Dijodohkan sejak bayi, Zean Andreatama terpaksa menjalani pernikahan bersama aktris seni peran yang kini masih di puncak karirnya, Nathalia Velova. Memiliki istri yang terlalu sibuk dengan dunianya, Zean lama-lama merasa jengah.
Hingga, semua berubah usai pertemuan Zean bersama sekretaris pribadinya di sebuah club malam yang kala itu terjebak keadaan, Ayyana Nasyila. Dia yang biasanya tidak suka ikut campur urusan orang lain, mendadak murka kala wanita itu hendak menjadi pelampiasan hasrat teman dekatnya
--------- ** ---------
"Gajimu kurang sampai harus jual diri?"
"Di luar jam kerja, Bapak tidak punya hak atas diri saya!!"
"Kalau begitu saya akan membuat kamu jadi hak saya seutuhnya."
-------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 - Terlambat
Tidak ada kalimat yang mampu Syila utarakan sebagai penenang. Karena pada dasarnya, seseorang yang kehilangan tidak akan bisa dipaksa menerima, apalagi jika keadaannya sesulit ini. Zean masih membeku, menatap nisan berukirkan nama yang luar biasa gagahnya, Ibrahim Megantara.
Sulit sekali dia terima, beberapa saat lalu, dia bahkan berkeinginan untuk dikubur jika bisa. Tidak ada yang lebih sakit, dibandingkan kehilangan yang akan berakhir pada rindu tak berpenghujung.
Brugh
Syila hampir terhuyung kala seseorang menerobos dari sisi kirinya. Berlari dan muncul entah dari mana kemudian berlutut dan memeluk nisan Ibra. Jerit dan tangis yang luar biasa histeris kembali Syila saksikan tepat di depan matanya.
Dia seperti de javu, rasanya baru beberapa saat lalu dia melihat suaminya seakan hilang separuh jiwa. Kini, dia kembali menyaksikan sesuatu yang sama persis. Syila mendongak, dia menatap Zean yang susah payah menahan air mata, tepatnya sudah habis mungkin untuk saat ini.
"Aaaaaaaarrrrrggghhhh!!"
Raungannya kian menjadi, hujan sederas itu tapi jeritannya sama sekali tidak tersamarkan. Zean mengepalkan tangannya, menatap penuh kemarahan pria yang kini mungkin tengah meratapi kepergian Ibra sekaligus penyesalannya.
"Opa bangun, aku pulang ... kenapa Opa pergi!!" bentaknya bahkan mulai menggila dan tampaknya kehilangan akal sehat.
Sean kembali, dalam keadaan terlambat meski dia sudah berusaha cepat dengan harapan masih memiliki kesempatan untuk melihat wajah sang kakek. Akan tetapi, tampaknya keluarga benar-benar murka dan marah padanya hingga pemakaman dilakukan dengan segera tanpa menunggu dirinya.
Sean menggeleng cepat, ini hanya mimpi dan dia terus berusaha meyakinkan diri agar terbangun segera. Akan tetapi, tanah yang kini dia genggam benar-benar nyata sekalipun dia menolaknya.
"Berhenti, Badjingan!!"
Tubuhnya ambruk di sebelah makam Ibra kala seseorang menghantam punggungnya dengan tendangan. Zean menatap saudara kembarnya dengan sejuta kemarahan, tanpa terduga Zean melayangkan pukulan tepat di wajah Sean hingga sudut bibirnya mengalirkan darah segar.
Sean belum membalas, dia masih menangis di bawah rintik hujan. Sama sekali dia tidak menyadari tindakannya, Zean mengangkat kerah baju dan menatapnya dengan guratan kemarahan. "Jangan pernah sentuh nisan Opaku!!" bentak Zean benar-benar kehilangan diri lantaran Sean hendak menghancurkan makam Ibra tanpa dia sadari.
"Opamu? Dia opaku juga anak manja," ucap Sean lemas dan hal itu memancing emosi Zean hingga tanpa pikir panjang dia mendaratkan pukulan tepat di perut Sean beberapa kali.
"Opa tidak butuh dirimu lagi, Sean ... empat tahun dia menunggu, dan kau memilih egois dengan apa yang kau cari."
