Reyhan menikahi Miranda, wanita yang dulu menghancurkan hidupnya, entah secara langsung atau tidak. Reyhan menikahinya bukan karena cinta, tetapi karena ingin membalas dendam dengan cara yang paling menyakitkan.
Kini, Miranda telah menjadi istrinya, terikat dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.
Malam pertama mereka seharusnya menjadi awal dari penderitaan Mira, awal dari pembalasan yang selama ini ia rencanakan.
Mira tidak pernah mengira pernikahannya akan berubah menjadi neraka. Reyhan bukan hanya suami yang dingin, dia adalah pria yang penuh kebencian, seseorang yang ingin menghancurkannya perlahan. Tapi di balik kata-kata tajam dan tatapan penuh amarah, ada sesuatu dalam diri Reyhan yang Mira tidak mengerti.
Semakin mereka terjebak dalam pernikahan ini, semakin besar rahasia yang terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terlambat
Reyhan duduk di ruang kerjanya dengan segelas kopi di tangan. Matanya terpaku pada layar laptop yang seharusnya diisi dengan laporan-laporan penting, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Dia menghela napas panjang, lalu menatap cangkir kopi yang ada di tangannya.
Rasanya pahit.
Dia memejamkan mata, menyadari sesuatu yang baru saja terjadi, kopinya tidak seperti biasanya.
Sejak menikah dengan Mira, setiap pagi dan malam, kopi yang ia minum selalu memiliki rasa yang sama. Ada sedikit tambahan gula, cukup untuk mengurangi pahitnya tetapi tidak menghilangkan aroma khasnya.
Sekarang, kopi itu kembali ke rasa yang dulu. Pahit dan hambar.
Tangannya mengeratkan genggaman pada cangkir itu, tetapi kemudian ia meletakkannya dengan kasar di meja.
"Sial." Reyhan mengusap wajahnya, pikirannya kacau.
Dia mengingat bagaimana Mira selalu menyiapkan kopi untuknya setiap pagi, bahkan ketika mereka sedang bertengkar. Dia mengingat bagaimana perempuan itu diam-diam memperhatikan kebiasaannya, menghafal setiap detail kecil tentang dirinya.
Sekarang? Tidak ada lagi Mira di rumah itu.
Tidak ada lagi kehadirannya yang berusaha mencairkan kebekuan di antara mereka. Tidak ada lagi suara lembut yang mengingatkan Reyhan untuk makan ketika dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Tidak ada lagi tatapan penuh harap dari Mira yang menginginkan sekadar pengakuan bahwa dia ada.
Reyhan bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela besar di ruang kerjanya. Pandangannya jatuh ke jalanan kota yang penuh dengan lampu, tetapi entah kenapa malam ini terasa lebih sepi.
Dia mengingat bagaimana selama ini selalu menghindari Mira. Selalu bersikap dingin, seolah kehadiran perempuan itu hanyalah sebuah hukuman baginya.
Dan sekarang, saat Mira benar-benar pergi…
Dia merasakan sesuatu yang mengganjal di dadanya.
Sebuah perasaan yang selama ini ia tolak untuk diakui.
Malam itu, Reyhan pulang ke rumah. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, dia tidak pergi ke bar atau mencari pelarian dalam tumpukan pekerjaan.
Ketika membuka pintu rumahnya, keheningan langsung menyambutnya.
Biasanya, saat dia pulang, Mira akan ada di sana. Entah itu sedang duduk membaca buku, atau mungkin menunggunya di meja makan dengan harapan bahwa malam ini Reyhan akan mau makan bersamanya.
Sekarang, rumah itu terasa kosong.
Dia berjalan masuk, menyalakan lampu. Udara di dalam rumah terasa lebih dingin dari biasanya, seolah mencerminkan sesuatu yang hilang. Matanya menangkap sudut ruangan tempat Mira biasanya duduk, sofa itu masih sama, tetapi tidak ada lagi kehangatan yang biasa ada di sana.
Reyhan menghela napas dan berjalan ke dapur. Dia membuka lemari es, mencari sesuatu untuk dimakan. Tetapi kemudian dia melihat sesuatu yang membuatnya terdiam—
Tumpukan makanan yang belum tersentuh.
