di sini bisa mendengarnya,” kata Nyi Lirah dengan penuh perhatian.
“Nyi Lirah,” kataku, mencoba merangkai kata-kata, “bukankah kekuatan yang besar itu memang ada?”
“Iya, kamu benar, Prita,” jawab Nyi Lirah.
“Dan luasnya ilmu itu juga sesuatu yang nyata?” tanyaku kembali.
“Benar,” jawab Nyi Lirah singkat.
“Saya mengartikan bahwa kedua unsur itu memang nyata. Siapa saja bisa memiliki kekuatan yang besar, dan siapa pun bisa memiliki keluasan ilmu pengetahuan,” kataku menjelaskan maksudku lebih lanjut.
Aku terdiam sejenak, seolah mengharapkan Nyi Lirah memberikan tanggapan atas ucapanku itu.
Namun, setelah ditunggu agak lama, wanita tua itu hanya terdiam saja. Aku kembali meneruskan kalimatku.
“Yang jadi pertanyaannya sekarang adalah: seberapa besar kekuatan itu, dan seberapa luas ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk bisa disebut Bajareng Naso?” jelasku, mencoba mengaitkan dengan legenda yang sedang kami dengar.
Nyi Lirah tampak dapat menangkap maksud dari ucapanku itu. “Apa yang kamu katakan itu ada benarnya, Prita,” kata Nyi Lirah dengan anggukan setuju. “Baiklah, kesimpulanmu itu akan menjadi kata kunci saat Reida melanjutkan cerita ke bab berikutnya.”
Aku mengangguk, merasa sedikit lega karena Nyi Lirah memahami pemikiranku. Sementara itu, Wulan tampak tersenyum melihat perkembangan besar yang terjadi pada diriku. Temanku itu semakin percaya diri dan pengetahuannya semakin mendalam.
Reida kembali membuka lembaran buku itu. Ia membacanya dengan nada yang jelas, supaya Wulan dan aku dapat mendengar dan mengingatnya dengan baik.
Bab 2
Bajareng Naso leluasa membuka portal dunia
Chakradesa dimasukinya, Balinangan ditempatinya
Loka Pralaya jadi tempat bermainnya
Portal Sialo menjadi pintu masuknya
Portal Marsamba menyambutnya
Dunia Bale seperti tetangga
Dunia Linotau adalah rumahnya.
Mendengar nama Linotau disebut, jantungku berdebar lebih kencang. Dunia yang kulihat dalam mimpiku… apakah Bajareng Naso juga pernah ke sana?
Baginya dunia adalah nyawa
Dan karenanya dunia bersuka cita
Banua Tela merana
Angkara murka sirna.
Dengan seseorang yang tak ada namanya
Dia pernah bertemu dengannya
Matanya indah katanya
Pedangnya mampu menebas tanpa menyentuhkannya.
Laki-laki rupa wujudnya
Perempuan rupa jiwanya
Keras otot lengannya, lembut di dalam hatinya
Bertemu dengannya adalah satu saat di semua dunia.
Aku tak ingin menyebut namanya
Sebab ini hanya cerita
Takut orang ramai mencaci
Mati hamba sia-sia
Cukup hati penuh janji
Cukup jiwa penuh arti
Cukup ilmu cukup pekerti
Cukup harta cukup memberi.
Reida berhenti sejenak, ia menatap Wulan dan aku. “Bab dua selesai di sini,” kata Reida. “Ada yang ingin kalian tanyakan?”
Kali ini aku memberi lirikan kepada Wulan sebagai isyarat agar dia yang bertanya.
“Reida, bait-bait ini sulit aku mengerti. Bisa dijelaskan satu per satu?” kata Wulan dengan nada bingung. Aku hanya tersenyum kecil mendengar pertanyaan temanku itu.
Kemudian Reida menjelaskan semua arti dari bait-bait itu.
Ia menjelaskan bahwa bab dua itu adalah ucapan Antaboga kepada dirinya sendiri. Di sana, Antaboga menceritakan pertemuannya dengan seseorang yang pernah bertemu dengan Bajareng Naso, namun ia enggan menyebut namanya dalam buku ini. Antaboga khawatir akan cemoohan orang, namun dalam baitnya ia tetap menyelipkan kalimat yang diyakininya bahwa Bajareng Naso adalah sosok nyata dan bukan sekadar dongeng atau legenda.
Sementara kami tengah asyik membahas isi buku itu, dari kejauhan terdengar langkah kaki beberapa orang yang semakin mendekat. Reida segera menutup buku itu. Ia meminta izin kepada Nyi Lirah untuk melihat siapa yang datang.
Dengan bergegas, Reida melangkah menuju pintu masuk perpustakaan, menunggu siapa gerangan yang datang mengganggu ketenangan kami…