NovelToon NovelToon
Istri Yang Tak Di Anggap

Istri Yang Tak Di Anggap

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:7.3k
Nilai: 5
Nama Author: laras noviyanti

Candra seorang istri yang penurunan tapi selama menjalani pernikahannya dengan Arman.

Tak sekali pun Arman menganggap nya ada, Bahkan Candra mengetahui jika Arman tak pernah mencintainya.

Lalu untuk apa Arman menikahinya ..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon laras noviyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 15

Candra berdiri di tepian pantai, ombak menghempas lembut di kakinya. Angin laut membelai rambutnya, tetapi hatinya tenggelam dalam kekacauan. Dia mengamati kerumunan di depannya, namun pandangannya tertuju pada sosok yang membuat jantungnya bergetar—Arman.

"Dia di sini," bisiknya pada Dira, yang berdiri di sampingnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

Dira mengikuti arah pandang Candra dan terdiam. "Apa yang akan kau lakukan?"

Candra menekan bibirnya, mencoba menahan emosi. "Dia bersama wanita"

Dira mengerutkan kening. "Siapa wanita itu"

Pandangan Candra melekat pada Arman yang sedang tertawa "Dia tidak peduli sama sekali."

"Memang bukan urusan kita," Dira menepuk pundaknya. "Kau sudah membuat keputusan untuk pergi darinya."

"Tapi melihatnya begitu bahagia..." Candra menggigit bibir. "Apakah aku tidak pernah berarti baginya?"

Dira meraih tangan Candra. "Kau harus melihat ini sebagai kesempatan. Kesempatan untuk melangkah maju."

Candra berusaha mengalihkan pandangannya, tetapi hati ini tak bisa berbohong. Arman melontarkan tawa keras, mengisyaratkan sebuah kebahagiaan yang selama ini dirindukan Candra. Lia memegang tangan Arman, tidak ada ragu atau rasa bersalah dalam ekspresi wajahnya.

"Kau akan menghadapi mereka?" tanya Dira.

Rasa pedih menyusup dalam dada Candra. "Kau tahu aku tidak bisa."

Dengan langkah ragu, Candra tak bisa berpaling, seolah dipaksa oleh magnet yang tidak bisa dijelaskan. Wajah Lia yang ceria, senyumnya yang merekah, mengobrak-abrik rasa percaya dirinya.

"Mereka tidak bisa melihat kita seperti itu," kata Dira, matanya berkilau. "Mari kita lakukan sesuatu. Hidupkan kembali semangatmu."

Candra menggelengkan kepala, suara hatinya protes. "Hanya melihat mereka seperti ini sudah cukup untuk mengingatkan betapa aku ditinggalkan."

Dira mengangkat bahu, bersandar pada papan kayu yang menjadi pembatas antara pasir dan keramaian. "Candra, jika mereka senang seperti ini, biarkan. Kau tidak perlu terjebak dalam dengki."

"Berbicara memang mudah," jawab Candra, menatap pantai tanpa ketegasan.

Lalu dia meraih segenggam pasir dan menyebarkannya. "Tetapi perasaanku begitu dalam."

Dira menarik napas dalam-dalam, lalu mencengkeram tangan Candra dengan erat. "Ketika ada yang baru, ada yang akan hilang. Kau harus ikhlas."

"Apa kau yakin mereka akan bahagia selamanya?" tanya Candra, nada suaranya merendah.

Dira tersenyum. "Siapa yang tahu? Yang penting, kita melanjutkan hidup dan mencari kebahagiaan kita sendiri."

Candra menyarangkan pandangannya ke laut, berusaha menenangkan dirinya. Itu adalah lautan yang tidak pernah tahu rasa sakit hatinya. "Dan bagaimana jika aku tiba-tiba merasa kehilangan? Kehilangan cinta yang seharusnya ada di sini?"

"Ketika perahu berlayar, tidak ada yang bisa mencegah ombak menyeretnya jauh. Kau harus bersandar pada teman-temanmu," Dira menjawab mulai bersemangat.

Mereka fokus pada mereka, tapi mata Candra tak bisa alih perhatian. Lia mendekat, menggenggam pergelangan tangan Arman, seakan memberi kejelasan akan hubungan mereka. Senyum itu, senyum yang selama ini hanya ditujukan untuknya, kini dilimpahkan untuk orang lain.

"Tapi berlayar ke mana? Jika cintaku hanyalah sekadar kenangan?" bisik Candra.

Dira menghubungkan tatapan mereka. "Jika terus menatap masa lalu, kita akan terjebak. Cobalah ingat kenangan baik dan lupakan yang menyakitkan.

Candra menghela napas, merasakan gejolak dalam dadanya. "Tapi setiap kali aku mengingat bagaimana aku di abaikan rasanya sakit."

Dira mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Rasa sakit itu bagian dari proses, Candra. Kau tumbuh dari situ."

Lain halnya di ujung pandangan mereka. Arman tampak cerah, tertawa lepas dengan Lia di sampingnya.

"Apa dia benar-benar tak pernah sedetik pun mencintaiku?" ungkapnya dengan suara bergetar.

