Di Antara Gema Rindu
Pagi ini dingin sekali. Atau memang Rindu tak pernah merasakan hangatnya mentari lagi. Yang bisa ia lakukan kini hanya menatap taman kecil di depan rumahnya. Tatapannya kosong, meski banyak obyek yang bisa dinikmatinya pagi ini. Ia membenahi syal yang melilit lehernya, sejurus kemudian meraih ujungnya yang menjuntai untuk mengusap sesuatu yang menerobos kelopak matanya. Sial, ia melakukannya lagi. Padahal Rindu sempat berpikir bahwa ari matanya sudah kering, sebab semalaman ia sudah menangis, sampai air matanya habis. Tapi ternyata, pagi ini air matanya mengalir lagi.
Menengadahkan kepala membuat Rindu sadar, dunia telah mengucilkannya. Ia bisa melihat mentari terbit dari timur, tapi sama sekali tidak bisa merasakan hangatnya. Dingin. Bahkan Rindu selalu menggigil. Menggigil tiap kali mengingat hidupnya yang hancur, hanya ada kelabu yang mewarnainya. Semua orang bilang, yang terjadi bukanlah akhir dari segalanya. Tapi sungguh, mereka hanya tak pernah ada di posisinya.
“Non, ayo masuk dulu. Nyonya sudah menunggu di dalam…”
Rindu dengar suara Bi Salmah. Pembantunya adalah satu-satunya orang yang tak segan bicara padanya. Meski tak jarang Rindu menjawabnya dengan kalimat kasar. Gadis itu mencengkeram roda kursinya dan memutar balik arahnya. Ia memang terlalu lama melamun di beranda. Barangkali sejak embun masih membasahi rerumputan taman hingga embun itu mengering.
“Biar Bibi bantu, ya…” Bi Salmah mengambil inisiatif untuk mendorong kursi roda Rindu. Tapi Rindu justru menggeleng tegas, sembari mengatakan, “tidak!” dengan nada meninggi. “Aku bisa lakukan sendiri.” Rindu benci dikasihani.
Bi Salmah buru-buru menjauh dari kursi roda Rindu. “Kalau begitu, Bibi ke dalam dulu.”
Rindu tak peduli. Ia hanya fokus pada kursi rodanya. Sungguh, rasanya sulit sekali hidup terjebak dengan kursi roda.
Meski Rindu berkali-kali mencoba memutar rodanya, tapi gerakan kursinya. Dan butuh perjuangan keras hingga sampai di ruang makan. Ada Mama, Papa dan Kasih—kakaknya, sang balerina yang sudah sering tampil di atas panggung megah.
Melihat wajah cantik Kasih selalu membuat hati Rindu pedih. Awal memiliki mimpi itu, karena Rindu ingin seperti Kakaknya. Bergerak anggun gemulai, di atas panggung. Membuat penonton terpaku dan bertepuk tangan meriah saat menyaksikan pertunjukan baletnya.
Rindu ingin seperti Kasih, sungguh ingin sepertinya. Tapi sekarang? Jangankan menari. Berdiri saja Rindu tak bisa.
“Mama sudah siapkan makanan kesukaan kamu…” Mama meletakkan piring di meja. Mengambil nasi, sayur cah kangkung dan udang krispi. Mama selalu memasak makanan favorit Rindu. Tapi, apa yang bisa membuat selera makannya kembali? Tidak ada. Tidak akan ada. Semuanya hambar. Tak peduli itu steak atau roti tawar, semua sama saja. Rindu tak tertarik lagi. Sarapan pagi ini terasa beku. Rindu jengah dengan segala perhatian orang tuanya, seakan ia adalah manusia yang paling patut dikasihani.
Tak tersisa lagi selera makan. Rindu hanya memasukkan tiga sendok ke mulutnya, lalu mengatakan, “Aku sudah selesai.” Ini bukan yang pertama kali, bahkan selalu seperti itu. Mama tak tahu harus melakukan apa untuk membuat Rindu kembali seperti dulu lagi. Wanita itu bangkit berdiri, baru akan berniat menghalangi niat Rindu untuk meninggalkan ruang makan. Tapi Kasih lebih dulu memegang lengan Mama dan menggeleng lemah. “Biar Kasih saja, Ma.”
