Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
"Bim, masih di kantor?" tanya Luna melalui telepon saat perjalanan menuju kantor, suaranya terdengar jelas ia sedang menangis.
"Kamu kenapa, Lun? Iya aku masih di kantor," jawab Bimo dengan nada khawatir.
Luna segera mematikan telepon dan melajukan mobilnya dengan cepat menuju kantor, entah seperti dunia berpihak padanya. Biasanya jalanan begitu macet tapi kali ini senggang, dia bisa secepat mungkin tiba di kantor.
.
"Dia menuju kantornya, aku masih mengikuti!" lapor Johan kepada Renzo.
"Aku juga sedang perjalanan ke sana, kabari aku terus. Pastikan Luna baik-baik saja!" perintah tegas dari Renzo sebelum ia mematikan teleponnya.
Luna berlari masuk setelah memarkirkan mobilnya di depan kantor, tidak di basement. Tak lama di susul oleh mobil Johan yang terpakir sedikit jauh dari mobil Luna guna bisa mengawasi wanita muda itu.
"Bim... " panggilnya. "Sepertinya memang Renzo yang melakukan itu, entah dengan tangannya sendiri atau meminta suruhannya yang melakukannya." lanjutnya. Luna berani bicara keras karena seisi kantor hanya ada mereka berdua.
"Apa yang kau katakan padanya hingga menyulut emosinya?"
"Aku cuma minta dia untuk menyelidiki Ivan, itu saja. Mungkin aku yang berlebihan, memang kemarin malam aku sangat takut sekali, aku tidak berpikir panjang dan langsung menghubungi Renzo. Tapi aku tidak menyangka akan seperti ini," terang Luna dengan napas yang terengah-engah.
"Kurasa dia orang yang tempramen... " belum selesai Bimo berpendapat dengan cepat Luna menyanggah kata-katanya.
"No, kamu nggak ngerti!" Luna tetap berusaha membela kekasihnya, dia juga berpikir bahwa Bimo tidak perlu tahu mengapa Renzo menjadi seperti itu.
Setelah cukup lama Luna menenangkan diri, berpikir langkahnya kedepan agar tidak tergesa-gesa mengambil tindakan yang dapat memicu Renzo marah. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang, setelah lebih dari satu jam lamanya.
Bimo mengusap lengan Luna sebelum mereka berpisah masuk ke dalam mobil masing-masing.
Renzo yang melihat hal tersebut dari kejauhan merasa kesal, dia merekatkan rahangnya dan tangannya mengepal keras pada setir mobil. Sorot matanya yang tajam memandang mobil Luna yang perlahan menghilang dari pandangannya.
.
.
Kambodia Residence
Ponsel Luna bergetar ketika dia baru saja tiba di rumah. Dengan perasaan lelah dan kepala yang masih dipenuhi pikiran tentang Renzo, dia meraih ponselnya dan melihat nama Patricia di layar.
“Patricia?” Luna menjawab dengan suara pelan. Dia tak menyangka pacar Bimo akan meneleponnya malam-malam begini.
“Luna! Aku... aku butuh kamu datang ke sini. Bimo mengalami kecelakaan!” Suara Patricia terdengar panik dan penuh isak tangis.
Luna terdiam sejenak. “Apa? Kecelakaan? Di mana sekarang?”
“Di rumah sakit! Dia dibawa ke RS Medical Pro. Aku nggak tahu harus bagaimana. Tolong datang, Luna! Aku juga sedang mencoba menghubungi orang tua Bimo.”
Luna tak berpikir dua kali. Dia langsung mengambil kunci mobilnya dan berlari keluar. Saat dia baru saja akan keluar dari rumah tiba-tiba ponselnya berdering kembali, kali ini nama yang muncul di layar adalah Renzo.
"Aku sebentar lagi tiba di rumahmu, berikan aku waktu untuk bisa bicara denganmu." ucap Renzo di telepon.
"Ren, maaf aku harus segera ke rumah sakit. Bimo kecelakaan!" tanpa mendengar jawaban Renzo lagi, Luna mematikan teleponya dan melajukan mobil dengan sangat kencang.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Bagaimana ini bisa terjadi? Bimo baik-baik saja tadi. Seluruh tubuhnya gemetar.
.
Setibanya di rumah sakit, Luna langsung menemukan Patricia yang tengah menangis di depan ruang UGD. Begitu melihat Luna, Patricia langsung memeluknya erat.
“Gimana bisa ini terjadi, tadi aku masih di kantor bareng Bimo?” Luna bertanya dengan napas yang masih tersengal.
Patricia mengusap air matanya. “Dia baru keluar dari kantor tadi setelah bersamamu. Katanya mau pulang, tapi tiba-tiba ada mobil yang menabraknya, karena panik Bimo banting setir dan menabrak pembatas jalan, Lun”
Jantung Luna mencelos. Dia tak percaya, siapa yang melakukan hal semacam itu?
"Lalu di mana orang yang menabraknya?"
"Kabur, polisi sedang mencoba mencarinya. Ada saksi yang lihat, katanya itu mobil yang cukup mewah. Untuk apa mobil mewah sengaja menabrak Bimo. Lun, Bimo itu orang yang baik dia nggak punya musuh!" jelas Patricia sembari terus menangis.
"Kamu tahu... tadi dia sempat cerita soal kamu dan Renzo.” Patricia menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Dan setelah kejadian waktu itu, kamu lupa Renzo pernah memukul Bimo... aku curiga, Lun. Bisa saja ini ada hubungannya dengan Renzo, kekasihmu itu,”
Luna langsung menggeleng. “Ngak, Patricia. Aku tahu Renzo. Dia memang bisa jadi sangat protektif, tapi dia bukan orang yang akan menyakiti orang lain seperti ini.”
Patricia menatapnya dengan pandangan ragu. “Kamu yakin, Luna?”
Luna menggigit bibirnya, pikirannya berputar cepat. Tidak mungkin Renzo melakukan ini. Tidak mungkin. Namun, entah kenapa ada suara kecil di dalam kepalanya yang meragukan keyakinannya sendiri.
Sebelum Luna bisa berkata-kata lagi, dokter keluar dari ruangan dan mendekati mereka. “Keluarga Bimo?”
“Ya, Saya,” jawab Patricia cepat. “Bagaimana keadaannya, Dok?”
“Dia mengalami luka cukup parah di bagian dada dan tangan. Beberapa tulang rusuknya retak akibat benturan. Tapi syukurlah, tidak ada cedera yang mengancam nyawanya. Kami akan memindahkannya ke ruang rawat.”
Patricia langsung menangis lega, sementara Luna menghela napas panjang. Setidaknya, Bimo masih selamat.
Namun, hatinya belum tenang. Jika benar ini bukan kecelakaan biasa... siapa yang melakukannya?
.
.
Kemarin merupakan hari yang melelahkan bagi Luna, kantung matanya sudah terlihat jelas akibat kurang tidur. Hari ini dia harus mematiskan sendiri, apa benar semua ini terjadi karena Renzo?
Sebelum dia menekan tombol panggil ke Renzo, Luna lebih dulu mengantongi informasi bahwa Bimo sudah siuman dan sudah memberikan kesaksian seperti apa ciri-ciri orang yang menabraknya.
"Aku ingin bertemu denganmu sekarang!" ucap Luna dengan tegas pada Renzo di telepon.
"Oke, temui aku di apartemen satu jam lagi,"
Luna sudah siap dengan banyak pertanyaan yang harus Renzo jawab, pertanyaan yang akan menyudutkan Renzo sehingga pria dingin itu tidak bisa mengelak maupun berbohong.
"Jika memang ini akhir dari hubunganku denganmu, aku harus mengubur dalam-dalam semua impianku untuk hidup bersamamu, Kekasih hatiku!"
Tapi hatinya berkata lain. "Namun, bukankah aku sudah janji akan menemanimu apapun keadaannya?"
Luna menghela napas panjang, berdiri di depan pintu apartemen Renzo dengan tangan gemetar. Perasaan takut, marah, dan rindu bercampur jadi satu. Dia mengangkat tangannya, siap mengetuk pintu—tapi sebelum sempat melakukannya, pintu terbuka sendiri.
Renzo berdiri di sana, mengenakan kemeja hitam yang sedikit kusut. Tatapan matanya tajam, menarik Luna masuk ke dalam apartemennya.
.