"perceraian ini hanya sementara Eve?" itulah yang Mason Zanella katakan padanya untuk menjaga nama baiknya demi mencalonkan diri sebagai gubernur untuk negara bagian Penssylvania.
Everly yang memiliki ayah seorang pembunuh dan Ibu seorang pecandu obat terlarang tidak punya pilihan lain selain menyetujui ide itu.
Untuk kedua kalinya ia kembali berkorban dalam pernikahannya. Namun ditengah perpisahan sementara itu, hadir seorang pemuda yang lebih muda 7 tahun darinya bernama Christopher J.V yang mengejar dan terang-terangan menyukainya sejak cinta satu malam terjadi di antara mereka. Bahkan meski pemuda itu mengetahui Everly adalah istri orang dia tetap mengejarnya, menggodanya hingga keduanya jatuh di dalam hubungan yang lebih intim, saling mengobati kesakitannya tanpa tahu bahwa rahasia masing-masing dari mereka semakin terkuak ke permukaan. Everly mencintai Chris namun Mason adalah rumah pertama baginya. Apakah Everly akan kembali pada Mason? atau lebih memilih Christopher
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dark Vanilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebetulan macam apa ini
Sapaan itu membuatnya membeku di tempat. Berat, tapi ramah. Dia tahu siapa pemilik suara itu. Dengan sangat terpaksa, Everly menoleh perlahan.
Pria itu berdiri di sana, mengenakan hoodie abu-abu dan celana jeans hitam, rambutnya sedikit berantakan namun serasi dengan wajah tampan nan tengilnya. Dia terlihat santai, bahkan ada sedikit senyuman di sudut bibirnya.
“Oh, hey…” Suara Everly gugup tetapi mencoba terlihat normal. “Selamat pagi.”
Pria itu menyelipkan kedua tangannya di kantong hoodienya. “Selamat pagi. Kau mau keluar?” tanya pemuda itu ketika melihat penampilan Everly yang rapi dan…. menawan.
“Y-ya… aku ada urusan,” jawabnya cepat.
“Kalau begitu….” Pemuda itu memberi isyarat kepada Everly untuk jalan duluan. Chris paham jika wanita itu sedang malu dan tidak nyaman.
Everly mempercepat langkahnya menuju lift dan memencet tombolnya. Sedang di balik tubuhnya ia merasa kehadiran Christopher yang menjulang. Menyusupkan kehadiran yang membuat napasnya tertahan. Entah pria itu sedang memperhatikannya atau bagaimana, yang pasti Everly sedang mengalihkan pikirannya.
Ketika pintu lift terbuka, keduanya melangkah masuk dalam keheningan yang mengikat. Detik-detik terasa lambat. Christopher tetap diam, namun aroma cologne pria itu merambat di udara, menyentuh indra penciuman Everly dengan wangi yang begitu memikat. Hingga memutar kembali ingatannya pada mimpi tak senonohnya semalam. Everly mengumpat dalam hati, mengutuk Mason yang juga jarang menyentuhnya hingga ia harus memimpikan tidur denga pria yang merupakan tetangganya sendiri.
Pintu lift terbuka, wanita itu cepat-cepat keluar tanpa berkata apapun pada Christopher yang menatap punggungnya, dengan tatapan sulit diartikan.
Everly memutuskan menaiki bus menuju universitas. Ia harus mengirim kembali beberapa berkas, dan menyelesaikan keperluan administrasi. Namun wanita menautkan alisnya. Rasa heran kian mengganggu hatinya, ketika sang pemuda mengikutinya menaiki bus yang sama, duduk di belakang bangkunya, kemudian turun di jalan yang sama.
Everly menghentikan langkahnya mendadak. Tanpa pikir panjang, ia berbalik dengan cepat, menghadapkan dirinya pada pria yang berjalan tak jauh di belakangnya. Christopher tampak sedikit tersentak melihat konfrontasi tiba-tiba itu.
"Apa kau bisa berhenti?" Sergah Everly membuat si pria heran.
"Apanya?"
"Yang kau lakukan ini. Mengikutiku. Apa ada yang ingin kau bicarakan denganku?” tanya Everly, menatap pria itu curiga.
Chris mengangkat satu alisnya bingung. Namun kemudian tersenyum kecil.
“Apa?”
“Kau sudah mengikutiku sejak tadi. Apa ada yang ingin kau katakan? Atau mungkin…” Everly menggigit bibirnya, ragu untuk melanjutkan. Namun akhirnya, ia bergumam pelan, “Apa kau ingin membahas tentang malam itu? Aku bisa menjelaskannya.” oke sekarang dirinya mulai menyesali mulut lancangnya.
"Sialan Everly, Kepercayaan diri yang tidak tahu tempat," ringis batinya.
“Mengikutimu?” Chris terkekeh santai. “Maaf mengecewakanmu, tapi Aku sedang berjalan menuju kampusku.” kata pria itu kemudian.
“A-apa kau bilang?” Kini Everly yang terkejut.
Christopher mengarahkan dagunya ke arah belakang Everly, menunjuk gerbang universitas yang berdiri megah di kejauhan. Everly mengikuti arah pandangnya, matanya membelalak saat menyadari maksudnya.
“K-kau kuliah di sini?!"
Chris mengangkat sudut bibirnya, tersenyum tipis, kemudian anggukan kecil menegaskan jawabannya.
Everly terdiam sejenak, Ini terlalu kebetulan. Selain menjadi tetangganya, pria ini juga satu universitas dengannya. Kebetulan macam apa ini?!
