NovelToon NovelToon
Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Status: tamat
Genre:Tamat / Konflik etika / Anak Kembar / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: Rianti Marena

Konon tak ada ibu yang tega 'membuang' anaknya. Tapi untuk wanita seperti Ida, itu sah-sah saja.
Lalu tidak ada yang salah dengan jadi anak adopsi. Hanya, menjadi salah bagi orang tua angkat ketika menyembunyikan kenyataan itu. Masalah merumit ketika anak yang diadopsi tahu rahasia adopsinya dan sulit memaafkan ibu yang telah membuang dan menolaknya. Ketika maaf adalah sesuatu yang hilang dan terlambat didapatkan, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rianti Marena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan Kedua

Musik instrumental riang mengalun ringan melalui penyuara telinga warna ungu milik Nuri. Pagi sudah lama berganti siang. Demi menuruti permintaan adiknya yang super manja, itu menurut Nuri, dia menurut saja ketika diajak makan siang. Dalam hati dia tahu, pasti acara siang ini bukan sekadar makan. Entah ada cerita atau permintaan apa dari salah satu adik kembarnya yang sekarang duduk di balik kemudi.

Walau terlihat ceria dan pantat-less saking tidak bisa diamnya, Fajar adalah anak yang perasa. Lain dengan saudara kembarnya yang kalem dan tampak dewasa, Fajar adalah wujud biang keriuhan dan kemeriahan. Namun, Nuri, juga seluruh anggota keluarga lainnya termasuk Budhe Sur sudah melihat, bagaimana sebenarnya pribadi Fajar.

Fajar punya hati yang lembut. Tenggang rasanya tinggi. Dia lebih banyak mengalah dibandingkan Senja, walau di mata banyak orang seringkali yang terlihat justru kebalikannya. Meski banyak tertawa dan terlihat selalu ceria, Fajar sebetulnya juga mudah menangis dan terluka. Kecepatannya dalam beradaptasi dalam berbagai situasi patut diacungi jempol. Kemampuan itulah yang juga membuat Fajar lebih cepat bangkit dari kekecewaan dan kesedihan.

"Asyik! Sampai, Mbak!"

Tahu-tahu Fajar sudah mematikan mesin mobil. Nuri melongok-longok melihat suasana sekitar lewat kaca jendela. "Kamu yakin, mau ngajakin makan di sini? Kayak resto mahal. Bawa duit, nggak?"

"Halah, duit dipikirin. Aman, Mbak!"

Nuri melirik adiknya, sedikit galak. "Sekarang ngomong aman. Nanti jangan mendadak minta aku ikut bayar, ya!"

"Iyo, Mbak! Wis, tenang, to," katanya meyakinkan Nuri. Tapi Nuri masih belum yakin. Nuri jadi ogah-ogahan. Langkahnya diseret, malas. Fajar sedikit mendorong-dorong kakaknya agar mau melangkah maju meninggalkan parkiran untuk menuju lobi.

Mungkin melihat Nuri kurang bersemangat, Fajar jadi geregetan. Digandengnya Nuri menaiki tangga masuk resto. Terpaksa deh, kaki Nuri menyamai irama kaki adiknya. Sayup terdengar denting alat makan disela latar musik Sunda.

Resto khas Jawa Barat ini ternyata lumayan luas. Suasananya juga asri menyenangkan. Dibuat konsep separuh terbuka, separuh tertutup dengan masing-masing dilengkapi set panggung kecil. Mungkin untuk area live music karena ada kahon, gitar klasik, dan satu set instrumen band sederhana. Ada banyak gazebo yang diselingi aliran-aliran kolam kecil. Ikan-ikan mas serta nila berwarna-warni berenang mengecipak di dalamnya.

"Jar, beneran, nih, mau makan di sini? Kayaknya mahal, deh. Pulang aja, yuk! Makan di rumah," ajak Nuri. Namun Fajar tidak menggubris. Dia menengok ke sana-kemari, seperti mencari sesuatu. Atau... mencari orang? Nah, ini, nih! Mencurigakan, batin Nuri.

