Yao Chen bukanlah siapa-siapa. Bukan seorang kultivator, bukan pula seorang ahli pedang. Pangeran hanya memiliki dua persoalan : bela diri dan istrinya.
Like dan komen agar Liu Xiaotian/Yao Chen dapat mencapai tujuan akhir dalam hidupnya. Terimakasih.
Peringatan! Novel berisi beberapa adegan yang diperuntukkan bagi orang dewasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WinterBearr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 - Tetaplah Disini, Bersamaku Selamanya
"Ini adalah yang keseribu," gumamnya, suara hatinya penuh dengan harapan. Di kepalanya terngiang-ngiang nasihat gurunya, "Api bukan hanya panas, ia adalah sumber keinginan. Jangan memerintahkan api, tapi ajak ia bekerja sama. Ingat, Zhang Yi, api yang tenang adalah sekutu, dan api yang tak terkendali adalah musuh. Jadi jangan biarkan api mengendalikan dirimu."
Remaja itu bernama Zhang Yi, putra seorang penjual roti di Tianlan. Wajahnya penuh keringat, fokusnya tertuju pada telapak tangannya yang terbuka. Sedangkan nafasnya teratur walau masih terasa berat, nafas seorang pemuda yang telah berulang kali mencoba menyatukan energi alam dengan dirinya, menaklukkan api yang sudah lama menjadi warisan keluarga.
Di halaman belakang rumah yang dikelilingi pagar bambu, remaja itu berdiri dengan kedua kaki tegap di atas tanah yang dipenuhi dedaunan gugur. Daun-daun kering melingkari tubuhnya, membawa angin sejuk yang berhembus membelai setiap bagian tubuhnya yang bertelanjang dada.
Telapak tangannya terbuka lebar, menunggu. Zhang Yi memusatkan semua energi, menarik kekuatan qi dari dalam dirinya, seperti sungai yang mengalir tanpa henti dari jantung ke telapak tangannya. Secara ajaib, sebuah percikan kecil akhirnya muncul—sebuah nyala api mungil tercipta, tidak lebih besar dari kilatan obor saat pertama kali dibakar.
Mata Zhang Yi melebar, hatinya meluap kegirangan. "Ayah! Ayah, lihat ini!" teriaknya. "Aku berhasil!"
Dari dalam rumah, seorang pria paruh baya keluar tergopoh-gopoh. Ia mengenakan baju cokelat lusuh, bercampur tepung, hasil dari seharian memanggang roti. Melihat putranya memanggilnya dengan penuh antusias, wajah Zhang Fei seketika berubah; dari letih menjadi haru.
"Kau berhasil, Yi'er!" suaranya parau, tangisnya hampir pecah. "Kau berhasil menguasai api itu! Guru Wei Lang pasti akan bangga."
Zhang Yi tersenyum lebar, kebanggaan terpancar dari setiap guratan di wajahnya. "Guru Wei Lang selalu bilang padaku jika ilmu ini adalah ujian yang paling sulit. Guru akan menulis namaku di batu giok perguruan jika aku berhasil."
"Dan kau telah berhasil, anakku." Zhang Fei menepuk pundak putranya, matanya berkaca-kaca. "Bukan hanya gurumu. Ibumu di surga pasti juga sangat bangga melihatmu seperti ini."
Tersentak oleh perkataan ayahnya, Zhang Yi terdiam sejenak. Senyum di wajahnya memudar, digantikan oleh perasaan haru walaupun kebahagiaannya tidak luntur. Ia menunduk, air mata menggenang di sudut matanya. Ingatan akan ibunya yang selalu mendukungnya dalam setiap langkah hidupnya kini kembali membanjiri pikirannya. Ia mengangguk pelan, bibirnya bergetar. "Ibu... Ini untukmu... aku berjanji akan menjadi kultivator yang kuat."
Namun, euforia itu sayangnya tidak berlangsung lama. Api kecil di telapak tangannya masih menyala, namun remaja itu mulai merasa ada yang aneh. Ia mencoba menjentikkan jarinya, memerintahkan api untuk padam seperti yang diajarkan oleh gurunya. Tapi api itu tetap menyala, menolak untuk tunduk.
"Kenapa apinya tidak kunjung padam?" tanya Zhang Yi, kebingungan. Ia mengibaskan telapak tangannya berulang kali, berharap api itu untuk padam dengan sendirinya, namun kobarannya justru membesar. "Ayah... bagaimana cara memadamkannya?!"
Zhang Fei mengerutkan kening. Ia bukan seorang kultivator, dan meskipun ia bangga dengan warisan magis keluarganya, ia sama sekali tidak mengerti bagaimana ilmu itu bekerja. "Yi'er... tarik nafasmu dalam-dalam... coba kau tenangkan pikiranmu?"
Zhang Yi mencoba, memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam seperti yang sering dia lakukan saat meditasi. Tapi api itu justru semakin membesar, perlahan menjalar dari telapak tangan merembet ke lengannya. Rasa panas belum terasa, namun kepanikan mulai muncul di wajahnya. "Ayah! Aku... aku tidak bisa menghentikannya!"
