Terjebak dalam kesalahpahaman di masa lalu, menyebabkan Lauren dan Ethan seperti tengah bermain kejar-kejaran di beberapa tahun hidup mereka. Lauren yang mengira dirinya begitu dibenci Ethan, dan Ethan yang sedari dulu hingga kini tak mengerti akan perasaannya terhadap Lauren. Berbagai macam cara Lauren usahakan untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu, namun berbagai macam cara pula Ethan menghindari itu semua. Hingga sampai pada kejadian-kejadian yang membuat kedua orang itu akhirnya saling mengetahui kebenaran akan kesalahpahaman mereka selama ini.
“Lo bakal balik kan?” Ethan Arkananta.
“Ke mana pun gue pergi, gue bakal tetap balik ke lo.” Lauren Winata.
Bagaimana lika-liku kisah kejar-kejaran Lauren dan Ethan? Apakah pada akhirnya mereka akan bersama? Apakah ada kisah lain yang mengiringi kisah kejar-kejaran mereka?
Mari ikuti cerita ini untuk menjawab rasa penasaran kalian. Selamat membaca dan menikmati. Jangan lupa subscribe untuk tahu setiap kelanjutan ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Choi Jaeyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanya Ingin Dimengerti
"Baru pulang lo jam segini."
Belum sampai satu menit setelah Nathan merapatkan pintu, laki-laki itu sudah dikejutkan oleh suara yang sangat familier di telinganya. Tanpa perlu melihat pun Nathan tahu siapa orangnya, dan karena itu pula dia sama sekali tak berniat untuk menanggapinya.
Tubuhnya sudah sangat lelah, ingin cepat sampai ke kamarnya dan beristirahat. Dia bahkan tidak peduli jika orang yang sedang duduk di sofa ruang tamu itu akan menyerangnya karena sudah mengabaikan, yang penting dia harus cepat sampai ke kamarnya.
"Lo anggap gue apa di sini?"
Sudah Nathan duga, sosok berwajah identik dengannya itu akan kembali bersuara dengan penuh dramatis. "Ethan, tolong. Gue lagi capek, gue lagi nggak mau ribut sama lo."
"Emang bener, lo nggak nganggap gue saudara lo sendiri."
Niat ingin mengabaikan kembarannya itu, Nathan yang ingin menapakkan kakinya ke anak tangga seketika terhenti. Omong kosong macam apa yang baru saja diucapkan oleh Ethan? Kenapa dia tiba-tiba berbicara seperti itu? Kepala Nathan mendadak pening. Saat ini Nathan benar-benar lelah, dan kenyataannya harus dihadapkan dengan Ethan yang tiba-tiba menyebutkan omong kosong tak jelas yang tidak dipahaminya sama sekali.
"Maksud lo apa sih? Gue bahkan nggak ngerti ke mana arah pembicaraan lo," Nathan berbalik, kemudian melangkahkan kakinya mendekati Ethan.
"Selamanya lo juga nggak bakalan bisa ngertiin gue."
Ibarat kata jika manusia di dekatnya ini bukan saudaranya, mungkin Nathan sudah membunuhnya sejak lama. Sungguh, kali ini Nathan benar-benar dibuat pusing oleh tingkah Ethan. Kembarannya itu bertingkah layaknya remaja yang sedang mengalami masa pubertas.
"Gini aja deh, gue minta tolong sama lo. Kalo emang ada hal yang bikin lo kesel, langsung sampein aja ke gue. Nggak usah pake kode-kodean begitu. Lo tu cowok Than, bukan cewek yang apa-apa harus pake kode dan nuntut orang buat peka sama dia."
"Mau sampai kapan, lo temenan sama tu cewek?"
"Siapa yang lo maksud?" Nathan spontan bertanya karena sedikit terkejut dengan pertanyaan kembarannya itu. Tetapi setelah beberapa saat, dia sedikit mengerti dan menebak. "Lauren?"
