“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
“Aku cuma mau kamu patuh selama satu tahun. Jalani rumah tangga ini dengan benar, seperti yang seharusnya. Tapi aku janji, selama setahun itu, aku nggak akan menyentuh kamu sedikit pun, kecuali dalam keadaan tertentu. Misalnya kamu sakit, butuh pertolongan, atau ada hal darurat.”
Syanas tetap diam, ekspresinya kosong. Tapi di dalam hatinya, tawaran itu jelas menarik. Tidak ada lagi tekanan untuk melayani suami, dan satu tahun itu terasa seperti tawar-menawar yang jauh lebih baik dibanding harus terus hidup dalam ketidakpastian seperti sekarang.
Namun, ia menahan wajahnya agar tetap datar, tidak mau menunjukkan ketertarikan sedikit pun.
Kahfi seolah mengerti pikiran Syanas. “Setelah satu tahun, aku akan ikuti semua keinginan kamu. Aku akan biarkan kamu pergi. Tapi selama satu tahun itu, kamu juga boleh melakukan apa yang kamu mau, termasuk buat konten lagi. Tapi dengan satu syarat, konten yang kamu upload harus aku setujui dulu.”
Syanas melirik Kahfi dari sudut matanya. Ia masih menjaga wajahnya tetap dingin, tapi di dalam, ia mulai menghitung untung rugi.
Tawaran ini terdengar masuk akal. Ia bisa mendapatkan kembali kebebasannya setelah setahun, dengan beberapa kompromi yang tidak terlalu buruk.
Namun, Kahfi menyipitkan mata sedikit, seperti membaca gelagat Syanas. Ia tahu istrinya itu mulai tergoda, meski berusaha keras menyembunyikannya. “Tapi ada satu hal. Kalau kamu melanggar kesepakatan ini, hukumannya berat.”
Mata Syanas melebar. Ia menegakkan tubuh, menatap Kahfi tajam. “Apa hukumannya?”
Kahfi hanya tersenyum tipis, tatapan matanya penuh teka-teki. “Kamu nggak perlu tau apa hukumannya. Tapi aku bisa jamin, kamu bakal menyesal seumur hidup.”
Syanas mendengus pelan, menatap Kahfi dengan frustrasi. Bagaimana bisa laki-laki ini selalu membuatnya penasaran sekaligus kesal? Ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi rasa gengsinya menahan.
Akhirnya, ia mengalihkan topik. “Kalau gue nggak setuju sama semua omong kosong lo ini, gimana?”
Kahfi menyandarkan tubuhnya ke dinding, kembali melipat tangan. “Kalau kamu nggak setuju, aku akan kembali ke tawaran awal. Satu malam di hotel sama aku, bayar satu miliar, dan sawah sepuluh hektar. Dan kalau kamu nggak bisa memenuhi itu, aku akan pastikan kamu masuk penjara karena sudah melanggar kesepakatan kita sebelumnya.”
Mata Syanas melebar. “Lo gila ya?!”
Kahfi mengangkat bahu, ekspresinya tetap tenang. “Aku cuma menggunakan hakku sebagai suami yang kamu abaikan. Jadi pilihannya ada di kamu sendiri. Mau setahun aja ikut aku, atau aku laksanakan opsi yang lain?”
Syanas terdiam, otaknya berpacu mencari jalan keluar. Tapi ia tahu tidak ada pilihan yang lebih baik dari pada menerima tawaran Kahfi.
Meski kesal, ia juga harus realistis. Satu tahun terasa lebih bisa diterima dari pada hidup terus-terusan dikejar.
Akhirnya dengan napas panjang, Syanas mengangguk kecil. “Baiklah. Gue setuju.”
Kahfi menghela napas lega, meski ia tetap menjaga wajahnya tetap tegas. “Bagus. Kamu nggak akan nyesel kalau mengikuti aturan mainku. Aku janji.”
Syanas mendengus pelan, masih menatap Kahfi penuh curiga. Dalam hati, ia berjanji bahwa ia akan menemukan cara untuk memenangi permainan ini.
Tapi untuk sekarang, ia memilih bertahan. “Tapi jangan pikir gue nurut karena gue percaya sama lo. Gue cuma mau ini cepat selesai.”
Kahfi tersenyum tipis, ekspresinya tetap santai. “Mulai sekarang, kamu harus panggil aku sayang. Aku nggak mau kamu panggil aku lo, gue, atau bahasa keras yang nggak enak didengar.”
Dengan enggan Syanas mendecak pelan. “Terserah lo ajalah.”
