"Itu anak gue, mau ke mana lo sama anak gue hah?!"
"Aku nggak hamil, dasar gila!"
Tragedi yang tak terduga terjadi, begitu cepat sampai mereka berdua tak bisa mengelak. Menikah tanpa ketertarikan itu bukan hal wajar, tapi kenapa pria itu masih memaksanya untuk tetap bertahan dengan alasan tak masuk akal? Yang benar saja si ketua osis yang dulu sangat berandal dan dingin itu!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Skyeuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Sungguh tidak suka dia melihat tingkah Daniel yang benar-benar tidak sopan, apakah dia merasa diam itu berarti jawabannya "iya"? Konyol, dia bukan Jay! Lagi-lagi Ning teringat bagaimana Jay lebih tidak punya sopan santun daripada Daniel. Tapi, orang lain tak akan ada yang percaya kalau "tata krama" yang dia anut bukan kesopanan yang terlihat dengan jelas. Jay selalu melakukan hal sopan yang menurutnya perlu saja, meskipun tidak setiap waktu karena pria itu memiliki martabat yang tinggi. Jadi, wajar kalau Jay terlihat sombong, terkesan tak menghiraukan kondisi sekitarnya dia anak yang selalu menjadi baik di mata Ning. Tunggu sebentar, apa Ning punya perasaan spesial pada Jay sampai dia memikirkannya terus menerus?
"Gila..." tidak sadar kata yang ada di kepalanya dia ucapkan di dunia nyata.
"Apa Ning? Siapa yang gila??" tanya Kartika yang wajahnya sudah tegang sejak tadi, kebetulan sekali dia sedang memegang ponsel.
"Nggak kok, ini aku liat video cina yang nyeleneh."
Beruntung karena tanggapan dari teman-temannya positif, Daniel tersenyum manis saat Ning menatapnya dengan tatapan malas. Sementara itu mata Kartika mengisyaratkan agar Ning tetap menjaga image yang dia bangun, yaitu aura "gadis ramah penuh cinta" yang Ning pancarkan. Entah kenapa sekarang seperti menghilang, Kartika juga bingung.
"Aku mau pulang duluan ya," katanya sambil beranjak dari tempat duduk.
"Lah, terus ini makanan penutup lu gimana? Kan baru dateng," Kartika menunjuk hidangan yang baru saja sampai di meja. Omong-omong mereka nongkrong sampai matahari terbenam, Ning rencananya akan pulang besok pagi karena ikut ke rumah Kartika. Tapi, ternyata manusia yang tak dia harapkan malah ikutan nimbrung sejak tadi dan sepertinya tidak berniat pergi.
Ning menghela napas, "Makan aja buat kalian, kalau nggak abis ya bungkus aja. Aku ada keperluan mendadak, maaf ya." sebut saja Ning teman yang tidak setia dan pembohong hari ini.
Demi apapun dia tak kuasa melihat wajah tengil Daniel yang tertutup dengan aura soft boy yang dibuatnya. Ning muak, sangat muak dengan drama semacam itu. Dia tahu anak seperti Daniel bukanlah anak biasa yang tumbuh dengan otak cerdasnya, melainkan anak yang banyak masalah dengan segala trik serta pikiran buruknya. Silakan menyebut Ning sebagai perempuan yang punya prasangka jelek, atau silakan sebut dia sudah terlalu jauh bergaul dengan Jay yang katanya "sok tahu" itu.
"Ihh anjir, Ning lu tadi bohongin gue sekarang malah--!" baru saja akan bicara, Gisel menahannya untuk tetap diam dan mengikuti instruksi yang diberikan Ning.
"Nggak liat apa dia capek?" tanya Gisel dengan tatapan tanpa ekspresi.
Jangan salah, Kartika itu takut jika Gisel sudah mode serius. Auranya tidak bisa diragukan lagi, tegas dan berwibawa. Begitulah Gisel di mata Kartika, sementara itu Ning berterima kasih dari hati ke hati melalui sorot matanya pada Gisel. Dia segera meninggalkan kedua temannya itu, dan begitu keluar dari restoran Daniel mengikutinya. Pria itu tersenyum sambil berkata dengan santai.
"Aku mau anterin kamu sampai tujuan," katanya dengan nada yang penuh harap.
Ning mengernyit kesal, "Nggak perlu aku sama Jay," sahutnya berbohong.
Dia memang sempat menghubungi Jay, tapi pria itu bilang dia sibuk. Padahal Ning sudah bilang ia tak nyaman dengan keberadaan Daniel yang tiba-tiba ikut nimbrung, Ning sudah kesal saat mendengar jawaban Jay, jangan sampai dia memukul Daniel sebagai pelampiasan amarahnya hanya karena pria itu memancing emosi.
"Kamu bohong, kan? Jay sama kamu pacaran bohongan juga, aku tahu itu kalian berdua emang nggak cocok bareng."
