Genre : Misteri, Thriller, Psikologis, Supranatural
Sinopsis :
Setelah suaminya meninggal didalam kecelakaan yang tragis. Elysia berusaha menjalani kehidupan nya kembali. Namun, semuanya berubah ketika ia mulai melihat bayangannya bertingkah aneh dan bergerak sendiri, berbisik saat ia sendiri, bahkan menulis pesan di cermin kamar mandinya.
Awalnya Elysia hanya mengira bahwa itu halusinasi nya saja akibat trauma yang mendalam. Tapi ketika bayangan itu mulai mengungkapkan rahasia yang hanya diketahui oleh suaminya, dia mulai mempertanyakan semuanya. Apakah dia kehilangan akal sehatnya ataukah ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang sedang berusaha kuat untuk berkomunikasi dengannya.
Saat Elysia menggali hal tersebut lebih dalam dia menunjukkan catatan rahasia yang ditinghalkan oleh mendiang suaminya. Sebuah pesan samar yang mengarah pada sebuah rumah tua dipinggiran kota. Disanalah ia menemukan bahwa suaminya tidak mati dalam kecelakaan biasa. Akan kah Alena mendekati jawabnya???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azka Maftuhah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 - GERBANG YANG TAK TERKUNCI
Rumah Sakit Jiwa Wilis Lama berdiri bagai bangkai kenangan di atas bukit—tertinggal oleh waktu, tapi belum benar-benar mati. Dindingnya dipenuhi lumut, jendelanya retak tak beraturan, dan udara di sekitarnya berat seperti menyimpan napas para jiwa yang pernah dikurung di dalamnya.
Elysia sudah berdiri di gerbang depan, liontin di lehernya bergetar pelan. Edric dan Satrio berdiri di kedua sisinya, saling melempar pandang sebelum akhirnya membuka gembok tua yang menggantung di pintu besi.
“Sudah siap?” bisik Edric.
“Tidak,” jawab Elysia. “Tapi kita tetap harus masuk.”
Begitu mereka melangkah ke dalam, suasana berubah drastis. Koridor panjang itu terasa seperti lorong waktu, dengan bau karbol yang menyengat, cat yang mengelupas, dan suara langkah mereka menggema tak wajar.
Satrio menyalakan senter. “Menurut kertas itu, arsip berada di lantai bawah tanah. Tapi jalurnya... tidak pernah muncul di denah resmi rumah sakit.”
Mereka menyusuri lorong-lorong, mengikuti tanda samar bertuliskan Φ-KANAK, tertulis dengan cat merah pudar di dinding. Setiap langkah membawa mereka lebih dalam ke dalam perut bangunan, menuju tempat yang sudah lama ingin dilupakan.
Tangga menuju lantai bawah tanah tersembunyi di balik lemari arsip tua. Setelah mendorongnya dengan susah payah, mereka menemukan pintu besi yang terkunci dengan gembok kode.
Elysia meraba permukaan gembok. Tiba-tiba liontin di lehernya bersinar redup. Ia menatap Satrio dan Edric.
“Coba angka 2-3-5,” bisiknya.
Klik. Gembok terbuka.
Edric menatapnya, heran. “Bagaimana kau tahu?”
“Aku tidak tahu. Tapi sepertinya... bagian dari diriku sudah tahu sejak dulu.”
Ruang bawah tanah itu lebih dingin dari yang mereka bayangkan. Kabut tipis menggantung di udara, seolah ruangan itu masih bernapas. Di sekelilingnya terdapat lemari arsip berkarat berjajar seperti barisan makam.
Satrio membuka satu laci. Dokumen-dokumen tua, beberapa sudah rapuh. Ia menemukan berkas dengan lambang Φ-KANAK dan tanggal puluhan tahun lalu. “Ini dia…”
Mereka duduk di lantai, membuka satu per satu. Nama-nama anak, hasil observasi, bahkan rekaman eksperimen yang ditranskrip tangan. Setiap lembaran seperti membuka luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
“Elsa ada di sini,” bisik Elysia, matanya menyapu baris demi baris. “Dan Ressa. Tapi bukan hanya mereka.”
