Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.
Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi yang Bukan Mimpi
Setelah makan malam yang penuh tawa dan kehangatan, Rafael dan Tristan naik ke kamar. Begitu pintu tertutup, Tristan langsung melompat ke atas kasur Rafael, merentangkan badannya dengan nyaman. “Ah, ini baru namanya nginep,” ucapnya dengan nada santai, sambil menatap langit-langit kamar.
Rafael ikut melompat ke kasur, menduduki sisi lainnya. “Yah, lo emang kelihatan betah banget,” jawabnya sambil tertawa kecil. Obrolan mereka pun berjalan santai, mulai dari guru killer sampai pertandingan bola minggu depan. Tapi, seperti biasa, obrolan mereka akhirnya berujung pada satu topik yang selalu bikin Tristan gemas—Nasya.
“Ngomong-ngomong, Raf,” Tristan mulai dengan senyum lebar. “Lo sadar gak sih kalau Nasya itu sebenernya suka sama lo?”
Rafael yang tadinya santai, tiba-tiba jadi kikuk. “Hah? Apaan sih lo?”
Tristan cengengesan, jelas menikmati momen ini. “Serius, bro. Gue kan sering liat cara dia liat lo. Jadian aja kenapa sih? Nasya cantik, pinter lagi. Masa lo sia-siain?”
Rafael menggaruk belakang lehernya, berusaha mengalihkan obrolan. “Ah, gue nggak mikirin cinta-cintaan dulu, Tris. Masih banyak hal lain yang harus dipikirin.”
Tristan ngakak, lalu menepuk bahu Rafael. “Alah, itu sih alasan doang. Jangan bohong, Raf. Gue tau lo juga naksir dia, kan?”
Rafael hanya tersenyum canggung, lalu menggeleng. “Nggak, serius. Gue nggak mikir ke arah sana. Fokus dulu deh sama hidup, gak usah yang kayak gitu-gituan.”
Tristan tertawa lagi, meski kali ini dia membiarkan Rafael mengalihkan topik.
Tawa mereka memudar seiring berjalannya waktu, dan suasana perlahan berubah jadi lebih serius. Setelah hening sejenak, Tristan menatap Rafael dengan tatapan penasaran. “Ngomong-ngomong, Raf... tadi siang di sekolah lo bilang hampir mati sendirian di kamar mandi. Maksud lo apa?”
Rafael yang tadinya santai, mendadak canggung. Dia menggeser posisi duduknya, mencoba menghindari tatapan Tristan. “Ah, itu... nggak apa-apa, Tris. Cuma lebay aja gue.”
Tristan mengerutkan dahi, tidak puas dengan jawaban itu. “Lebay? Gue kenal lo, Raf. Lo nggak akan ngomong kayak gitu kalo nggak ada apa-apa.”
Rafael berusaha mengubah topik. “Yah, gue cuma lagi nggak enak badan waktu itu. Udah, lupain aja.”
Tapi Tristan tidak menyerah. Dia tahu ada yang Rafael sembunyikan. “Raf, lo serius? Lo beneran nggak apa-apa?” desaknya lagi, kali ini lebih tegas.
Rafael masih berusaha untuk tidak mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak ingin Tristan semakin khawatir, apalagi jika mengetahui soal topeng itu. Tapi sebelum Rafael sempat menjawab, Tristan tiba-tiba bicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih rendah dan serius.
“Sebenarnya, Raf... gue juga ngerasain sesuatu yang aneh,” Tristan mulai. “Waktu pulang sekolah tadi, gue ketiduran bentar. Dan gue mimpi... mimpi yang kayak bukan mimpi.”
Rafael menoleh dengan penasaran, tapi tidak bicara.
“Gue mimpi kejadian waktu gue nyari charger di kamar lo. Gue buka laci... dan iseng gue nyobain topeng yang ada di situ,” lanjut Tristan. “Terus tiba-tiba gue merasa kayak... dikendaliin. Gue nggak bisa ngontrol tubuh gue sendiri.”
Rafael membeku, jantungnya mulai berdebar lebih kencang.
Tristan menatap Rafael dengan serius. “Gue kayak bener-bener jadi orang lain, Raf. Sampai gue... gue nyekik lo. Gue nggak tau kenapa, tapi tangan gue langsung ngeraih lo dan—”
“Lo mimpi...” potong Rafael dengan suara pelan, tapi penuh ketegangan.
Tapi Tristan tidak menyerah. “Raf, gue ngerasa itu bukan mimpi. Rasanya terlalu nyata. Terlalu jelas. Gue beneran ngerasain tangan gue di leher lo, Raf. Dan lo... lo kayak nggak bisa napas.”
