Azzam tidak menyadari bahwa wanita yang ia nikahi bukanlah kekasihnya, melainkan saudara kembarnya.
Sejak kepulangannya dari Kanada, sebenarnya Azzam merasa ada yang aneh dengan kekasihnya, ia merasa kekasihnya sedikit berubah, namun karena rasa cintanya pada sang kekasih, ia tetap menerima perubahan itu.
Bagaimana jika suatu saat Azzam mengetahui yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon shangrilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali pulang
Happy reading..
Azzam dan Zura tampak lelah namun bahagia setelah perjalanan panjang dari Karimunjawa. Mereka duduk berdampingan di dalam pesawat yang mulai menurunkan ketinggiannya menuju bandara terdekat. Zura menatap jendela dengan senyum mengambang di bibirnya, sedangkan Azzam menggenggam tangan Zura erat, sebuah tanda bahwa ia tak akan melepaskan gadis itu lagi.
Setibanya di bandara, mereka segera mengambil bagasi dan langsung menuju taksi yang akan mengantar mereka ke rumah Haniyah Mama Azzam. Sepanjang perjalanan, Zura tampak gelisah, menatap bangunan-bangunan yang mereka lalui dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Di satu sisi, dia bersemangat untuk memulai kehidupan baru sebagai istri Azzam.
Sesampainya di rumah, Azzam menggandeng tangan Zura dan menuntunnya masuk ke dalam rumah. "Assalamualaikum.."
"Wa'alaikumsalam.. Alhamdulillah anak-anak Mama sudah sampai rumah," jawab Haniyah.
Mereka disambut hangat. Mama Azzam, seorang wanita paruh baya dengan senyum lebar di wajahnya, membuka pintu dan memeluk keduanya. "Syukurlah kalian pulang dalam keadaan sehat dan tidak kurang suatu apapun," ucapnya kemudian mencium pipi Azzam dan Zura bergantian.
"Ayo masuk, kalian pasti capek." ajak Haniyah. Mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah.
"Om ganteng!" seru Fawwaz sambil berlari ke arah Azzam.
Azzam merentangkan kedua tangannya untuk menangkap sang keponakan lalu menggendongnya berjalan mengikuti langkah Mama dan istrinya.
Selama Azzam tinggal bulan madu, Ziza dan Fawwaz menginap di rumah ini untuk menemani Mamanya, walaupun ada pembantu dan security, tapi tetap di temani oleh Ziza.
Mereka kini tengah berkumpul di ruang keluarga. Dan langsung membuka koper oleh-oleh. Koper itu terbuka lebar di tengah ruang keluarga. Azzam dan Zura saling berbagi tugas, Azzam mengeluarkan dan Zura mendistribusikan. Suasana penuh kegembiraan dan canda tawa.
Azzam meraih sebuah kotak berwarna cerah dan memberikannya pada Zura. Zura pun sudah tahu kotak itu untuk siapa, yaitu untuk Ibu mertuanya. "Ini khusus untuk Mama, semoga Mama suka," ucapnya sambil menyerahkan kotak tersebut.
Ibu mertuanya, dengan mata berbinar, membuka kotak itu dan menemukan sebuah kalung cantik. "Ini sangat indah, terima kasih, Nak," balasnya, tak lupa memberikan pelukan hangat kepada Zura.
Selanjutnya, Azzam mengambil Robot dari koper dan menyodorkannya pada Zura. "Ini buat Fawwaz," ujarnya.
Zura pun memberikan mainan tersebut pada keponakan Azzam yang baru berusia lima tahun. "Untuk Fawwaz, mainan dari Karimunjawa!" katanya dengan suara yang dipenuhi antusiasme.
Fawwaz menerima dengan riang, matanya berkilau penuh kebahagiaan, "Wah, keren! Makasih Tante cantik!"
Zura tersenyum lalu mengusap rambut Fawwaz.