Ia menunjukkan nama lain yang membuatnya tercekat.
> Nama: Elysia Thornfield
Nomor Subjek: 000-Φ-X
Edric dan Satrio menatapnya kaget.
“Tidak mungkin,” gumam Satrio. “Kau tidak pernah dirawat di sini…”
“Aku pikir tidak,” jawab Elysia, suaranya bergetar. “Tapi, mungkin itu yang selalu Mama coba sembunyikan.”
Seketika, suara klik terdengar di belakang mereka. Pintu logam menutup sendiri. Lampu seketika padam.
Dan dari kegelapan, terdengar suara langkah pelan. Seperti seseorang atau sesuatu yang bergerak mendekat.
Edric menyalakan senter. Cahayanya memantul pada sesuatu di ujung lorong.
Sebuah kursi besi. Di atasnya, ada boneka kecil. Lusuh. Matanya bolong.
Dan di belakangnya bayangan tinggi berdiri diam.
Alana membeku.
Itu bukan Ressa.
Itu bukan Elsa.
Itu adalah dia sendiri.
Dirinya. Tapi lebih muda. Lebih pucat. Dengan mata yang tidak manusiawi.
Bayangan itu membuka mulutnya.
> “Kau tidak di sini untuk mengingat, Elysia. Kau di sini untuk menggantikan.”
Elysia berdiri terpaku. Bayangan dirinya versi yang lebih muda, pucat, dan tak berjiwa menatap balik tanpa ekspresi. Cahaya senter Edric hanya memperjelas detail yang mengerikan : mata hitam legam tanpa pantulan, bibir pucat, dan gerakan kepala yang kaku seperti boneka yang kehilangan tali.
Edric menarik Elysia ke belakang. “Itu bukan kamu. Apa pun itu, jangan biarkan dia mendekat.”
Namun Elysia seperti tertahan oleh sesuatu yang lebih kuat dari rasa takut. “Aku ingat dia,” bisiknya. “Itu adalah aku, saat umur enam tahun. Tapi aku, seharusnya tidak pernah ke tempat ini.”
Bayangan kecil itu melangkah maju, dan setiap langkahnya membuat udara semakin dingin. Boneka yang tadinya duduk di kursi jatuh ke lantai, dan terdengar suara tawa kecil, nyaring, menyerupai suara Ressa.
Satrio memegang liontin di leher Elysia. “Mungkin... dia adalah bagian dari ingatanmu yang terpecah. Mungkin rumah sakit ini, tempat ini, mengunci sesuatu dalam dirimu—dan sekarang, ia ingin keluar.”
Langkah si gadis kecil berhenti tepat di hadapan Elysia. Tanpa suara, dia mengangkat tangannya, menyentuh pipi Elysia. Sentuhan itu seperti es dan sekejap, dunia di sekelilingnya runtuh dalam benaknya.
Visi menyeruak.
Putih. Ruang penuh cahaya. Anak-anak duduk berjajar. Mereka tak menangis, tak tertawa. Hanya menatap lurus ke depan.
Dan Elysia versi kecilnya duduk di tengahnya, memegang cermin kecil. Dari cermin itu, dia melihat mata seseorang mengamatinya dari sisi lain. Mata yang sama dengan miliknya.
> “Kami bereksperimen dengan memori,” terdengar suara dari balik kaca. “Subjek 000-Φ-X menunjukkan resistansi tinggi terhadap penghapusan. Tapi kami bisa memecahnya.”
Layar gelap. Elysia terlempar kembali ke kesadarannya, terhuyung dan jatuh ke lantai. Tubuhnya menggigil.
Edric memeluk bahunya. “Kau lihat apa?”
“Kenangan yang bukan kenangan… tapi nyata,” Elysia berbisik. “Mereka mencoba menghapusku. Tapi bagian dari diriku masih hidup di sini. Sebagai bayangan.”
Bayangan kecil itu kini berdiri diam, lalu perlahan memudar, seperti kabut yang tertiup angin.