Ayahnya yang mulai panik, segera berlari ke sumur di halaman samping rumah. "Tunggu, Yi'er! Jangan bergerak, aku akan memadamkannya!" Dengan tergesa-gesa ia mengambil seember air.
Namun sebelum ia sempat membawa air itu kembali ke anaknya, api di tangan Zhang Yi seketika berubah. Dari nyala kecil, kini kobarannya membesar begitu cepat, menyelimuti lengannya. Api itu sungguh liar dan ganas, seperti semburan naga api. Zhang Yi menjerit ketakutan, mencoba mengibaskan tangannya lagi, namun kobaran itu justru menjalar ke tubuh dan mulai membakar kulitnya.
"Ayah! Tolong!" jerit Zhang Yi tanpa ampun. Setiap kulit yang terpapar melebur, hangus akibat keganasan si jago merah. Tak kuasa remaja itu menahan rasa sakit, kakinya mulai melangkah tanpa arah.
Zhang Fei, yang berlari kembali dengan seember air, melihat putranya dalam kobaran api, langsung berteriak. "Yi'er!" Dengan tangan bergetar hebat, ia mengguyurkan air dari ember itu ke tubuh putranya. Semburan air meredam api, namun tubuh Zhang Yi sudah terluka parah. Sebagian tubuhnya menghitam, beserta pakaiannya yang terbakar hangus.
Zhang Fei berlutut di samping putranya, memeluk tubuh yang sudah tak sadarkan diri itu dengan berlinang air mata. "Yi'er-ku... bangun, Nak! Bangun!" Ia mengguncang tubuh Zhang Yi dengan putus asa, namun tak ada tanggapan. Kala itu, Zhang Fei merasa dunianya telah hancur. Air matanya jatuh tak terbendung, mengalir deras menuruni pipi. "Tolong, jangan ambil dia dariku... tolong..."
...[Yao Chen : Bayangan Iblis di Istana Lianyun]...
Di bawah pohon dedalu, Yao Chen terdiam sejenak, tertegun oleh kedatangan pria tua yang dengan napas terengah-engah berlutut di hadapannya. Kedua tangan kurusnya menggenggam tangan Yao Chen, menggenggam harapan terakhir dalam hidupnya.
Yao Chen melihat sekilas ke arah Huifang, berharap istrinya akan memberikan dukungan atau setidaknya bersedia ikut. Namun, wanita itu tetap diam, berdiri dengan angkuh, menatap jauh tanpa minat sedikitpun. Yao Chen tahu dia tidak mungkin menolak permohonan pria di sebelahnya. Perjalanan baru dalam hidupnya baru saja dimulai. Di sisi lain... dirinya tidak akan pernah melepaskan istrinya sedetik pun.
“Istriku...” bujuk Yao Chen. "Kita lanjutkan masalah kita nanti. Sekarang... ikutlah denganku."
Hua Huifang tidak menoleh, hanya mendesah pelan. "Pergilah sendiri." Wanita itu masih terlalu sibuk menatap aliran sungai. Membeku seperti seperti es. Keras seperti batu.
Yao Chen menghela napas, pandangannya beralih kembali ke pria tua itu yang masih menggenggam tangannya dengan kuat. Di satu sisi, Yao Chen tidak bisa meninggalkan orang tua ini dalam ketidakberdayaannya, namun di sisi lain, ia juga tidak bisa membiarkan istrinya tenggelam dalam dunia kepahitannya sendiri. Dia tahu rasa sakit Huifang, itulah kenapa dia tidak ingin membiarkan istrinya tenggelam dalam amarahnya dan terjatuh seperti yang telah ditakdirkan di dalam cerita.
Tanpa berkata, Yao Chen melangkah mendekati istrinya dan dengan cepat, ia meraih tangan Huifang dengan genggaman kasar. Sang Ratu Iblis lantas terkejut, matanya melebar ketika mencoba menarik tangannya kembali, namun Yao Chen tidak melepaskannya begitu saja. "Ayo," ucapnya singkat, suaranya berubah tegas.
"A-apa yang kau lakukan?" Huifang menatap suaminya dengan tatapan tajam, karena bingung.
Yao Chen tidak menjawab istrinya.
"Tunjukkan jalannya, Pak! Biar aku coba semampuku." Dengan satu tarikan, ia mulai berlari, menggandeng Huifang di belakangnya. Langkah mereka terburu-buru, dan pria tua itu mendahului mereka untuk memberi jalan.
Saat mereka berlari melewati jalanan berbatu Tianlan yang sepi, Yao Chen akhirnya membuka suara, meskipun masih terengah-engah.
"Aku tahu kau telah kehilangan banyak hal," ujarnya, ada ketegasan di dalam setiap ucapannya, "tapi aku juga telah kehilangan banyak hal. Aku tahu rasa sakit itu. Namun ada satu hal yang tidak pernah aku biarkan pergi..."
"Kau harus selalu bersamaku, berada dekat di sisiku, sampai kapan pun."