Kathleen tidak pernah menyangka bahwa rasa penasaran bisa menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar!
Semua berawal dari kehadiran seorang cowok misterius di kelas barunya yang bernama William Anderson. Will memang selalu terkesan cuek, dingin, dan suka menyendiri. Namun, ia tidak sadar kalau sikap antisosialnya yang justru telah menarik perhatian dan membuat gadis itu terlanjur jatuh hati padanya.
Hingga suatu hari, rentetan peristiwa menakutkan pun mulai datang ketika Kathleen tak sengaja mengetahui rahasia siapa William sebenarnya.
Terjebak dalam rantai takdir yang mengerikan, membuat mereka berdua harus siap terlibat dalam pertarungan sesungguhnya. Tidak ada yang dapat mereka lakukan lagi, selain mengakhiri semua mimpi buruk ini sebelum terlambat!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rivelle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31 - Berkencan dengannya?
Aku melepaskan pandang ke arah bangku taman yang tersaput oleh salju tipis. “Tolong jangan menatapku seperti itu. Ini tidak seperti yang kau pikirkan,” kataku pada William.
Will pun lekas mengalihkan tatapannya.
“Kathleen, apa yang sedang kau lakukan di sini?” sela Steve bertanya.
Untuk memperkuat alasan, aku buru-buru menunjuk mobil Ford ayahku yang terparkir sembarangan di pinggir jalan. “Aku tadi hanya kebetulan lewat dan tidak sengaja melihat kalian.”
“Oh, benarkah?” Ekor matanya melirikku dengan tak yakin.
“Terserah kau mau percaya atau tidak. Tapi yang jelas, jangan berkelahi di tempat umum seperti ini. Kalian berdua seperti anak kecil yang sedang berebut permen. Benar-benar memalukan!”
Ia tertawa geli. “Kau jangan salah paham dulu. Kami berdua sama sekali tidak berniat untuk berkelahi. Aku dan William hanya sedang mengobrol santai.” Ia merangkul pundak cowok itu. “Bukan begitu, Man?”
Will beringsut menjauh seraya menepis lengan Steve dari pundaknya.
“Berhentilah membodohiku, Steve! Kau selalu saja mempermainkanku. Aku tahu kalau dari tadi kalian sedang meributkan sesuatu hal!”
“Ahh, ternyata kau sudah mendengar semua yang kami bicarakan ....”
“Sebagian! Tidak semua,” tampikku sedikit berbohong.
Ia tersenyum tipis dan mengangguk enteng. “Oke, baiklah. Karena kau juga sudah terlanjur mendengar semua ... sori, maksudku, sebagian. Bagaimana kalau kita berdiskusi saja sekarang? Lebih baik, bukan?” Cowok itu kemudian melirik William sembari bersandar ke batang pohon besar yang ada di belakangnya. “Bagaimana? Setuju? Kau bisa mendapatkan apa yang kau mau dan juga sama halnya denganku.”
“Jadi apa maumu?” jawab Will tak bertele-tele.
“Ugh, kau tidak perlu bertanya lagi padaku. Kuyakin kau juga pasti sudah mengetahuinya, Kawan.” Steve beralih menatapku sambil memasang ekspresi penuh maksud.
William termenung sejenak, berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh cowok itu. Ia lalu mengikuti arah pandang Steve dengan raut bimbang sedangkan aku sendiri hanya bisa menunjukkan muka bingung karena kini mereka berdua malah menatapku secara bergantian.
Steve tahu-tahu menjentikkan jari. “Bingo! Tebakanmu benar. Kau memang jenius, William. Aku ingin berkencan dengan Kathleen. Well, paling tidak makan malam dan nonton bioskop.”
“Lalu apa urusannya denganku? Kalau kau mau pergi berkencan, silakan saja. Aku tidak akan pernah menghalangimu lagi.”
“Ck! Bukan itu yang kumaksud. Kau tahu sendiri bukan, Kathleen pasti akan menolakku mentah-mentah? Yeah, paling tidak kalau kau bisa membujuknya ... aku jamin kau bisa mendapatkan liontinmu lagi hari ini juga.”
Mendengar hal itu, William pun tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menatapku dari balik manik mata kelabunya yang sendu. Kebiasaan buruk Steve ternyata masih belum hilang—hobi bertaruh dan menjadikanku sebagai hadiah jackpot-nya.
“Kau tidak perlu memintanya untuk membujukku, Steve. Kalau kau memang mau berkencan denganku, aku akan berkencan denganmu. Seperti yang kau katakan barusan, makan malam dan nonton bioskop,” kataku menegaskan kedua hal tersebut.
“Hei, sungguh?” Ia memberikan tanggapan antara ragu dan bersemangat.
Aku mengangguk.
“Tapi, kau tidak sedang coba membohongiku ‘kan, Kathleen?” tanyanya seraya mengerucutkan bibir.