"Dia tidak mencintaimu jika ia bisa dengan mudah melupakanmu," Dira menegaskan. "Kau lebih berharga daripada itu. Fokus ke dirimu sendiri."

"Tapi kenapa aku merasa seperti seorang pecundang?" Candra menatap liar, emosi menyayat kalbunya.

Kedua temannya, Dira dan Nia, ikut serta dalam perbincangan ini. Nia kini bergabung, wajahnya serius. "Candra, perceraian bukan akhir dunia. Itu awal dari perjalanan baru."

Candra menggeleng, air matanya hampir tumpah. "Tapi aku tidak memilih perpisahan ini dengan ringan."

Lia tiba-tiba memanggil Arman, suara cerianya melintas di telinga Candra. "Arman! Ayo kita berenang!"

Kendati ombak berdebur menggoda, pandangan Candra terhalangantara rasa sakit dan kekalahan. Dia berjuang menahan agar tidak berlari menghampiri, menuntut jawaban.

“Dia sangat bahagia,” Dira menambahkan perlahan. “Lihat ekspresinya. Apa itu yang kau inginkan?”

Candra menatap ombak. "Tidak. Aku ingin bahagia, tapi kenangan pahit bersamanya menghantuiku."

Nia berbicara, memasukkan logika. “Mungkin ini saatnya untuk melangkah maju. Berhenti menilai kebahagiaan dia.”

Candra meresapi kata-kata sahabatnya. Dia menunduk dan melihat pasir halus di bawah kakinya. "Dan bagaimana jika aku pergi ke cafe kita?"

"Ya, tepat sekali," Dira menjawab penuh semangat. "Ayo kita kembali bekerja dan buat tempat itu menjadi lebih cerah dari sebelumnya."

Candra menggigit bibir, mencoba mengalihkan perasaannya. "Ada informasi tentang mereka yang bisa mengumpulkan rasa sakit ini, ya?"

“Tapi untuk sekarang, mari kita nikmati hari ini. Lupakan sejenak." Nia menambahkan dengan gigih.

Candra menelan ludah, semangat baru mulai tumbuh. "Baiklah. Mari kita habiskan waktu di cafe setelah ini."

"Memangnya buat apa? Jika hubungan itu tak membuatmu bahagia, jauhkan itu dari pikiranmu. Fokus ke hal-hal baru," Dira memberi semangat.

Kedua sahabatnya bergandeng tangan, menghibur Candra. Di tengah keramaian, pandangannya kembali pada Arman dan Lia yang asyik berlarian di dekat air, tanpa sedikit pun memperhatikan kehadiran Candra.

"Aku benar-benar perlu menemukan cara untuk move on," katanya dengan suara pelan.

“Lakukan untuk dirimu sendiri, bukan untuk mereka,” Nia menegaskan.

Saat langkahnya pelan meninggalkan tempat itu, wajah Arman tidak lagi menyala seperti dulu. Dia merasakan pergerakan arah baru, meski tak pasti tapi cukup untuk membangkitkan semangat.

Candra mengisyaratkan kepada sahabat-sahabatnya. "Ayo kita pergi ke cafe, kita harus bersenang-senang."

Mendengar ajakannya, wajah Dira dan Nia menunjukkan senyuman lebar.

Candra merasakan semangat baru menjalar dalam dirinya. Tiga wanita itu melangkah menjauh dari keramaian, tertawa dan mengobrol ringan, menciptakan dunia kecil mereka di antara hiruk-pikuk pantai. Candra merasakan angin laut membawa aroma segar, mengusir mendung di hatinya. Dia melirik kembali ke arah Arman.

Namun, Arman dan Lia telah jauh terbenam dalam kebahagiaan mereka, tidak menyadari kehadiran Candra yang perlahan menjauh. Candra menarik napas, seolah mengumpulkan semua keberanian yang tersisa. "Dira, Nia, terima kasih sudah ada di sini."

Dira melirik dengan senyum lebar. "Selalu. Kami di sini untuk mendukungmu. Setiap langkah."

"Kau tahu, mungkin aku belum sepenuhnya siap," Candra mengakui, suara sedikit bergetar.

Nia menjawab, "Tidak ada yang perlu terburu-buru. Temukan ritme baru dalam hidupmu. Mari kita mulai dari cafe itu."

Candra mengangguk. Mungkin saatnya memperbaiki jati dirinya. Menghidupkan kembali semangat yang nyaris padam di dalam dirinya.

Ketika mereka tiba di cafe, aroma kopi baru yang menyengat langsung menghangatkan suasana hati Candra. Dia menghirup dalam-dalam, merasakan kenyamanan yang diciptakan tempat ini.

"Kau ingat saat pertama kali membuka cafe ini?" Dira berkomentar, senyumnya mengingatkan Candra pada momen-momen berharga.

Candra mengangguk, kemudian melontarkan tawa kecil. "Kau melawan setiap ide anehku, ingat? 'Tidak mungkin, Candra! Gelato di tengah musim hujan?!'"