Rafael menatap Tristan dengan wajah kaget, matanya melebar. Apa... mungkin Tristan ingat? pikir Rafael. Tapi bagaimana mungkin?
Melihat ekspresi kaget Rafael, Tristan langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres. “Raf... itu bukan cuma mimpi, kan?” tanyanya dengan suara pelan tapi penuh keyakinan. “Itu kejadian beneran, kan?”
Rafael masih diam, mulutnya terkunci. Tapi matanya tidak bisa menyembunyikan kebenaran yang coba dia tahan.
“Raf, ngomong dong!” desak Tristan lebih keras kali ini, wajahnya penuh dengan kebingungan dan kengerian. “Apa yang terjadi waktu itu?”
Rafael akhirnya menghela napas panjang, tahu dia tidak bisa lagi menghindar. Dengan suara rendah dan pelan, dia berkata, “Iya, Tris... itu beneran kejadian.”
Tristan menatap Rafael dengan wajah pucat, seluruh tubuhnya mendadak kaku. Tangannya perlahan terangkat, seolah ingin memastikan bahwa yang dia lakukan dalam mimpi itu benar-benar terjadi. Dia menatap kedua tangannya dengan tatapan kosong, lalu beralih menatap Rafael dengan sorot mata bingung dan takut.
“Jadi... beneran gue nyekik lo?” suaranya bergetar, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. “Kenapa bisa gitu? Topeng itu... bermasalah?”
Rafael mengangguk pelan, wajahnya serius. “Iya, Tris. Topeng itu... ada yang salah. Gue gak tahu apa, tapi sejak gue nemuin topeng itu, semua hal aneh mulai terjadi.”
Tristan masih shock, wajahnya semakin pucat. “Kenapa lo gak cerita ke gue dari awal?”
Rafael menghela napas panjang. “Gue takut dianggap halu, Tris. Lo tahu kan, siapa yang bakal percaya cerita kayak gini? Bahkan gue sendiri awalnya gak percaya... tapi sekarang lo ngalamin sendiri.”
Tristan diam, mencerna semua yang dikatakan Rafael. Wajahnya masih menunjukkan kebingungan, tapi sekarang dia tahu bahwa ini bukan sekadar mimpi buruk biasa. “Jadi, kita harus ngapain? Kita buang aja topeng sialan itu, Raf. Gue gak mau topeng itu ngikutin gue lagi.”
Rafael tersenyum pahit, menggeleng pelan. “Gak bisa, Tris. Gue udah coba buang topeng itu... tapi kadang dia muncul lagi, secara ajaib. Gue gak ngerti gimana caranya dia bisa balik, tapi... topeng itu kayak punya kehendak sendiri.”
Tristan mengerutkan dahi, semakin bingung. “Maksud lo... topengnya bisa muncul lagi gitu aja?”
“Iya,” jawab Rafael pelan. “Gue udah buang ke sungai, tapi entah kenapa bisa muncul di tas gue lagi. Gue juga gak tahu gimana cara ngilanginnya.”
Suasana kamar mendadak mencekam. Meski keduanya berusaha menenangkan diri, ketakutan masih menyelimuti pikiran mereka. Tristan menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan kepanikannya. “Oke... kita gak bisa buang, terus kita harus ngapain? Kita gak bisa terus kayak gini, Raf.”
Rafael memandang langit-langit kamar, berusaha mencari jawaban yang sampai sekarang belum dia temukan. “Gue juga gak tau, Tris... Tapi yang pasti, kita harus hati-hati.”
Malam semakin larut, suara angin di luar jendela menambah kesan sunyi di kamar itu. Tristan dan Rafael masih duduk di kasur, mencoba menenangkan diri dari perasaan takut yang semakin membebani mereka. Mereka tahu, malam ini mungkin tidak akan berjalan tenang. Pikiran tentang topeng itu terus mengganggu, tapi tubuh mereka sudah terlalu lelah untuk terus berpikir.
“Kita mending tidur sekarang, Tris. Besok sekolah,” ucap Rafael sambil berusaha meredam kecemasannya.
Tristan mengangguk setuju, meskipun dia tahu tidur malam ini akan terasa berat. “Iya, kalau gak, besok kita bisa kesiangan.”
Keduanya berusaha berbaring dengan nyaman di kasur Rafael. Meski suasana canggung dan menegangkan masih terasa, mereka berusaha memejamkan mata, berharap istirahat malam ini bisa mengusir sejenak ketakutan yang mereka rasakan.