Makanan yang biasanya dibuat Mira untuknya, masih ada di sana.
Seketika, dadanya terasa sesak. Mira selalu memastikan dia tidak pernah melewatkan makan, bahkan jika Reyhan menolaknya berkali-kali.
Tapi sekarang, tidak ada yang mengingatkannya lagi.
Dia menutup lemari es dengan kasar, lalu berjalan menuju kamar. Begitu pintu terbuka, aroma samar parfum Mira masih tertinggal di udara.
Dan itu membuat semuanya semakin nyata.
Mira benar-benar pergi.
Dia melepaskan jasnya dan melemparkannya ke kursi, lalu duduk di tepi ranjang. Matanya menatap kosong ke depan, tetapi pikirannya kembali ke masa lalu.
Dia ingat malam-malam ketika Mira tidur di sisi lain tempat tidur, tetapi selalu terjaga lebih lama hanya untuk memastikan dia sudah tidur dengan nyaman.
Dia ingat bagaimana Mira selalu mencoba berbicara dengannya, tetapi Reyhan hanya memberikan jawaban singkat atau bahkan mengabaikannya sama sekali.
Dia ingat tatapan Mira yang perlahan-lahan kehilangan sinarnya setiap kali Reyhan menunjukkan betapa dia tidak menginginkan pernikahan ini.
Sekarang… Tidak ada lagi tatapan itu.
Tidak ada lagi Mira.
Reyhan menggeram dan mengusap wajahnya. Perasaan ini mengganggunya, membuatnya marah.
Dia harusnya senang, bukan?
Dia akhirnya bebas dari pernikahan yang tidak ia inginkan.
Tetapi mengapa sekarang rumah ini terasa begitu kosong?
Mengapa tidak ada suara langkah kaki Mira yang biasanya terdengar di pagi hari?
Mengapa tidak ada tangan lembut yang menyentuh lengannya ketika dia tertidur di sofa karena kelelahan?
Mengapa tidak ada lagi seseorang yang tetap bertahan di sisinya meskipun dia telah melakukan segalanya untuk mengusirnya?
Reyhan mengembuskan napas kasar dan mengalihkan pandangannya ke cincin pernikahan yang masih melingkar di jarinya.
Sial.
Dia bahkan belum melepasnya.
Reyhan mengepalkan tangan, merasakan beban yang begitu berat di dadanya.
Mira pergi.
Dan untuk pertama kalinya… dia merasa benar-benar sendirian.
Reyhan duduk di kursi kerjanya dengan rahang yang mengeras, memandang kosong ke tumpukan dokumen yang tersusun rapi di meja.
Jemarinya mengetuk permukaan kayu itu dengan ritme yang tak teratur, menggambarkan pikirannya yang berkecamuk.
Hatinya gelisah menunggu kabar dari Bimo. Sudah sebulan berlalu sejak Mira menghilang dari kehidupannya, meninggalkan kekosongan yang tak mampu ia definisikan.
Kalimat terakhir Hendi tentang Mira terus bergaung di benaknya, seperti palu godam yang memukul-mukul rasa damainya hingga tak bersisa.
"Apa yang kamu temukan?" tanya Reyhan dengan nada dingin, berusaha menutupi keresahan yang terus membakar pikiran.
Tapi mendesak, ia tak mampu menghapus getar halus itu dari suaranya. Bimo berdiri di hadapan Reyhan dengan raut wajah serius, jelas-jelas menyiratkan bahwa kabar yang ia bawa tak akan menenangkan.
"Mira... tidak ada jejaknya, Rey," katanya dengan berat, seolah kalimat itu lebih tajam daripada yang ingin ia dengar. Kata-katanya menyusup seperti pisau di dada.
Reyhan menyipitkan mata, mencoba membaca maksud di balik ucapannya.
"Apa maksudmu? Katakan yang jelas!" desak Reyhan, sedikit lebih kasar dari yang ia rencanakan.
Reyhan butuh penjelasan, ia butuh arah. Bimo menelan ludah, terlihat jelas rasa canggung dan ketakutannya.