Seketika jantung Ning terasa berhenti berdetak, ia seolah tersangka kasus mengerikan yang tak sengaja dilakukannya. Tapi, di sisi lain Ning percaya diri dengan jawaban yang dia berikan.
"Buktinya apa? Toh, aku putusin dia bukan karena kita nggak cocok," Ning bertingkah selayaknya cewek gatal yang ingin pamer tentang pacar tampan dan mapannya.
Daniel terdiam, "Ikut aku aja," katanya menarik tangan Ning. Lebih tepatnya menyeret perempuan itu menjauh dari restoran, Ning berusaha melepaskan sambil berteriak minta tolong. Namun, orang-orang di sekitar tidak peduli dengan urusan mereka yang terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar.
Di saat Ning sudah mulai pasrah, tiba-tiba saja lengannya ditarik paksa oleh seseorang sampai dia menabrak tubuhnya. Keras dan berotot. Ya Tuhan, Ning hampir saja mengumpati orang tersebut.
"Ada urusan apa sama calon istri gue?" suara itu Ning sangat mengenalnya.
Ia mendongak untuk memastikan bahwa orang yang dia tebak itu benar, kemudian senyumnya mengembang saat melihat mata Jay juga sedang menatapnya. Suara tawa Daniel terdengar, namun Jay tak membiarkan Ning berbalik barang sedetik.
"Jangan liat kalau takut.." katanya berbisik. Ning yang mendengar itu langsung memeluknya tanpa ragu, rasanya mau menangis.
"Lo berani sama cewek gue? Udah berapa kali gue bilang, kalau punya masalah sama gue ya selesain sama gue juga."
Entah kenapa, meskipun tidak melihat bagaimana ekspresi Jay. Ning dapat merasakan aura membunuh yang kuat dari udara di sekitarnya. Sungguh, siapapun itu yang menggantikan posisi Ning atau Daniel pasti akan ngompol di celana. Percayalah, Jay mode serius sangat mengintimidasi lawan mainnya.
"Cewek lo? Hahaha, ya bener aja kalian kan udah putus," sahut Daniel tanpa beban.
"Putus bukan berarti asing, dan lo harus tau gue nggak suka milik gue dipegang orang lain...asal lo tau dia..."
Entah apa yang dikatakan oleh Jay, tapi setelah itu hening tidak ada percakapan lagi. Jay mengangkat wajahnya, membuat Ning mendongak sambil gemetar tak keruan.
"Kalau mau pergi ajak gue," meskipun singkat tetapi tetap jelas maksudnya.
Ning menunduk, niat hati ingin menghindari Jay seharian karena mereka seharusnya mengukur sepatu. Hanya saja Ning terlalu malu untuk bertatapan dengan Jay, apalagi jika berjalan-jalan, Ning tidak sanggup. Namun, apalah daya ternyata Tuhan mempertemukan mereka lagi saat keadaannya terhimpit, dan itu lebih memalukan. Tangan Jay kemudian melepaskan rangkulannya dari pinggang Ning, tapi perempuan itu malah menariknya kembali.
"Aku takut, peluk aku sebentar aja..." Jay terdengar menghela napas.
Membiarkan Ning menenggelamkan wajahnya di dada Jay, sisi lain Jay berusaha menetralkan detak jantungnya yang luar biasa cepat. Anehnya, Ning seolah tak peduli atau mungkin tidak mendengar hal tersebut. Tak lama kemudian, Jay mengangkat tubuh perempuan itu tanpa membenarkan posisinya. Membuat Ning terkejut setengah mati, saat tubuhnya tiba-tiba melayang, cara Jay menggendong Ning persis seperti menggendong balita. Dalam posisi seperti itu, Ning lima kali lipat lebih malu.
"Mau ke rumah siapa?" tanyanya, ternyata Jay berkendara sendirian tanpa sopir.
"Ke ru-rumah kamu..." Jay mengangkat satu alis, "Yakin? Kita belum sah loh, mau ke rumah gue?" tanyanya seolah bermaksud "lain" dalam hal tersebut. Ning yang lupa bahwa Jay memiliki rumah pribadi, memalingkan wajah malu.
Sial, dia dosa apa, sih sampai buat malu berkali-kali?! Sembari menutup mata dengan kedua tangan, Ning menggelengkan kepala.
"Nggak–maksudnya, ke rumah Mama kamu aja, aku nggak mau pulang...!"
"Oh? Tapi, Mama jam segini udah tidur, dan gerbang dikunci."
Dan benar, Ning lupa kalau setelah lewat isya rumah calon mertuanya itu akan dikunci bahkan gerbangnya sudah digembok. Lalu jika dia pulang ke rumah sendiri, maka Mama tidak akan bertegur sapa dengannya sampai besok pagi. Mungkin Papa khawatir, tapi beliau sedang dinas ke luar Kota untuk menghentikan proyek sementara karena persiapan pernikahan anak perempuan semata wayangnya.