NovelToon NovelToon
Di Antara Gema Rindu

Di Antara Gema Rindu

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni / Enemy to Lovers
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: Subber Ngawur

Rindu pernah bermimpi. Mimpi yang begitu tinggi hingga ia tak sanggup bangkit ketika terjatuh. Saat itu, Gema datang dengan dua sayap malaikat, bersama sinaran senja yang membawa harap.
Senja selalu menyimpan banyak kenangan, termasuk tentang Gema. Warna jingga itu seperti senyumnya yang menghangatkan. Selalu mencairkan hati Rindu yang beku. Ada atau tiada di sisi, senja akan selalu menjadi saksi bahwa nama Gema akan selalu tergurat dalam memori.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keping Kelima Belas

Pagi itu, sekali lagi Rindu melihat sosok Gema lain dari biasanya. Pemuda itu tidak berteriak mencari Bi Salmah, ia mengetuk pintu dengan kekuatan yang lebih lembut. Rindu membuka pintu dan pemuda itu tersenyum ramah, matanya menyipit saat tersenyum, itu terasa sangat berbeda. Sejak kapan Gema menyipit saat tersenyum?

“Pesanan Ibu Anjani, kue bolu keju hari ini, kan? Mama memberikan bonus cup cake, percobaan pertama.” Saat kue itu diletakkan di meja, Rindu tak berkomentar.

“Kamu mau masuk dulu?” tawar Rindu. Tapi lawan bicaranya menggeleng, kalau Gema yang biasanya tidak akan menolak kalau Rindu menawarkan, “Bi Salmah bikin bakwan.”

“Hmmm… aku nggak suka bakwan…”

Rindu mengernyit, bahkan sampai pemuda itu permisi undur diri, Rindu masih tak mengerti apa yang terjadi padanya. Menyadari ekspresi bingung pelanggan, Guntur hanya menoleh pada Rindu sekilas, lalu bergegas pulang.

Pagi tadi Gema demam. Suhu tubuhnya sangat tinggi sampai Guntur pikir tangannya akan melepuh saat menyentuh kening Kakaknya. Gema mudah sakit belakangan ini, keluhan fatal selain nafsu makannya yang berkurang dan berat badannya yang menurun drastis.

Itu yang jadi sebab kenapa Guntur terburu-buru mengantar pesanan hari ini. Ia juga harus mengantar Gema ke dokter. Tapi sebalnya, saat sampai di rumah dan siap mengantar Gema ke dokter, Kakaknya itu malah duduk di depan televisi sambil memainkan PS.

“Kak? Kok malah main PS?” tanya Guntur, uring-uringan. Rasanya ingin membanting peralatan PS di depan Gema, tapi benda itu miliknya sendiri.

“Bosen tiduran.” Gema sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari layar televisi, game final fantasy lagi masuk seru-serunya. Padahal saat itu wajahnya sangat pucat sampai-sampai terlihat seperti mayat hidup.

“Tapi kamu harus ke dokter?” bujuk Guntur, lalu duduk di sebelah Guntur, mencoba merebut stik di tangan Gema, namun kalah gesit dengan Kakaknya.

“Buat apa? Kakak udah mendingan. Apalagi buat main PS, rasanya makin sehat.” Gema nyengir, meski bibirnya masih pucat. Hari itu Guntur menyerah, ia beraih stik lain, dan menjadi lawan main bagi Kakaknya, kalau memang ini membuat Kakaknya merasa lebih baik.

“Tumben nggak bawel.” Gema menyeringai, sempat melirik ke arah Guntur yang malah bergabung, main PS, bukannya kuliah.

“Berisik.”

***

Siang itu, Rindu dikejutkan dengan kedatangan Gema yang mendadak. Rindu sampai menjatuhkan buku gambar saking kagetnya saat mendengar suara Gema memanggil namanya.

Rindu bergegas memutar kursi rodanya dan menemukan Gema sudah rapi di depan. Pemuda itu nyengir.

“Mau bertualang?”

Rindu pura-pura berpikir, sembari mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke dagu. “Boleh.”

“Tapi sepertinya kamu belum mandi,” goda Gema saat melihat penampilan Rindu yang alakadarnya. Mendengar sindiran telak itu, Rindu melengkungkan kedua sudut bibirnya ke bawah. Apa-apaan pemuda itu? Nyindir terang-terangan!