“Tidak, aku tidak membohongimu. Kita akan pergi berkencan.”
“Woah, ini benar-benar sulit dipercaya! Akhirnya kau mau juga pergi berkencan denganku. Kalau begitu, baiklah. Berdandanlah yang cantik karena nanti malam aku akan langsung menjemputmu, Baby!”
“Jangan lupa untuk tepati janjimu,” balasku mengingatkan.
“Ya, tentu saja. Kau tidak usah khawatir.” Steve menyepakati kemudian mengambil ponsel dari saku coat panjang yang dikenakannya. Ia mengetik sebuah pesan dan menyuruh William untuk segera membuka ponselnya. “Aku sudah mengirimkan alamat lengkapnya padamu. Datanglah ke sana tepat waktu. Kalau kau terlambat, jangan salahkanku kalau liontinmu tidak pernah kembali.”
Will menggigit kuat rahangnya. “Aku pasti datang, jadi pegang saja omonganmu itu baik-baik!” balasnya dengan tatapan sengit. Ia kemudian langsung melangkah pergi, meninggalkanku dan Steve berdua di sini.
“Well, terima kasih banyak kau sudah mau pergi bersamaku, Kathleen. Aku janji tidak akan mengecewakanmu.” Steve tersenyum bahagia.
“Ya, sama-sama.”
“Anyway, kau nanti mau makan malam di mana? Restoran Italia? Prancis? Atau Jepang juga tidak masalah. Biar aku reservasi tempatnya setelah ini.”
“Umm, terserah kau saja. Lagi pula, tadi kau dulu yang mengajakku. Apapun pilihanmu, aku ikut.”
“Ah, okey. Aku tahu banyak restoran terbaik di kota ini. Kuyakin kau pasti bakal menyukainya.”
“Ya, trim’s. Apa ada lagi yang mau kau bicarakan? Kalau tidak ada, aku pergi dulu. Masih ada hal lain yang harus kukerjakan,” kataku sedikit terburu-buru, teringat dengan tujuan awalku keluar rumah.
“Yeah, kau bisa pergi. Sampai ketemu nanti malam, Baby!” Ia melambaikan tangan.
***
Masalah William dan Steve sepertinya sudah berhasil menemukan jalan keluar. Selanjutnya, tinggal masalahku dengan Dad karena saat ini ia pasti sedang mencari mobilnya sekarang.
Aku pun cepat-cepat pergi mencari minimarket yang berada tidak jauh dari sini. Biasanya, waktu paling singkat yang kubutuhkan untuk berbelanja adalah sekitar satu sampai dua jam. Tapi, hebatnya kali ini aku cuma menghabiskan waktu lima belas menit untuk memborong semua barang kebutuhan mingguanku yang ada dalam daftar ditambah dengan titipan Mom.
Pagi tadi kulihat Dad masih tertidur pulas karena kelelahan membersihkan gundukan salju di pekarangan rumah berikut pintu garasi yang rusak kemarin. Jadi, semoga saja ia masih belum bangun sekarang.
Begitu tiba di depan rumah, aku segera mematikan mesin mobil secara perlahan sembari berusaha agar tak mengeluarkan suara sedikit pun. Tidak ada tanda-tanda pergerakan yang terdengar dari dalam rumah. Mom mungkin sudah pergi ke bandara untuk mengantar Bibi Jossie dan Dad juga tampaknya memang masih belum bangun.
Aku menghembuskan napas lega kemudian bergegas turun untuk masuk ke dalam rumah. Namun, apa yang diharapkan tentu tidak selalu berjalan mulus sesuai rencana. Di saat kubuka pintu, aku terlonjak begitu melihat Dad yang ternyata sudah berdiri di depan sana sambil menyilangkan kedua tangannya.
“Bagaimana perjalananmu? Menyenangkan?” celetuknya yang terlihat sangat antusias menyambutku.
Aku meringis dan langsung menyorongkan kantong plastik belanjaan padanya. “Kunci mobilmu ada di dalam sini, Dad! Aku tadi juga sudah mengisi ulang bensinnya. FULL!” kataku lantas berlari, melesat masuk ke dalam kamar.
“Hei, kemari! Tunggu dulu. Kau mau kabur ke mana, Kathleen? Aku akan memasang sepuluh pengunci ban mobil sekaligus kalau kau masih berusaha mencuri-curi kesempatan untuk coba pergi membawa mobil lagi sendirian!” teriaknya menggelegar.
Aku meralat. “Jangan menghambur-hamburkan uang, Dad. Mobil kita hanya memiliki empat roda. Bukan sepuluh ....”
Ia pun geleng-geleng kepala. Ayahku tidak mungkin bisa berlari mengejarku karena jika toples kaca yang ada di dalam kantong belanjaan tadi pecah, maka ialah yang justru akan terkena semburan oleh Mom sepanjang malam.