Kahfi menyipitkan mata. “Coba sekarang.”
Syanas menghela napas panjang, jelas-jelas enggan. “Sayang.”
Kahfi tersenyum puas, matanya menyipit menatap Syanas. “Bagus. Sekarang kita pulang. Kita pamit dulu sama keluarga kamu,” ucapnya dengan nada yang tak memberi ruang untuk penolakan.
Syanas terdiam, matanya menatap lantai, merasa beban di dadanya semakin berat. Ia benar-benar tidak ingin kembali ke pesantren itu.
Berapa kali lagi ia harus menghadapi kenyataan itu? Tapi ia hanya bisa diam. Mengungkapkan keberatan bukanlah pilihan.
Kahfi tentu saja sudah menyadari gelagat Syanas yang enggan kembali ke pesantren. “Tapi untuk sementara kita nggak akan pulang ke pesantren dulu. Aku ada pekerjaan di tempat lain.”
Syanas menoleh, ekspresi kebingungannya tak bisa disembunyikan. “Pekerjaan?”
Kahfi mengangguk santai, senyum tipis di bibirnya. “Tempatnya cukup jauh dari kota. Tapi aku yakin kamu akan suka.”
Syanas menatap Kahfi tajam, penasaran sekaligus bingung. Tempat itu terdengar seperti sebuah penantian yang penuh misteri, dan entah kenapa, perasaan itu mulai membuatnya tidak nyaman.
Namun, apa yang bisa ia lakukan? Ia terjebak dalam permainan ini.
Kahfi tersenyum penuh kemenangan, seolah sudah bisa menebak jawaban Syanas dari awal.
Syanas mengalihkan pandangannya, berbalik menuju kamar. “Tunggu sebentar,” ucapnya dengan nada datar, berusaha menahan perasaan yang bergolak.
Ia segera menuju lemari penyimpanan berkas. Tangannya bergerak cepat, membuka laci demi laci, menggeser dokumen yang tersisa. Namun, napasnya semakin sesak.
Kosong.
Semua berkasnya hilang. Matanya menyapu seluruh isi lemari dengan cepat, berharap mungkin ia keliru. Namun, nihil.
Jantung Syanas berdegup kencang. Ia sudah menduga ini. Hanya satu orang yang bisa mengambil semua berkas itu. Lebih buruk lagi, ada foto almarhum ayahnya dan dirinya.
Siapa lagi kalau bukan ibunya.
Syanas mengepalkan tangan. Ia menghembuskan napas berat, berusaha menenangkan diri, sebelum berbalik dan menuju pintu.
Namun, sebelum ia bisa keluar, Kahfi dengan cepat menahan pergelangan tangannya.
“Kamu mau apa sih?” tanya Kahfi dengan nada rendah, penuh kewaspadaan.
Syanas menoleh cepat, matanya penuh amarah. “Gue mau ambil semua berkas gue di Mama. Itu milik gue. Dia nggak berhak lagi mengatur hidup gue.”
Kahfi menatap Syanas dengan tajam, seolah mencoba membaca setiap gerakan. “Sayang,” jawabnya pelan.
Nada itu seperti peringatan, memberi isyarat bahwa Syanas tidak bisa sembarangan bertindak.
Syanas tersadar, ia menggigit bibir, menahan diri agar tidak mengeluarkan umpatan yang hampir meluncur.
Kahfi menyipitkan mata. “Aku ngomong apa tadi?”
Syanas mendesis pelan, tahu benar bahwa Kahfi tidak akan melepaskannya sebelum ia memenuhi tuntutannya.
Tangannya mengepal, rahangnya mengatup rapat. “Aku mau ambil berkas di Mama sayang. Mama nggak berhak lagi atur hidup aku.”
Kahfi mengangkat alis, ekspresinya puas. “Nada suaranya kenapa kayak begitu sayang?”
Syanas menghela napas kasar, menahan diri agar tidak meledak. “Sayang, aku harus ambil berkas itu. Semua berkas itu penting sayang.” kali ini ia berbicara lebih lembut, meski jelas terasa dipaksakan.
Kahfi mengangguk santai, merogoh kunci dari sakunya. Ia membuka pintu, melirik Syanas dengan ekspresi penuh kemenangan.
“Kalau begini kan lebih enak di dengar.”
Syanas begitu saja langsung keluar, langkahnya tergesa-gesa. Ia harus segera menghadapi ibunya sebelum semuanya terlambat. Namun satu hal yang pasti, Kahfi benar-benar membuat hidupnya semakin tidak terkendali.
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..