Lampu di ruangan menyala kembali, seolah waktu memutuskan untuk kembali berjalan. Pintu besi terbuka sendiri, dan boneka di lantai kini telah berubah menjadi potongan kertas kecil.
Elysia mengambilnya. Tertulis satu kalimat dengan tinta merah:
> “Gerbang telah terbuka. Dan yang tak pernah tidur akan bangkit."
Mereka meninggalkan ruang bawah tanah dalam diam. Arsip yang mereka bawa sudah cukup untuk mengungkap sebagian besar misteri. Tapi bagi Elysia, jawabannya malah memunculkan lebih banyak pertanyaan.
Di dalam mobil, Satrio menatapnya serius. “Kalau kau memang bagian dari eksperimen itu… kita harus tahu siapa yang menjalankannya. Siapa yang mendesain semua ini.”
Edric menambahkan, “Dan kenapa sekarang, setelah bertahun-tahun bayangannya kembali muncul?”
Elysia menatap liontin yang ada di tangannya, lalu ke kaca jendela mobil yang memantulkan wajahnya. Tapi dalam pantulan itu dia tak sendirian.
Ada sepasang mata lain, tepat di belakang bahunya.
Malam telah larut ketika mereka kembali ke rumah Elysia. Hujan rintik rintik mulai turun, menciptakan pola-pola tak beraturan di kaca jendela. Tapi pikiran Elysia jauh lebih kacau dari cuaca.
Ia duduk di ruang tengah, menatap lembaran-lembaran arsip yang mereka temukan di ruang bawah tanah rumah sakit terbengkalai. Setiap catatan, setiap diagram, setiap potongan dokumen seakan membuka lemari kenangan yang selama ini tak pernah ia tahu terkunci.
Satrio menyalakan tape recorder kecil dan mulai membaca salah satu transkrip:
> “Subjek 000-Φ-X menunjukkan dualitas psikologis signifikan. Proses pemisahan kesadaran berhasil sebagian. Bayangan pertama muncul pada sesi ketiga: entitas non-verbal yang mengikuti subjek dengan keterikatan kuat.”
Elysia menelan ludah. “Itu aku, kan?”
Edric menoleh. “Mereka menyebutmu ‘subjek’. Kau bukan hanya pasien biasa. Kau percobaan.”
Elysia mengangguk pelan. “Dan yang mereka sebut ‘bayangan pertama’mungkin adalah Ressa. Atau bagian dariku sendiri yang mereka paksa keluar.”
Ia berdiri perlahan dan berjalan ke cermin yang tergantung di ruang tamu. Untuk sesaat, ia hanya melihat dirinya, terlihat lelah, bingung, rapuh. Tapi kemudian, seperti ilusi optik, muncul lapisan kedua dari bayangan itu: seorang gadis kecil dengan gaun rumah sakit, berdiri di balik refleksi Elysia.
Gadis itu tidak bergerak. Hanya menatap.
> “Aku tidak pernah benar-benar pergi,” suara itu berbisik di kepala Elysia. “Kau hanya belajar melupakanku.”
Tangis tak terbendung lagi. Elysia memejamkan mata, tapi suara itu tetap bergema.
Satrio mendekat, meletakkan tangan di pundaknya. “Kau tidak harus menghadapi ini sendiri.”
Tapi Elysia membuka mata dengan keteguhan baru. “Aku harus. Karena kalau aku tidak mengenal bagian tergelap dalam diriku, bagaimana aku bisa memahami bayangan orang lain?”
Ia menyentuh permukaan cermin dengan ujung jarinya. Tak ada yang terjadi. Tidak ada ledakan. Tidak ada retakan. Hanya keheningan dan pemahaman.
Ia menarik napas panjang.
> “Mungkin yang selama ini mengurungku… bukan tempat itu. Tapi ketakutanku sendiri.”
Di luar, angin malam membawa wangi basah tanah dan nostalgia masa kecil. Gerbang yang tak terkunci kini bukan hanya ruangan gelap di rumah sakit tua—tapi juga ruang di dalam dirinya sendiri.
Gerbang menuju kebenaran, luka dan penyembuhan.