"Kamu nyari apa, sih? Tempat kosong?"

Fajar menggeleng. "Katanya di area outdoor dekat air mancur? Di sebelah mana?"

Nuri menghentikan langkah dan menarik tangan Fajar yang menggenggamnya. Fajar jadi berbalik mendadak. Hampir saja dia menubruk kakaknya. "Hayo, kamu pasti merencanakan sesuatu! Ngajakin janjian sama siapa?"

Fajar cengar-cengir. "Ada, deh!"

"Siapa?"

"Udah, mbak ngikut aja. Nanti juga tahu." Ditariknya lagi tangan Nuri. Mereka pun kembali berjalan. Tapi Nuri jadi waspada.

"Kamu aja, ah. Aku tunggu di mobil," kata Nuri berbalik, langsung melepaskan tangan dari genggaman Fajar.

"Eeeh, sini, mbak! Malah mau pulang. Ayo, nggak ada apa-apa, kok," cegah Fajar. Lengan Nuri sudah dipegangnya. "Cuma mau ajakin Mbak makan. Sekali-sekali makan di luar sambil ngobrol santai sama kakak sendiri emang nggak boleh?"

Huh! Rayuanmu, Jar, batin Nuri. "Lha kamu mencurigakan, sih! Kalau cuma begitu, ngapain kamu dari tadi tengok kanan-kiri?"

"Nyari tempat, Mbak. Mosok mau makan sambil berdiri? Ada kursi banyak begini, kita mau standing party?"

Ngeles aja kamu, gerutu Nuri dalam hati. "Kalau cari tempat kosong, tinggal tanya aja sama pelayannya."

Fajar menghela nafas. "Hadeh. Aku udah pesan tempat, minta dicarikan yang nyaman dan view-nya oke. Biar ngobrolnya itu nyaman, Mbak."

Masih tetap mencurigakan. Ini pasti ada 'u' di balik 'b'. Nuri terus waspada dan protes membatin.

Kembali Fajar menggandeng Nuri, mengajaknya berjalan, setengah menyeret. Langkah Nuri jadi agak beribet. "Ayo, to, Mbak! Ini demi nama baikku, kebahagiaanmu, dan keberlangsungan genetik keluarga kita!"

"Aduh-duh-duh, iya, oke, tapi sabar, to! Kamu itu dari tadi nyeret-nyeret aku terus. Berapa kali aku hampir jatuh? Sabar!"

"Aku Fajar, Mbak. Bukan Sabar."

"Hiih! Kalau bukan adikku, udah tak pites kamu!"

Fajar nyengir kuda. "Emang kutu? Gedenya segini bisa po, dipites? Hehe. Ya udah, ayo, to, ikut aku, sini! Senyum, nggak pake cemberut. Nggak nyesel, wes!"

"Ya udah, ayo! Terus kita harus ke mana ini?"

Fajar mengeluarkan ponsel dari sakunya, melihat pesan di layarnya sekilas, lalu memasukkan ponsel kembali ke saku. "Kita cari meja nomor 16. Kayaknya di sebelah sana, deh, Mbak."

"Kamu itu, lho! Makan siang di rumah aja bisa. Enak. Sehat. Kenyang. Ngapain ngajak jajan segala? Buang duit, ngerti nggak?"

"Wong ditraktir kok buang duit? Justru irit! Udah, to, ikut aja. Aku itu ngajak mbak Nuri ke sini untuk ketemu orang."

'Nah, iya 'kan? Aku udah punya firasat, pasti beneran ada tujuan lain ini anak.' Nuri semakin waspada. Kecurigaannya terbukti. "Ketemu orang? Siapa?"

Bukannya menjawab, Fajar malah fokus menyisir nomor saung. "14, 15, nahhh, itu 16! Kita ke sana, Mbak," ajak Fajar. "Weh! Udah datang! Orangnya udah datang, Mbak! Ayo, aku kenalin! Ayo, to, Mbak!"