Namun, ia tetap menjawab, "Biasanya Mira selalu aktif di media sosial. Apa pun yang dia lakukan, terutama soal kamu, selalu ada jejaknya. Entah lokasi, foto, atau bahkan sekadar komentar. Tapi... sebulan ini, tak ada apa-apa. Dia benar-benar hilang, Rey, bahkan dari dunia yang paling sulit untuk dihindari—media sosial."
Pikiranknya langsung terhisap ke dalam pusaran yang penuh spekulasi. Mira selalu meninggalkan jejak, seperti denyut nadi yang membuktikan eksistensinya.
Sekarang?
Bahkan bayangannya pun terasa seperti kenangan yang perlahan memudar. Tidak ada lokasi yang ia datangi, tidak ada kenangan yang ia abadikan. Seolah dia memutuskan untuk lenyap begitu saja. Kenapa? Apa yang dia sembunyikan dariku? Atau... apa yang dia hindari?
Reyhan merasa dadanya semakin sesak. Mira selalu suka mengabadikan setiap momen. Bahkan saat Reyhan dingin dan menyakitinya, Mira tetap tersenyum dalam setiap fotonya, tetap menulis hal-hal manis seolah dia hidup dalam pernikahan yang bahagia.
Tapi sekarang, seolah-olah dia menghilang begitu saja.
"Dan ini lebih aneh lagi," lanjut Bimo dengan hati-hati. "Aku mencoba mencari tahu keberadaannya melalui teman-teman dekatnya, tapi tidak ada yang tahu di mana dia sekarang. Bahkan Hendi, yang katanya selalu ada untuknya, juga tidak bisa menghubunginya."
Reyhan menggenggam tangannya erat, jari-jarinya terasa dingin oleh emosi yang mendidih.
"Apa kamu yakin dia tidak ada di apartemennya?" tanya Reyhan, suaranya hampir bergetar.
Bimo menggeleng pelan, ekspresinya penuh kehati-hatian.
"Aku sudah menyuruh orang mengecek. Apartemennya kosong. Tidak ada tanda-tanda dia tinggal di sana belakangan ini."
Dadanya terasa sesak mendengar jawaban itu. Bagaimana mungkin dia tidak ada di sana?
"Dia tidak mungkin menghilang begitu saja!" seru Reyhan, hampir seperti geraman.
Bimo mengamati bosnya dengan tatapan tajam, sorot matanya seperti membaca apa yang berusaha kusembunyikan.
"Rey, kamu yakin ini yang kamu inginkan? Bukankah dulu kamu yang mengusirnya? Kamu bahkan..." Dia menghentikan kalimatnya sesaat, memilih kata, "...merayakan perpisahan kalian."
Reyhan langsung membanting tangannya ke meja, suaranya menggema di ruangan.
"Aku tidak peduli dengan masa lalu! Aku hanya ingin dia kembali sekarang!" suara Reyhan meledak, nyaris memotong kata-kata Bimo.
Namun, setelah kata-kata itu terlontar, rasanya seperti ada yang melukai dirinya sendiri. Reyhan bisa merasakan Bimo menatapnya dalam keheningan, dan ia tahu dia telah menangkap sesuatu yang lebih dari sekadar kemarahan dalam nada suaranya.
Ada kepanikan yang tidak mampu ia sembunyikan. Ketakutan. Ketakutan yang menggerogoti setiap pikirannya sejak Mira menghilang.
Ia mencoba menyangkalnya di dalam hati. "Aku tidak membutuhkan dia. Aku yang mengakhiri semuanya. Aku yang memilih ini."
Tapi semakin ia mencoba membela diri sendiri, semakin terasa nyaring suara lain yang berbisik, menyusup ke dalam pikiran.
"Apa yang akan kamu lakukan jika dia benar-benar pergi, Reyhan? Apa yang akan tersisa untukmu?" Dan saat itulah kenyataan itu menghantam, memeras dada dengan dinginnya rasa bersalah.
Untuk pertama kalinya, ia menyadari sesuatu yang tidak pernah berani ia akui sebelumnya, Reyhan takut. Takut kehilangannya untuk selamanya. Tapi... bagaimana jika aku sudah terlambat?
Bersambung...