"Menurut lo."
Baiklah. Akhirnya Nathan sepenuhnya mengerti dengan pembicaraan yang dimulai oleh Ethan. "Seharusnya lo nggak berhak nanyain itu ke gue."
Ethan langsung melirik tajam setelah mendengar pernyataan Nathan, namun laki-laki itu hanya diam tak menanggapi. Nampaknya dia masih ingin mendengar kalimat yang selanjutnya akan Nathan ucapkan kepadanya.
"Yang seharusnya gue tanyain itu yang sebaliknya. Mau sampai kapan, lo ngejauhin Lauren?"
"Bukan urusan lo."
"Ya berarti, bukan urusan lo juga dong, kalo gue mau temenan atau nggak sama Lauren. Lo nggak berhak ngelarang gue, sekali pun lo kembaran gue."
"Tapi gue nggak suka-"
"Sekali lagi gue bilang, itu bukan urusan lo dan gue nggak peduli," potong Nathan dengan nada tak suka. "Selama ini gue udah biarin, lo yang selalu ngejauhin Lauren. Tapi kalo lo sampai ngelarang gue buat ngejauhin dia juga, gue nggak akan biarin itu," Nathan mendekat lalu menunjuk ke arah dada Ethan. "Karena gue beda sama lo. Gue bukan manusia yang punya hati pendendam kayak lo."
Bughh
Tak disangka, Ethan melayangkan pukulannya ke wajah Nathan. Entah sadar atau tidaknya, Ethan memukul wajah kembarannya itu dengan sangat keras. Akibat ulahnya itu pula, Nathan sedikit terhuyung dan mundur beberapa langkah.
"Sial. Beraninya lo mukulin gue, Than," Nathan memegang wajahnya yang terkena pukulan, di sudut bibirnya mengalir sedikit darah. Baru kali ini dia mendapat pukulan sekeras itu dari Ethan, dan dia tak habis pikir dari mana laki-laki itu mendapat keberanian untuk memukulnya.
Sedangkan Ethan, bagai orang yang baru tersadar dari hipnotis. Dia mengerjapkan kedua matanya, lalu menatap Nathan tak percaya. Kedua tangannya yang gemetar, menandakan laki-laki itu sama terkejutnya dengan Nathan yang mendapat pukulan darinya. "Maaf. Gue nggak bermaksud," Ethan melangkah mendekati Nathan yang sebelumnya sedikit menjauh, tangannya terulur bermaksud untuk memeriksa keadaan kembarannya itu.
Namun dengan gerakan cepat, Nathan menepis tangan Ethan. "Nggak usah sok peduli. Puas kan lo, udah bisa mukul gue."
Ethan langsung menggelengkan kepalanya. "Sumpah. Gue nggak bermaksud buat nyakitin lo, Nath."
"Bacot. Nyatanya lo udah mukul gue sampai segininya," Nathan menyeka sudut bibirnya yang masih mengeluarkan sedikit cairan merah. "Sekarang gue nggak peduli. Mau gimana pun sikap lo nantinya, gue nggak akan peduli."
Setelah mengucapkan kalimatnya itu, Nathan bergegas menaiki tangga meninggalkan Ethan yang diliputi rasa bersalah karena sudah memukulnya. Memang baru kali ini Ethan mengalami hal semacamnya ini. Tanpa sadar dia sudah melayangkan pukulan keras ke wajahnya Nathan.
Entah perasaan macam apa yang sudah menguasainya, dia benar-benar tak menyangka akan berani memukul Nathan. Padahal sebelum-sebelumnya mereka hanya akan beradu mulut tanpa ada kekerasan fisik sedikit pun.