Pemuda bermata coklat emas itu memiringkan kepala, memperhatikan reaksi Everly yang terlihat sedang mencoba menyembunyikan keterkejutannya. Netra pria itu jatuh pada tangan Everly. Dimana dokumen pendaftaran terdapat di genggamannya.
“Bagaimana denganmu, apa yang kau lakukan disini?” Untuk sesaat mereka saling menatap.
“Ah, aku harus menyerahkan berkas ke bagian administrasi.”
"Maksudmu kau akan kuliah disini?"
Everly mengangguk.
Pemuda itu balas mengangguk paham. “Secara teknis berarti kau juniorku.”
“Junior, haha ya kau benar.” sahut Everly grogi.
“Kalau begitu, sebagai senior yang baik dan tampan, aku dengan senang hati mengantarmu ke bagian administrasi.”
“Tidak, itu tidak perlu, sungguh. Aku bisa sendiri. Kebetulan di brosur ini ada petanya.” Everly mengacungkan brosur yang dipegangnya
Christopher menarik ujung-ujung bibirnya. “Dari pada melihat peta, bukankah lebih cepat jika aku yang mengantarmu.”
“Tapi..." Everly bimbang.
“Aku tidak berniat jahat." potong Christopher cepat.
“Ah, bukan. Eumm mengenai itu aku minta maaf.” kata Everly tak enak hati telah salah paham, mengira pria itu mengikutinya. Kalau pikir-pikir sikapnya tadi benar-benar memalukan.
“Don't worry about it...Yah, meski aku sedikit tersinggung karena dianggap penguntit, sih”
“I-I didn't mean it like that... I'm sorry..”
“No, please. Aku bercanda." Christopher tertawa kecil melihat kepanikan tersirat di wajah bening Everly. Wanita yang membuatnya tertarik bahkan di hari pertama pertemuan mereka.
"Jadi... apa kau keberatan jika aku mengantarmu?"
Everly agak ragu, kehadiran pria ini bersamanya entah bagaimana membuat hatinya gelisah, jantungnya dengan sialan berdentam-dentam tak karuan. Perasaan yang pernah ia alami saat bersama Mason dulu entah bagaimana muncul kembali, dan itu terjadi ketika ia bertemu pria ini, yang bahkan pertemuan pertama mereka tidak Everly ingat. Hal ini membuat Everly bingung.
Wanita itu akhirnya mengangguk setuju pada Christopher.
...***...
Everly mengurus segala hal tetang kuliahnya di ruang administrasi. Dan selama itu pula, Pria yang lebih muda beberapa tahun darinya duduk bersandar di ruang tunggu, dengan headphone di kepalanya. Menunggu urusannya selesai.
Sesekali pria itu menatapnya atau mata mereka berpapasan, dan Everly akan tersentak kaget tiap itu terjadi. Sumpah, dia sudah seperti remaja yang salah tingkah. "Berapa umurmu, Eve." ringis Everly dalam hati.
Perkataan wanita berkulit tan di balik meja, menyadarkannya dari lamunan. "Okay, your done. Kau bisa mengecek jadwalmu di aplikasi, dan perkuliahan dimulai minggu depan. Jika ada yang perlu ditanyakan, jangan ragu menghubungi kami," ujar wanita itu dengan senyum ramah.
Everly mengangguk, mengucapkan terima kasih, lalu memasukkan dokumen-dokumen yang baru diterimanya ke dalam tas. Ia melirik ke arah pria muda di ruang tunggu sebelum akhirnya berjalan keluar.
"Kenapa aku harus segugup ini?" gumamnya pelan saat membuka pintu keluar.
Di luar, Christopher masih duduk di kursi yang sama, Begitu melihat Everly, dia berdiri, menurunkan headphone-nya ke leher.
"Selesai?" tanyanya santai.
Everly mengangguk. "Iya. Terimakasih sudah mengantarku."
Chris tersenyum kecil. "Tidak masalah. Mau berkeliling?" tawarnya tanpa basa-basi.
Everly terdiam sejenak, matanya berkedip cepat. "Ah, ti-tidak perlu. Bukankah kau kesini untuk menghadiri kelas? Jangan sampai kau melewatkannya karena hal yang tidak penting."
Christopher terkekeh kecil, "Siapa bilang kau tidak penting?" Dia menatapnya dalam-dalam. "Jangan khawatir. Kelasku baru mulai tiga jam lagi. Aku datang lebih awal karena... yah, saudaraku membuatku pusing setengah mati. Dia bersikeras tidak mau pergi dari apartemenku."
Everly mengangguk pelan, tidak tahu harus berkata apa. Sama sekali tak siap ketika Christopher melangkah maju, jaraknya kini hanya beberapa inci dari Everly. Ia sedikit menunduk, menatap wajah wanita itu. "Lagipula," lanjutnya pelan, suaranya lebih rendah, "bukankah tadi kau bilang ada sesuatu yang ingin kau bahas... tentang malam itu?"
Everly menelan ludah. Detak jantungnya berderap, seolah semua suara di sekitarnya memudar. Ia mendongak perlahan, dan baru menyadari betapa tingginya pria itu. Tatapannya tajam namun hangat secara bersamaan.
"Aku..." Everly menggigit bibirnya, mencoba menata pikirannya yang kacau. Namun, keheningan yang terlalu lama malah membuat udara di antara mereka semakin pekat.