Kemudian, Azzam mengambil kotak lagi berisi sebuah kalung mutiara putih yang elegan. "Ini buat kak Ziza," ujarnya sembari menyerahkan kotak tersebut pada Zura.
"Kak Ziza, ini pasti cocok dengan kamu," Zura berkata sambil menyerahkan kalung itu kepada kakak perempuannya Azzam.
Ziza tersenyum dan matanya berbinar kala melihat kalung cantik tersebut, "Ini sangat cantik. Terima kasih banyak Azzam, Zahwa."
Deg! Setiap kali ada yang memanggil Zura dengan nama Zahwa, jantung Zura seakan berhenti berdetak beberapa saat. "Andai kalian tahu aku bukan Zahwa. Apakah kalian akan tetap bersikap hangat seperti ini?" batin Zura.
Terakhir, Azzam memberikan sebuah kemeja dan kemasan yang berisi kopi khas Karimunjawa kepada Abiyan, kakak iparnya. "Semoga pas, dan kak Abiyan suka dengan kopi ini, aromanya sangat khas lho," kata Azzam. Khusus Abiyan, Azzam sendiri yang memberikannya.
Abiyan mengambilnya dengan tangan yang bersahabat, "Ini akan sempurna untuk menemani pagi-pagi dingin, dan baju ini pasti cocok. Terima kasih Azzam, Zahwa."
Deg! nama Zahwa lagi yang mereka sebut.
Di tengah kebahagiaan keluarga ini, tetap saja hati Zura merasa teriris, pasalnya mereka semua menganggap bahwa dirinya adalah Zahwa, terlebih saat ada yang memanggil dirinya dengan sebutan Zahwa membuat hati Zura terasa di pukul dengan benda berat.
"Kok, bengong?" tanya Azzam sembari mengusap punggung Zura.
Zura menggeleng pelan. "Mungkin karena aku capek, Mas." jawab Zura.
"Kalian istirahat dulu, Azzam ajak istrimu ke kamar, pasti Zahwa capek setelah perjalan jauh." perintah Haniyah.
"Ayo kita istirahat dulu, sayang." ajak Azzam.
"Kami pamit istirahat dulu," ucap Zura sopan pada semua anggota keluarga.
Azzam berjalan menuju kamar mereka.
Azzam membuka pintu kamar, membiarkan Zura masuk terlebih dahulu. Keduanya tampak lesu, mata mereka sembab menahan kantuEk, tubuh mereka terasa begitu berat seolah-olah menyeret batu-batu besar. Zura melempar tasnya ke sudut ruangan dan langsung merosot ke ranjang, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam lembutnya kasur.
Azzam mengikuti, melepas sepatunya dengan gerakan lambat dan duduk di tepi ranjang, menopang kepala dengan kedua tangan. "Perjalanan kali ini benar-benar menguras tenaga, ya?" gumamnya sambil menatap langit-langit kamar.
Zura mengangguk, suaranya lelah, "Sungguh, Karimunjawa indah, tapi perjalanan pulangnya itu luar biasa melelahkan."
Mereka terdiam sejenak, menikmati keheningan yang menawarkan sedikit kesembuhan dari lelah yang tak terucapkan. Azzam kemudian mengulurkan tangannya, menemukan tangan Zura dan meremasnya lembut, sebuah isyarat sederhana bahwa mereka telah melalui perjalanan panjang ini bersama.
Zura membalas genggaman tangan Azzam, sebuah senyum lelah terukir di wajahnya. "Setidaknya kita pulang," ucapnya, menemukan sedikit kenyamanan di tengah kelelahan yang menyergap.
Dalam kesunyian kamar yang hanya ditemani oleh suara nafas mereka, Azzam dan Zura akhirnya membiarkan diri mereka terlelap, menghirup dalam-dalam aroma rumah yang telah lama mereka tinggalkan, sebuah pengingat bahwa tidak ada tempat lain di dunia ini yang bisa sehangat pelukan rumah.
To be continued.