Jika sudah seperti ini, bukan hanya Nathan yang tidak bisa mengerti, Ethan pun juga tidak akan bisa mengerti dirinya sendiri. Selama ini dia memang menutup rapat perasaan yang dia tahan, tak berniat untuk membagikan keluh kesahnya ke orang lain bahkan ke Nathan yang notabennya pernah berbagi tempat di perut ibunya sekali pun. Namun setelah beberapa hari yang lalu, sebuah ketidaksengajaan terus menghampiri dia dan Lauren untuk bertemu. Membuat perasaan itu kembali mencuat ke permukaan, seakan-akan memberontak kepadanya.
Sakit hati, kebencian, kekecewaan, dan perasaan yang tak dia mengerti sebenarnya apa bercampur aduk begitu saja di hatinya. Perasaan yang sudah bertahun-tahun dia simpan begitu erat, seketika memberontak hanya karena ketidaksengajaan menatap mata gadis itu. Kedua mata dengan tatapan teduh itu, yang dulu sangat dia sukai, kini menjadi sebuah keharusan untuk dia hindari. Tetapi karena kedua mata itu pula, Ethan kembali merasakan perasaan tak normal itu pada dirinya.
Seandainya Ethan bisa meminta tolong, siapa pun itu dia akan meminta bantuan untuk memahami perasaannya saat ini.
...*****...
Sepi, hening, senyap, sunyi. Mungkin kata-kata itulah yang bisa mendeskripsikan suasana Lauren saat ini. Seperti biasa, jika malam hari gadis itu akan duduk di balkon kamarnya sembari menghisap rokok elektriknya. Hanya saja satu hal yang kurang, yaitu makhluk pengganggu penghuni balkon sebelah.
Terakhir kali Lauren melihatnya saat makan malam bersama tadi, makhluk itu masih menampakkan wujudnya. Tetapi setelah selesai makan malam, makhluk itu kembali masuk ke dalam kamarnya dan tak lagi menampakkan batang hidungnya, bahkan suaranya pun sama sekali tak terdengar.
Jika dihitung-hitung, mungkin sudah hampir seminggu ini Lauren tidak mendapat gangguan, dan jika Lauren bisa menebak, besar kemungkinan makhluk itu tengah sibuk mengerjakan skripsinya.
"Sepi juga kalo abang nggak nongol di balkonnya," gumam Lauren setelah menghembuskan asap dari mulut dan hidungnya secara bergantian.
Meskipun Lauren seringkali menggerutu jika Geo mengganggunya pada saat malam hari. Tapi tak dapat dipungkiri, Lauren sedikit merindukan gangguan itu beberapa hari terakhir ini. Serba salah memang. Saat dirinya diganggu, Lauren akan protes dan marah-marah. Tetapi saat dirinya tidak diganggu, Lauren mendadak merindukan hal itu. Nampaknya pemikiran gadis satu ini memang sedikit agak lain.
Agak lama Lauren melamun perihal memikirkan makhluk itu, akhirnya dia pun mendapat sebuah ide. Ide yang terkesan aneh dan sedikit ada pembalasan dendam di dalamnya. Ide itu berupa, jika dirinya yang tidak diganggu, maka dia akan melakukan hal sebaliknya.
"Otw kamar abang ah. Giliran gue yang bakal gangguin lo."
Benar. Lauren memikirkan hal apa yang harus dia lakukan, dan hal itu adalah pergi ke kamar Geo dengan niat ingin mengganggu kakaknya itu.
Tanpa pikir panjang lagi, Lauren pun bergegas berlari dari balkon kamarnya menuju kamar sebelah. Hanya membayangkan ekspresi tak terima Geo saja, sudah membuat gadis itu tersenyum semringah. Sangat jarang sekali bagi Lauren untuk mengganggu Geo, dan kali ini benar-benar kesempatan untuknya. Siapa yang tidak mau coba, jika dikasih kesempatan untuk balas dendam. Alih-alih dirinya yang terus diganggu, ada baiknya jika dirinya bisa balas dendam. Ide yang menarik bukan, pikir Lauren.