Nia tertawa. "Tapi siapa sangka? Justru itu yang membuat cafe kita unik."

"Ya," Candra mengingatnya dengan hangat. "Kita merangkai banyak kenangan bersama."

Dira mengangkat gelas kopi. "Mari kita buat lebih banyak kenangan. Hari ini, kita mulai dengan menu baru."

Candra tersenyum lebar. "Kita harus merancang sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang bisa menarik pelanggan baru."

Bersama, mereka berkerjasama menyiapkan semua bahan, menciptakan suasana ceria di cafe. Namun, di sudut pikirannya, bayangan Arman dan Lia tak kunjung luntur. Dia berusaha mengusir pikiran itu, tetapi tak bergeming.

"Bagaimana jika kita menambahkan sesuatu yang segar di menu minuman?" Candra mengusulkan, sambil mengaduk cappuccino yang sedang disiapkannya.

"Seperti? Apa kau memikirkan sesuatu?" Dira membalas, penasaran.

"Bagaimana jika kita membuat jus buah tropis? Menurutku itu akan sangat menyegarkan," Candra menjelaskan, matanya bersinar.

Nia mengangguk setuju. "Itu ide bagus! Kita bisa menggunakan jeruk, mangga, dan nanas—segar dan ceria seperti kita!"

Candra tersenyum gembira, semangatnya perlahan kembali. Dia merasakan kehangatan di dalam dirinya yang mulai mengalahkan rasa sakit.

"Saatnya kita beraksi," Dira berteriak, memicu semangat di antara mereka.

Mereka bekerja dengan cepat, mencampurkan bahan-bahan, meracik minuman dengan penuh kesenangan. Gelak tawa menggema di seluruh cafe, menghalau sekilas kesedihan.

Namun hatinya masih terombang-ambing, tak mampu sepenuhnya bebas dari bayangan Arman.

Saat langit mulai gelap, mereka selesai dengan pekerjaan mereka. Candra menata meja, menambahkan hiasan bunga segar di masing-masing sudut.

"Menjelang malam, mari kita ray

"Kau tahu, mungkin aku belum sepenuhnya siap," Candra mengakui, suara sedikit bergetar.

Nia menjawab, "Tidak ada yang perlu terburu-buru. Temukan ritme baru dalam hidupmu. Mari kita mulai dari cafe itu."

Candra mengangguk. Mungkin saatnya memperbaiki jati dirinya. Menghidupkan kembali semangat yang nyaris padam di dalam dirinya.

Ketika mereka tiba di cafe, aroma kopi baru yang menyengat langsung menghangatkan suasana hati Candra. Dia menghirup dalam-dalam, merasakan kenyamanan yang diciptakan tempat ini.

"Kau ingat saat pertama kali membuka cafe ini?" Dira berkomentar, senyumnya mengingatkan Candra pada momen-momen berharga.

Candra mengangguk, kemudian melontarkan tawa kecil. "Kau melawan setiap ide anehku, ingat? 'Tidak mungkin, Candra! Gelato di tengah musim hujan?!'"

Nia tertawa. "Tapi siapa sangka? Justru itu yang membuat cafe kita unik."

"Ya," Candra mengingatnya dengan hangat. "Kita merangkai banyak kenangan bersama."

Dira mengangkat gelas kopi. "Mari kita buat lebih banyak kenangan. Hari ini, kita mulai dengan menu baru."

Candra tersenyum lebar. "Kita harus merancang sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang bisa menarik pelanggan baru."

Bersama, mereka berkerjasama menyiapkan semua bahan, menciptakan suasana ceria di cafe. Namun, di sudut pikirannya, bayangan Arman dan Lia tak kunjung luntur. Dia berusaha mengusir pikiran itu, tetapi tak bergeming.

"Bagaimana jika kita menambahkan sesuatu yang segar di menu minuman?" Candra mengusulkan, sambil mengaduk cappuccino yang sedang disiapkannya.

"Seperti? Apa kau memikirkan sesuatu?" Dira membalas, penasaran.

"Bagaimana jika kita membuat jus buah tropis? Menurutku itu akan sangat menyegarkan," Candra menjelaskan, matanya bersinar.

Nia mengangguk setuju. "Itu ide bagus! Kita bisa menggunakan jeruk, mangga, dan nanas—segar dan ceria seperti kita!"

Candra tersenyum gembira, semangatnya perlahan kembali. Dia merasakan kehangatan di dalam dirinya yang mulai mengalahkan rasa sakit.

"Saatnya kita beraksi," Dira berteriak, memicu semangat di antara mereka.

Mereka bekerja dengan cepat, mencampurkan bahan-bahan, meracik minuman dengan penuh kesenangan. Gelak tawa menggema di seluruh cafe, menghalau sekilas kesedihan.

Namun hatinya masih terombang-ambing, tak mampu sepenuhnya bebas dari bayangan Arman.

1
murni l.toruan
Rumah tangga itu saling komunikasi dua arah, agar tidak ada kesalah pahaman. Kalau hanya nyaman berdiam diri, itu mah patung bergerak alias robot
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!