“Gun ... namamu memang berarti senjata, tapi kau adalah seni.”
Jonas Lee, anggota pasukan khusus di negara J. Dia adalah prajurit emas yang memiliki segudang prestasi dan apresiasi di kesatuan---dulunya.
Kariernya hancur setelah dijebak dan dituduh membunuh rekan satu profesi.
Melarikan diri ke negara K dan memulai kehidupan baru sebagai Lee Gun. Dia menjadi seorang pelukis karena bakat alami yang dimiliki, namun sisi lainnya, dia juga seorang kurir malam yang menerima pekerjaan gelap.
Dia memiliki kekasih, Hyena. Namun wanita itu terbunuh saat bekerja sebagai wartawan berita. Perjalanan balas dendam Lee Gun untuk kematian Hyena mempertemukannya dengan Kim Suzi, putri penguasa negara sekaligus pendiri Phantom Security.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fragmen 15
Dalam tiga hari, berita tentang Ming Deok-su yang terserang penyakit kulit aneh langsung menyebar ke seluruh penjuru negeri.
Benjolan-benjolan besar serupa bisul, terlihat mengerikan saat sang menteri di atas brangkar dorong tertangkap kamera paparazi.
Belum diketahui penyebab pasti, yang jelas pria dengan posisi penting di pemerintahan itu harus mendapat perawatan intensif hingga membaik.
Lee Gun tersenyum puas. Soda kalengan di tangan ditenggak satu teguk dengan elegan. "Selamat menikmati keterpurukanmu dengan bisul-bisul itu, Pak Tua.”
Tidak peduli dari mana Ryuji mendapatkan serbuk aneh itu, Gun hanya perlu berterima kasih. Rekaman cctv parkiran yang menunjukkan perbuatannya juga telah dihapus Archie melalui peretasan seperti biasa.
Satu telapak tangan meraih remote di atas meja lalu mematikan layar yang baru saja menyiarkan berita tentang kondisi Ming Deok-su.
"Itu baru awal. Akan datang waktu aku menuntaskan apa yang telah kau mulai." Berubah dalam sekejap, sorot mata Gun berganti tajam. "Kau harus membayar semuanya, Ming Deok-su."
Dia tak ingin kematian mengenaskan Hyena hanya menjadi tragedi yang terkubur begitu saja tanpa balasan. Setiap napas yang terlibat dalam pembunuhan kekasihnya itu harus merasakan bagaimana sesak dan sakitnya Hyena saat meregang nyawa.
Gun harus mengupas apa yang sebenarnya terjadi pada Hyena hingga wanita harus dilenyapkan dengan cara biadab. Pelecehan, kah? Atau sesuatu lainnya?
*****
Sedikit menjengkelkan, pagi ini Gun terus saja mengumpat di dalam hati.
Hari ini dan entah berapa lipatnya ke depan, dia harus menemani dan mengawal Suzi ke suatu tempat. Padahal nanti malam dia berencana mendatangi Ming Deok-su di rumah sakit untuk melakukan sesuatu yang menurutnya lumayan penting.
Sayangnya Suho Kim tak menerima alasan apa pun, Gun tak bisa mangkir dari tugasnya. Hanya mendesah kasar dengan banyak serapah dalam pikiran, dia tak banyak daya untuk melarikan diri dari kuasa presiden.
Terkadang menyesal dan ingin pergi, tapi pertimbangan lagi-lagi menghalangi tekadnya yang terlalu lemah.
Pasalnya, hanya di sini dia bisa mendapatkan banyak dari apa yang dia kerjakan, entah itu sebagai Goblin, atau sebagai kekasih dari mendiang Hyena..Untuk sementara hanya dibutuhkan kesabaran--cukup besar, dan itu lumayan sulit.
Suzi akan pergi ke sebuah desa yang dua hari lalu diterjang banjir bandang hingga merenggut beberapa korban. Seperti biasa, dia akan bertugas sebagai relawan kemanusiaan. Dan Gun, dia mengambil peran sebagai rekan.
"Hati-hati, Sayang. Ayah akan menyusul jika urusan tentang jembatan kota selesai," kata Suho pada putrinya. Dia mengantar Suzi ke halaman depan, berperan sebagai seorang ayah, bukan pemimpin negara.
''Ya, Ayah. Aku akan menunggu." Suzi membalas kata seadanya, namun sebuah pelukan kemudian menyusul, menjadi bukti kesempurnaan bakti dan cintanya sebagai seorang anak. "Aku pamit."
"Ya," balas Suho. "Gun, tolong jaga putriku. Aku tak ingin dia lecet dan tergores apa pun walau hanya sebesar jarum."
Dengan penuh hormat, Gun mengangguk. "Baik, Tuan Presiden."
Dua anak muda itu berlalu dari hadapan Suho, memasuki sebuah mobil sederhana untuk menyamarkan silaunya aura seorang putri presiden yang kapan pun bisa dalam bahaya.