Mama mengangguk, mempercayakan semua pada Kasih yang menyusul Rindu ke kamarnya.
***
Bahkan kamar Rindu pun sudah dipindahkan. Yang awalnya di lantai dua, sekarang di lantai dasar. Getir menghiasi bibirnya. Ia memang tidak akan bisa menaiki anak tangga lagi. Dan keputusan orang tuanya untuk memindahkan kamarnya ke lantai dasar pun tepat.
“Aku bawakan kamu pencuci mulut.” Suara Kasih. Gadis itu membuka pintu kamar Rindu tanpa permisi. Itu memang kebiasaannya sejak jaman mereka masih kanak-kanak. Kalau dulu, Rindu pasti akan mengomel dan mengatai Kasih tidak punya etika. Tapi sekarang, jangankan untuk berdebat dengan gadis itu, sebatas mengobrol saja sangat berat. Karena pada dasarnya, Rindu merasa semua tidak adil. Lihat Kasih yang begitu sempurna, ia mendapatkan segalanya. Sementara ia? Hanya gadis yang cacat permanen.
“Aku taruh di meja, ya…”
Rindu tak menyahut. Bahkan menyempatkan diri untuk menatap ke arah Kasih pun ia tak mau. Sejak kecelakaan yang merenggut sebelah kakinya, Rindu tak pernah lagi mau bicara. Tak peduli meski Kasih menangis meratap di hadapannya, Rindu tidak peduli.
“Mama buatkan puding mangga. Enak banget, lho…” Kasih menarik napas panjang, mencoba bersabar meski Rindu tak pernah acuh padanya. Ia mencoba mengerti, berada di posisi Rindu pasti sangat sulit. Tapi, apa jadinya kalau Rindu selalu seperti ini? Nyaris tiga bulan Rindu menolak pergi ke sekolah. Ketika Papa mengusulkan home schooling, Rindu juga menggeleng.
“Kenapa kamu seperti ini?” Kasih melangkah, mendekati adiknya. Ia berdiri di hadapan Rindu, lalu menyentuh kedua bahunya. “Kamu masih muda, Rin. Masa depanmu masih panjang.”
Nyatanya perkataan itu hanya melukai batin Rindu. Ia memang masih muda, dan ia menyesalkan kenapa musibah ini turun di usianya yang masih terlalu muda. Baru bulan kemarin Rindu ulang tahun yang ke 17, tapi kenapa hal ini sudah terjadi?
Rindu palingkan wajah, menatap obyek lain. Asal jangan Kakaknya. Kakak pemilik mata nanar, yang selalu membuatnya merasa dikasihani. Rindu jijik melihat hal itu. Tapi Kasih tak pernah mengerti itu. Gadis itu selalu saja berdiri di depannya, menarik dagunya dan menatap Rindu sembari berkata, “Masih ada aku, Rin. Aku selalu ada buat kamu.”
Rindu menghempaskan tangan Kasih yang masih menyentuh dagunya. Ia tak butuh ada orang di sisinya. Termasuk Kasih sekalipun. Saat Kasih mencoba menyentuhnya lagi, Rindu justru berteriak keras. Teriakan tak jelas. Ia menutup kedua telinganya, lalu histeris. Mengacaukan suasana tenang rumah.
Mama datang dengan kepanikan. Wanita itu meminta Kasih untuk segera keluar dari kamar Rindu. Mama hanya bisa memeluk Rindu, lalu berbisik, “Ada apa?” meski sekalipun Rindu tak pernah menjawab jika Mama bertanya kenapa Rindu berteriak setiap kali Kasih mencoba mengajaknya bicara. Karena jawabannya sudah jelas, Rindu ingin protes pada takdir.
Kenapa ia dibuat cacat? Kenapa Kasih tidak? Kenapa Kasih selalu mendapatkan segalanya? Kasih lebih cantik, ia juga sangat berbakat. Sementara ia?
Ia berusaha keras hanya untuk bisa berdiri di panggung yang sama dengan Kasih. Tapi impiannya itu bahkan tak sampai dicicipi, karena kecelakaan terkutuk itu membuatnya gagal naik ke atas panggung. Pertunjukan perdananya, hanya mimpi yang diterbangkan angin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments