"Aku hamil lagi," ucap Gladys gemetar, ia menunduk tak berani menatap mata sang pria yang menghunus tajam padanya.
"Gugurkan," perintah Gustav dingin tanpa bantahan.
Gladys menggadaikan harga diri dan tubuhnya demi mimpinya menempuh pendidikan tinggi.
Bertahun-tahun menjadi penghangat ranjang Gustav hingga hamil dua kali dan keduanya terpaksa dia gugurkan atas perintah pria itu, Gladys mulai lelah menjalani hubungan toxic mereka.
Suatu ketika, ia bertemu dengan George, pelukis asal Inggris yang ramah dan lembut, untuk pertama kalinya Gladys merasa diperlakukan dengan baik dan dihormati.
George meyakinkan Gladys untuk meninggalkan Gustav tapi apakah meninggalkan pria itu adalah keputusan terbaik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nara Diani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 27
Pagi harinya Gladys terbangun lebih dulu, perempuan itu mengerjap-ngerjapkan matanya yang terasa sangat berat.
Dengan hati-hati ia meraih ponsel di meja nakas agar Gustav yang masih tertidur di atas dadanya tidak terbangun.
"Jam enam," gumam Gladys melihat jam pada ponsel.
Sebuah pesan dari George tiba-tiba masuk ke ponselnya. Gladys segera mengecek.
George
Ayo bertemu, ada yang harus kita bicarakan.
Gladys
Bertemu di mana? Cafe biasa?
George
Jangan, Gustav menyuruh seseorang untuk mengawasi mu, dia akan tahu kita bertemu kalau ke cafe itu.
Mata Gladys melebar. Apa? Jadi selama ini Gustav selalu mengawasinya?
Ia menatap wajah Gustav yang tertidur tenang di atas dadanya, perempuan itu merinding sendiri membayangkan setiap kegiatannya diawasi selama ini, ternyata Gustav benar-benar mau mengontrol hidup Gladys sepenuhnya.
George
Saya akan menjemputmu dengan taxi seperti kemarin.
Gladys
Oke, aku tunggu di lobi.
Gladys meletakkan ponselnya ke atas nakas kembali setelah mengirim pesan terakhir. Dengan hati-hati Gladys pindahkan kepala Gustav ke samping agar badannya terbebas dan bisa keluar dari ruangan ini.
Namun kepala itu kembali ke tempat semula, Gustav mengeratkan pelukannya pada badan kecil Gladys hingga ia tidak bisa bergerak sama sekali.
"Mau ke mana kau?" tanya Gustav dengan sura serak, mata sayu nya terbuka lebar menatap lurus pada Gladys, persis seperti elang yang sedang mencari mangsa.
"Mau pulang, aku mau ganti baju dan mandi dulu," jawab Gladys lembut, ia mengelus rambut tebal Gustav.
"Boleh ya? Aku janji akan kembali ke sini sebelum jam masuk kantor," rayu Gladys.
Gustav bergumam berpikir sambil menikmati usapan lembut Gladys di kepalanya.
Gustav sendiri masih mau berada di posisi ini lebih lama tetapi pekerjaannya sendiri masih banyak dan perlu diselesaikan segera.
Pada akhirnya dia bangkit dari atas tubuh Gladys dengan setengah tidak ikhlas, Gustav berjalan menuju kamar mandi dengan tubuh telanjang tanpa malu.
Malah Gladys yang merasa malu, ia berdeham kecil memalingkan wajahnya yang memerah.
Ia memungut pakaiannya di atas lantai memakainya dengan cepat lalu bergegas turun ke lobi.
***
Taxi George sudah menunggu di bawah ketika Gladys sampai di lobi. Perempuan itu segera masuk ke dalam.
"Apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Gladys tanpa basa-basi.
"Saya sudah menemukan tempat aman yang tidak bisa dijangkau oleh Gustav, kapanpun kamu mau ke sana saya akan membawamu."
"Benarkah? Di mana?"
George menggeleng. "Saya tidak bisa memberitahunya sekarang," ucap pria itu menatap Gladys dari kaca spion.
Gladys cemberut merasa kecewa, melihat itu George tersenyum kecil, ingin sekali mencubit pipi Gladys yang memerah kesal.
"Saya janji itu tempat yang indah."
"Kamu sudah makan? Kalau belum ayo kita sarapan bersama," ajak George menaikkan alisnya.
Gladys ragu. "Bagaimana kalau nanti kita dilihat orang suruhan Gustav?" tanyanya pelan menatap awas ke kanan dan kiri pada kendaraan yang berlalu-lalang, harap-harap di antara kendaraan itu tidak ada orang itu.
"Tenang saja," ucap George menaikkan sudut bibir ke atas.
Pria itu menancap gas, secepat kilat melesat pergi menyusuri jalan kota yang masih agak sepi, George membawa taxi agak jauh menuju kedai makan pinggiran kota.
Pria itu parkirkan mobil di samping kedai, melepas sabuk pengaman lalu menoleh ke belakang pada Gladys yang masih aja cemas.
"Ayo turun," ajak George menunjuk kedai makan di samping dengan kepala.
Gladys mengigit bibirnya ragu. Menoleh ke sekitar dengan wajah was-was.
Melihat itu George turun lebih dulu mengitari mobil dan membuka pintu di samping Gladys. Pria itu mengulurkan tangannya.
"Ayo keluar, jangan takut orang itu tidak mengikuti kita," ucapnya lembut membuat hati Gladys lebih lega.
Ia terima uluran tangan George keluar dari dalam mobil.
George berjalan perlahan sambil menggandeng tangan Gladys, perempuan itu menatap wajah George dari samping lalu pandangannya turun ke bawah pada tangan mereka yang bertautan.
Mulai bertanya-tanya, kapan ya terakhir kali Gustav memperlakukannya selembut ini? Gladys menyusuri memorinya dan tidak menemukan sama sekali perlakuan manis seperti ini pernah Gustav lakukan, Gladys menarik napas sesak.
Betapa besar perbedaan mereka berdua.
George menarik kursi untuk Gladys. "Silahkan duduk," ucapnya.
"Terima kasih," ucap Gladys tersenyum.
Mereka pun memesan sarapan dan pagi itu berbincang-bincang ringan seperti biasa. George juga beberapa kali berhasil membuat Gladys tertawa lepas selesai sarapan George mengantar Gladys ke apartemennya.
***
Gladys kembali ke kantor pukul 08.30 setengah jam lebih awal daripada jam masuk kantor seharusnya. Ia menuju ruangan Gustav menggunakan lift khusus Direktur dan para petinggi perusahaan.
Di dalam lift ia bertemu dengan Nick yang membawakan sarapan pagi untuk Gustav.
"Selamat pagi, Nick," sapa Gladys mengumbar senyum.
"Pagi, Nona," jawab Nick tanpa menoleh pada Gladys. Pria itu berdiri tegak di sampingnya menenteng box sarapan.
Gladys mengernyitkan dahi merasa heran melihat Nick seperti ogah melihat wajahnya, Gladys mencondongkan wajahnya ke arah pria itu membuat Nick kaget dan refleks menjauh darinya.
"Ada apa denganmu? Kamu melihat wajahku seakan-akan kamu melihat hantu, Nick?" tanya Gladys heran.
"Tidak ada apa-apa, Nona."
"Apakah wajahku sejelek itu?" Nick menggeleng.
"Tentu saja tidak. Kamu sangat cantik, Nona," puji Nick bersungguh-sungguh. Pria akui Gladys memang cantik bahkan angat cantik sehingga seisi kantor membicarakannya di hari pertama magang.
Masalahnya bukan terletak di wajah Gladys tapi peringatan Gustav yang melarangnya menatap Gladys terlalu lama.
Nick tidak mau gara-gara masalah sepele ini gajinya harus dipotong oleh atasan jahanamnya itu karena ada cicilan yang harus dia bayar.
Namun Gladys malah mengartikannya ke arah yang lain, ia merasa Nick sengaja memujinya karena merasa tidak enak hati.
Perempuan itu mengusap wajah sendiri, memang sih belakangan ini wajahnya terlihat kusam karena susah agak lama tidak treatment ke klinik kecantikan.
Rasa tidak nyaman itu berlanjut hingga mereka sampai di ruangan Direktur, terlihat Gustav yang sudah duduk dengan wajah serius di atas meja kerjanya sambil mengetik. Wajah pria itu terlihat segar dan pakaiannya pun rapi.
"Selamat pagi!" sapa Gladys riang mengecup pipi Gustav singkat, sementara itu Nick meletakan box makanan ke atas meja.
"Sarapan Anda, Pak," ujar Nick. Ia beralih membuka iPad-nya memberitahu list pekerjaan Gustav hari itu.
"Hmm," gumam Gustav singkat tetap fokus pada layar laptopnya mengabaikan eksistensi Gladys dan Nick.
Gladys mengusap bahu pria itu lembut. Hendak bertanya untuk memvalidasi bahwa wajahnya tidak sejelek itu hingga Nick tidak mau melihatnya lama-lama.
"Aku mau nanya," ucap Gladys lirih mendayu di telinga Gustav membuat fokus pria itu terpecah, suara bernada manja Gladys selalu berhasil mengalihkan dunianya.
Dengan gerakan cepat pria itu tarik pinggang Gladys duduk ke atas pangkuannya. Mencium wanginya yang segar dan manis menggoda, begitu menggoda hingga Gustav ingin menerkam gadisnya itu saat ini juga jika tidak ingat Nick masih ada di sana.
"Apa yang mau kau tanyakan, Kucing?"
Gladys cemberut. "Bisakah kamu berhenti memanggilku kucing? Aku bukan hewan," rengeknya kesal tetapi tetap terlihat manja, Gustav terkekeh kecil kembali mencium leher Gladys gemas.
Nick yang menjadi nyamuk di antara mereka menghembuskan nafas muak, cuping hidungnya sampai mekar karena jengkel melihat dua manusia itu malah asyik bermesraan di depan jomblo aku seperti dia.
Ckckck, nasibmu Nick.
"Mau bertanya apa kau sepagi ini?" ulang Gustav.
"Apa aku cantik?" tanya Gladys dengan wajah serius.
Gustav mengerutkan dahi bingung, tidak biasanya Gladys bertanya seperti ini. Pria itu mendengus dengan wajah mengejek.
"Tidak, kau jelek dan wajahmu bodoh mirip seperti kucing putih!" sarkas Gustav yang seketika membuat bibir Gladys maju se senti.
Jelek dan bodoh katanya? Ia menatap wajah Nick yang berdiri tak jauh dari mereka.
"Tapi Nick bilang aku cantik kok," celetuk Gladys menunjuk wajah Nick.
Pria itu terbatuk, serta-merta matanya melotot kaget, lebih kaget lagi ketika Gustav menatapnya dengan tajam.
Berani sekali kau! Ucap pria itu tanpa suara dengan gerakan bibir.
"Benar kan Nick? Aku cantik kan?" tanya Gladys.
Nick tergagap. "Emm ... it--itu anu itu ..." ucapnya terbata-bata menahan gemetar.
Demi Tuhan! Gustav menatapnya seperti mau mengulitinya hidup-hidup membuat Nick gugup setengah mati sambil menelan ludah kering.
Otak pintarnya terus mencari-cari alasan aman yang sekiranya tidak membuat gaji dan nyawanya melayang secara bersamaan.
"Se—semua wanita itu cantik dengan versi masing-masing kan?" ujarnya tersenyum kikuk memberikan jawaban yang sekiranya aman.
Tetapi Gladys tampak merasa tidak puas dengan jawabannya, sementara Gustav sudah kepalang emosi karena Nick berani mengatai Gladys cantik yang itu seperti merayu gadis bosnya secara tidak langsung.
Nick gemetar.
"Jadi aku cantik atau tidak?" tanya Gladys memastikan.
Gustav tiba-tiba mendorong perempuan itu dari atas pangkuannya dengan kesal hingga Gladys hampir terjungkal, beruntung keseimbangan tubuhnya bagus.
Wajah galak Gustav memerah dan berdecak kesal.
"Sudahlah tidak perlu meminta pendapatnya! Terima nasip saja kau itu jelek dan oon!" sinis pria itu menunjuk kening Gladys.
"Keluar dari sini wajahmu membuatku muak!" usir Gustav mengibaskan tangannya pada Gladys.
Gladys cemberut, ia keluar dari dalam ruangan itu membawa sakit hati. Nick menatapnya tidak enak hati. Ia mau menegur dan meminta maaf pada perempuan itu tapi takut memperburuk suasana hati Gustav.
Tanpa sadar dia menatap Gladys lama dari berjalan menjauh hingga keluar dan menghilang dari balik pintu.
Tiba-tiba bulu kuduknya merinding merasakan hawa dingin dari arah belakang. Pria itu menelan ludah, mampus! Dia lupa perintah Gustav untuk jangan menatap Gladys lama-lama.
"Kau ingin matamu ku congkel, Nick!"
Nick cepat-cepat kabur dari ruangan itu tanpa permisi sebelum matanya benar-benar dicongkel sang atasan.