Desa yang dituju berada di luar ibukota. Melahap sekitar enam jam waktu tempuh di perjalanan, dan saat ini baru melewati setengah dari perhitungan.
Gun yang masih dalam kemudi menoleh ke sampingnya, Suzi tertidur pulas dengan kepala membentur kaca pintu. Sedikit di depan, dia menghentikan mobil hanya untuk memindahkan kepala gadis itu ke pundaknya dan merubah sedikit posisi agar dirasa nyaman oleh sang nona, merasa kasihan juga.
"Kau sungguh merepotkanku dalam banyak hal," dia menggerutu, tapi kemudian tersenyum lucu. "Aku seorang Goblin kenapa jadi sibuk mengurus seekor kelinci." Geleng-geleng tak habis pikir kemudian melanjutkan perjalanan tanpa meneruskan gerutuannya.
Terhubung kemacetan mengular ditambah hujan lumayan deras, perjalanan jadi melambat. Mereka sampai di kawasan lebih dua jam dari waktu yang diperkirakan.
Saat ini menunjuk jam enam sore. Suasana sudah gelap dengan cabaran kilat sesekali di ketinggian mega. Suzi sudah kembali segar. Sempat dia terkejut saat terbangun karena kepalanya berada nyaman di pundak seorang pengawal. Dengan gugup mengucapkan maaf, lalu diam tak bersuara sampai detik ini.
Gun seperti biasa hanya akan menanggapi datar seolah tak memedulikan apa yang telah dibuatnya, entah secara sadar atau dalam impian. Memang seperti itu kelakuannya, menjengkelkan tapi banyak yang justru malah mendamba, dan Suzi sudah masuk di antaranya.
"Sebaiknya kita beristirahat dulu," kata Gun. Mobil sudah dihentikan di halaman sebuah motel yang letaknya hanya satu kilo lagi menuju desa. "Tak baik menemui para korban itu dalam keadaan lelah. Besok pagi adalah yang paling tepat."
Suzi menyetujui tanpa bantahan. "Aku memang butuh itu," balasnya seraya turun dari dalam mobil.
Gun mengernyit heran di posisi belum beranjak dari kemudi, menatap punggung Suzi dari balik kaca.
Biasanya gadis itu selalu santai dan pandai bicara untuk membalas tiap kicaunya, tapi setelah mengetahui dirinya adalah seniman yang melukis dinding kamar itu, Suzi berubah menjadi kaku dan lebih banyak menghindar.
"Ada apa dengannya?" gumam Gun, bertanya pada diri sendiri. "Apakah dia kecewa karena pelukisnya aku, bukan Leonardo Da Vinci?" Dia menggeleng tak memahami, lalu mengedik bahu, mengartikan bahwa dia tak ingin peduli pada hal itu, terlalu remeh. Selanjutnya turun menyusul Suzi yang sudah masuk lebih dulu ke lobi motel.
"Maaf, Nona, benar-benar hanya ada satu kamar yang tersisa. Karena hujan deras, banyak orang dari kota menuju desa yang singgah untuk menginap."
Penjelasan wanita resepsionis menghasilkan raut bingung di wajah Suzi. "Bagaimana ini? Aku tidak mungkin satu kamar dengan dia, 'kan?" racaunya, benar-benar kehilangan arah.
"Tidak apa-apa. Kita ambil kamar yang tersisa itu."
Keputusan dari suara yang terdengar menyentak Suzi. Gun berjalan mendekat dengan ayunan kaki dan sikap santai.
"Apa katamu?! Ba--"
"Tidak ada pilihan lain, Nona. Tidur di mobil juga bukan putusan bagus. Saya takut petir."
Suzi hanya bisa melebarkan mulut menanggapi alasan yang seolah terdengar dari mulut seorang anak TK, sementara Gun sudah sibuk dengan petugas resepsionis.
"Tenang saja, Nona. Saya bisa tidur di sofa ataupun lantai," ujar pria itu seraya menerima kunci bernomor 128 dari tangan resepsionis. "Nona hanya perlu istirahat dan saya tetap menjaga Nona. Tapi sebelum itu, kita makan dulu. Cacing di lambung saya terus bersahutan meminta jatah. Saya yakin cacing Nona pun begitu," lanjutnya bertutur lalu melangkah pergi mendahului.
Lagi-lagi Suzi melebarkan mulut, menatap punggung tegap Gun yang mulai jauh. "Asal kau tahu ... aku tak pernah memelihara cacing seperti katamu. Kalau tak tampan, aku sudah meminta pada Ayah untuk menggantimu dengan yang lain!"
bilamana memang pembaca suka dan sllu menantikan update anda thor...pasti walaupun boom update juga pasti like...itu pasti...
Oiya kabar Archie gimana? Masih koma kah? Kangen sama aksi² Archie yang heroik, Archie dimana kau ❤️
ini pada nunggu gebrakan mu.
semangatg thorr.. d tunggu up nya😁😁🌹🌹