“Sialan. Aku sudah mandi. Aku hanya perlu menyisir rambut.”

“Baiklah, kamu harus tampil seperti putri cantik. Karena aku sudah ganteng bingit.”

Gema tertawa setelah mengatakannya. Demikian Rindu, ia ingin tertawa saat bergegas kembali ke kamarnya. Rindu sempat menoleh hanya untuk mempersilakan Gema duduk di ruang tamu selagi ia berbenah diri.

Tak sampai 15 menit, Rindu telah selesai dengan urusannya. Ia kembali ke ruang tamu dengan rambut yang terikat rapi. Poninya lebat tersisir menyamping, wajahnya pun dipoles bedak tipis. Rindu terlihat cantik natural, dan itu membuat Gema puas.

“Sip banget.” Gema mengacungkan jempol. “Serasi banget sama aku, kan?”

Saat Gema berlagak membenahi kerah bajunya, Rindu tak tahu harus merespon bagaimana. Kata-kata, “Serasi banget sama aku, kan?” terus berputar di kepalanya. Rindu yakin ia tak salah dengar. Gema benar mengatakan itu, kan? Gema tidak malu dengan keadaannya? Pikiran Rindu pecah saat Gema mendorong kursi rodanya. “Yuk, berangkat.”

Sudah ada taksi yang berhenti di depan rumah Rindu. Gema menelpon taksi saat Rindu tengah berbenah diri tadi. Ia ingat, akan sangat merepotkan kalau Rindu naik angkot karena ada kursi roda bersamanya.

Sampai di sebuah taman wisata, Rindu begitu kegirangan. Gema seperti melihat anak kecil yang mendapat gula kapas. Rindu tak melepas senyum sejak sampai di Jatim Park.

“Ini pertama kali kamu ke sini?” tanya Gema.

“Nggak juga. Aku pernah kemari beberapa kali. Tapi tetap suka.” Rindu menarik Gema, isyarat agar Gema mendorong kursi rodanya lebih cepat lagi.

Hari sibuk membuat Jatim Park tak banyak dikunjungi orang, dan Gema puas melihat sekelilingnya tak begitu banyak pengunjung. Jadi, ia tak perlu berdesakan dengan kerumunan orang.

“Kalau hari Minggu, mungkin kita nggak bisa gerak bebas,” komen Gema. Sekelilingnya hanya ada beberapa orang yang lalu lalang.

“Untung kita ke sini hari Senin.” Rindu mengangkat kepalanya, ada bianglala. Rasanya ingin sekali menaikinya, tapi kali ini Rindu tidak mengatakan apa pun. Pasti sangat repot jika Gema juga harus menggendongnya untuk menaiki bianglala.

“Untung aku nggak kuliah.” Gema nyengir, diam-diam matanya mengikuti arah pandang Rindu yang menatap ke arah bianglala.

“Untung aku nggak sekolah,” balas Rindu.

“Kenapa?” tanya Gema. Rindu tak menjawab. Awalnya, Rindu masih tak bisa menerima kenyataan bahwa kakinya cacat. Karena ia malu dengan keadaannya.

“Kenapa, Rin?” ulang Gema.

“Aku nggak mau.”

“Kenapa?”

Rindu tak menjawab. Gema beralih posisi, berdiri di depan Rindu, lantas menyentuh bahu gadis itu. “Rin, masa depan kamu masih panjang. Kamu harus sekolah. Kamu harus temukan mimpi kamu yang lain.”

Rindu buang muka, masih bungkam dengan arogan.

“Di mataku, kamu adalah langit yang penuh bintang.”

Kalimat tak jelas itu membuat Rindu menatap balik lawan bicaranya.

“Jika bintang itu hilang satu, masih banyak bintang yang membuat langit bersinar. Begitu juga dengan mimpi kamu. Jika menjadi balerina sudah tidak mungkin, kamu bisa jadi yang lain.”

Kenapa Gema bisa tahu kalau impiannya adalah menjadi balerina? Mendadak Rindu teringat seseorang, pasti Bi Salmah yang cerita. Mata Rindu mendadak memanas, kalimat Gema itu memang benar. Dan ia merasa seperti pecundang yang selalu tak pernah bersyukur atas apa yang ia punya.

1
Melati Putri
novelnya bagus thor, banyak bawang nya..
Subber Ngawur: Terima kasih sudah mampir baca 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!