Syila yang panik jelas bingung harus bagaimana. Dia hendak mencari pertolongan kemana jika pemakaman sudah sepi begini. Biasanya ada Yudha yang mendampingi Zean, akan tetapi pria itu juga diminta meninggalkan tempat ini lebih dulu.
"Kau tidak berhak melarangku, tujuanku pulang hanya untuk Opa, bukan kau atau yang lainnya," jawab Sean melepaskan cengkraman Zean di kerah kemejanya, pria itu kembali memeluk nisan Ibra dan meremmas tanah kuburan yang masih begitu baru itu.
Jiwanya kembali sakit, meski sudah Zean hajar pria itu kembali mengulanginya dan menggali kuburan kakeknya dengan tangan kosong. Dia ingin bertemu, menatap wajah kakeknya sekali saja. Kemarahan, penyesalan dan dendam menyatu dalam benak Sean.
"Hentikan, kau cari mati Sean!!"
Zean menarik pria itu untuk berdiri menghadapinya. Tenaga seseorang yang sedang marah jangan ditanya sekuat apa. Tubuh Sean bahkan terhempas akibat Zean dorong sekuat-kuatnya, meski memang belum terlanjur rusak tetap saja di mata Zean saudaranya ini sakit jiwa.
.
.
Dia yang sejak tadi mengalah, tidak terima dengan pukulan Zean yang bertubi-tubi padanya. Hingga, pria itu bangkit dan membalas perbuatan Zean tanpa ampun. Layaknya dia yang memberi pelajaran terhadap lawannya, sama sekali dia tidak mengingat jika yang kini hajar adalah Zean, si lemah yang butuh perlindungan.
Melihat situasi semakin kacau dan Zean kesulitan berada di bawah kekuasan Sean yang marah besar, Syila nekat memisahkan mereka dengan menarik punggung Sean. Sayangnya, pria itu dalam keadaan benar-benar marah dan mendorong tubuh Syila hingga terjerambab dan memekik lantaran rasa sakit di pergelangan kakinya.
"Jangan sakiti istriku, Bangshat!!"
Melihat Syila terpental akibat Sean mendorongnya, jelas saja Zean murka. Dia yang tadi melemah, kini kembali menggila dan membalaskan kemarahan akibat perbuatan Sean pada istrinya.
Pertengkaran tidak dapat terelakan. Bertahun-tahun mereka hidup bersama, berdampingan sebagai saudara yang saling memeluk satu sama lain, kini semua berubah dan mirisnya mereka berkelahi di hadapan pusara kakeknya.
"Kau tahu aku paling benci diusik bukan? Itu adalah hukuman, karena wanita itu berani mengusikku."
Tenaga mereka sudah hampir habis, Sean mengeluarkan pisau lipatnya hingga membuat Syila kembali berteriak dan dia mencoba merangkak demi menyelamatkan suaminya.
"Hentikan!! Lepaskan suamiku!!" teriak Syila hingga sejenak membuat Sean mengalihkan pandangan.
Zean yang kini dia duduki menggeleng pelan dan meminta Syila untuk menjauh. Pria ini memang gila ternyata, sejak dahulu Sean memang menjelma menjadi seseorang yang tidak dapat dikenali di saat sedang marah.
"Syila jangan mendekat, dia gila!!" teriak Zean dan membuat Sean kembali menatap ke arahnya, kilatan amarah luar biasa terpancar di mata Sean. Tanpa terduga dia tersenyum tipis ketika Syila kian dekat.
"Syila?"
Satu hal yang Sean sadari, wanita yang kini merangkak ke arahnya bukan Nathalia. Pria itu tidak mungkin salah, dalam keadaan kacau juga dia bisa memahami hal ini.
"Jangan sakiti suamiku, aku mohon."
"Ah dia suamimu? Salam kenal adik ipar, tapi memohonmu kurang dramatis ... lakukan lagi, aku suka tangisan wanita lemah sepertimu," titahnya membuat hati Zean terbakar, dia ingin berontak, tapi cekalan tangan Sean di lehernya membuat Zean kesulitan.
"Ayolah, kamu lebih cantik jika menangis dengan benar-benar tulus."
"Badjingan!! Jaga bicaramu!! Jangan lakukan apapun, Syila!! Lepaskan aku, badjingan ... jangan macam-macam pada istriku, Sean."
.
.
.
- To Be Continue -