"Weh, ngawur lho kamu itu! Kamu mau ngenalin aku sama siapa, Jar?" Kali ini Nuri benar-benar berhenti melangkah. Fajar berbalik kepada kakaknya yang mendelik jengkel. "Lhah, gimana to? Konon kabarnya Mbak Nuri cari pacar?"

Mata indah Nuri membelalak kaget, kesal juga, "Eh? Siapa juga yang cari pacar?"

Tiba-tiba dari belakang Nuri, "Eh? Mbak Nuri?"

DEG!

'Suara bass itu.... Wangi aroma itu.... Kayak pernah tahu....' Nuri pun berbalik. "Lho? Pak Yones? Kok di sini?"

Nuri dan lawan bicaranya sama-sama terkejut. Fajar yang mendadak tidak diacuhkan ikut terkejut dan heran. "Lho! Sik, sik, to! Kalian udah saling kenal?"

Melihat situasi, yang mana kakaknya maupun orang yang mau dipertemukan dengan sang kakak terus saling memandang tanpa berkedip, lampu ide di kepala Fajar menyala. "Wah, cocok kalau gitu. Harus diabadikan! Sik, lho, lho, lhooo!" Fajar pura-pura mencari ponsel di tubuhnya, padahal jelas-jelas benda itu ada di dalam sakunya. "Hapeku ketinggalan di mobil! Mbak, aku pinjam kunci, ya! Mau ambil hape. Sebentar ya, Mbak, Mas!"

Nuri yang tahu pasti adiknya berbohong melirik galak. Sedetik kemudian dia cemas. Grogi. Blank.

'Astaga, Fajaaar! Kamu kenapa pergi? Aku ditinggal, nih? Terus mau ngomong apa, coba? Dasar, ya, Fajar! Habis kamu nanti, hiih,' omel Nuri dalam hati.

"Emm, ehehe, m-maaf, ya, Pak. Adik saya lancang," ucap Nuri akhirnya. Diam-diam Nuri mencuri pandang. Lumayan, dapat pemandangan menyegarkan lahir dan batin yang pagi tadi. Lumayan, kini bisa terulang kembali. Lawan bicaranya tersenyum. Manisnya, batin Nuri.

"Kita ketemu lagi. Dua kali dalam sehari," kata laki-laki itu.

Nuri ikut tersenyum. "Iya, Pak. Kok bisa, sih, ketemu Pak Yones lagi? Bosan, ya, Pak, ketemu saya lagi?"

Yones tertawa kecil. "Nggaklah. Cuma kaget aja. Ternyata, kakak yang mau dikenalkan ke saya oleh Fajar adalah Mbak Nuri."

"Hah? Kok Bapak kenal sama Fajar?"

Yones tersenyum lagi, ramah. "Saya asdos dia di kampus. Emm. Kalau gitu, kita sebaiknya kenalan ulang, nih. Namamu mestinya Sanubari, 'kan? Panggilan, Nuri?"

Nuri mengangguk. Masih tersihir dengan cara bicara dan suara laki-laki tampan di hadapannya. Dan pertemuan mereka yang dua kali dalam sehari, ibarat sudah diatur oleh semesta. Kalau kata orang-orang di drama romantis Korea, unmyong alias takdir.

"Kenalkan, saya Yones. Mulai sekarang panggilnya 'mas' aja, jangan 'pak', biar nggak canggung. Setuju?"

Meleleh hati Nuri. Tahukah laki-laki pemilik suara bass itu, bahwa Nuri sudah melewati kelepek-kelepek level satu?

...*...

1
Sabina Pristisari
yang bikin penasaran datang juga....
Rianti Marena: ya ampun.. makasih lo, udah ngikutin..
total 1 replies
Sabina Pristisari
Bagus... dibalik dinamika cerita yang alurnya maju mundur, kita juga bisa belajar nilai moral dari cerita nya.
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
Rianti Marena: makasih yaa..
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!