“Bapak… selain mesum, juga nyebelin, ngeselin, rese, arogan dan sudah tua -- dewasa --. Pokoknya semua Bapak borong,” teriak Ajeng.
“Tambahkan, tampan dan membuat kamu jatuh cinta,” sahut Gentala.
Ajeng berada di dalam situasi disukai oleh rekan kerjanya yang playboy, berusaha seprofesional mungkin karena dia membutuhkan pekerjaan ini. Siapa sangka, Gentala – GM baru – yang membuat Ajeng kesal setengah hidup sejak pertama bertemu berhasil menolong gadis itu dari perangkap cinta sang playboy.
Namun, aksi heroik Gentala malah berubah menjadi bencana ...!
===
IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 15 ~ Aku Mau
Di sinilah aku berada, ruangan di mana Pak Gentala pernah asyik memangku Natasha. Arghh, kenapa juga harus adegan itu yang teringat dan kenapa juga aku harus aku harus ada di sini. Padahal Fabian mau antar aku pulang, lumayan gratisan dan pasti ditraktir makan malam.
Yang ada malah aku terjebak bersama pria paling acuh dan arogan di Go TV.
“Pak, ini saya ngapain di sini?” tanyaku yang saat ini duduk di sofa sedangkan Pak Gentala fokus dengan berkas di meja kerjanya.
Alih-alih menjawab, dia hanya melirik sekilas kemudian kembali fokus dengan berkas-berkasnya. Oh tuhan, ciptaanMu yang ini sudah paket komplit hanya menyebalkannya yang menjadi kekurangan.
“Pak, saya pulang aja deh. Nggak usah diantar, saya bisa sendiri kok. Lagian urusan apaan yang masih ada hubungannya dengan saya. Ini tuh udah lewat jam kerja,” tuturku dengan bibir mengerucut.
Sepertinya aku bicara dengan batu, karena Pak Gentala masih asyik dengan aktivitasnya. Ya sudahlah, sakarepmu Pak.
Ponsel menjadi pilihan daripada aku melamun lalu terlelap, karena sofa ini rasanya nyaman.
Aku sedang larut dengan game online dan sedang dalam pertarungan sengit sampai akhirnya ponselku direbut lalu tenggelam dalam saku jas Pak Gentala.
“Pak Genta, aku lagi main?”
“Ayo,” ajaknya.
Bener ‘kan, super nggak jelas banget pria yang satu ini. Tadi dia abaikan aku, giliran aku udah asyik malah diganggu.
“Pulang?” tanyaku.
“Hm, urusannya tidak jadi,” ujar Pak Gentala dan rasanya ingin aku jambak rambutnya yang masih rapi khas pomade.
Aku berjalan di belakang Pak Gentala, sambil sesekali berekspresi menendang dan memukul karena tidak mungkin berani melakukan hal tersebut. bisa-bisa dapat surat peringatan kedua atau bahkan pemecatan.
Mulai keluar dari ruangan Pak Gentala sampai ke parkiran aku memasang wajah kesal, bahkan saat kami berpapasan dengan karyawan lain yang mengangguk dan menyapa Pak Gentala mereka menatapku heran. Mungkin bertanya-tanya sejak kapan aku menjadi bodyguardnya Pak GM.
“Masuk!” titahnya saat aku hanya diam padahal pintu mobil sudah terbuka.
“Saya bisa pulang sendiri, Pak. Mana ponsel saya?"
Para wanita sesama karyawan mungkin sangat berharap bisa berinteraksi dengan manusia di sampingku ini bahkan tanpa diperintah dua kali akan langsung melompat masuk dan duduk di pangkuan Pak Gentala, tapi tidak denganku.
“Masuk atau besok temui Nella untuk bahas masalah ganti rugi.”
Tanpa harus menjawab aku segera menaiki mobil, duduk manis dan menikmati perjalanan sampai tiba di tujuan. Aku membawa ransel yang agak penuh dengan isinya.
“Kenapa tas mu besar sekali, apa yang kamu bawa pulang? Aset perusahaan?”
Nah, tajem ‘kan. Bukan Cuma silet yang tajam, mulut Pak Genta juga tajam. Kalau bisa diilustrasikan, tubuh aku sudah tersayat-sayat mendengar tajamnya ucapan Pak Gentala sejak pertama bertemu dengannya.
“Baju pak, isinya baju.”
“Setahu saya, asisten jarang ada dinas luar. Kamu dinas ke mana?”
“Ck, jangan kepo deh Pak.”
“Jangan bilang kamu sama Fabian tinggal bareng?”
“Astaga, Gentala Putra Petir. Mulut Pak, itu mulut kalau bunyi jangan asal aja dong,” ujarku dan pria itu tetap dengan dengan tatapan datar tapi menghunus.
Aku mendengar Pak Budi terkekeh pelan, entah dia menertawakan aku atau majikannya.
“Saya memang tiga hari kemarin tidak pulang tapi tinggal di tempatnya Anik dan Anik berjenis kelamin perempuan. Bapak kali yang tinggal bareng Natasha.”
Eh, kenapa harus bahas Natasha lagi sih. Mulut, Jeng mulutmu.
“Mulut kamu yang harusnya jangan asal bunyi.”
Pak gentala meraup bibirku dengan tangannya dan refleks aku memukul tangannya.
“Berani kamu?”
“Berani dong, namanya juga membela diri.”
Perjalanan penuh drama pun akhirnya berakhir saat mobil berhenti tidak jauh dari mini market. Aku meraih ranselku dan melirik kesal pada Pak Gentala.
“Pak Budi terima kasih ya.”
“Sama-sama Mbak.”
Pintu yang dibuka di sebelah kiri Pak Gentala duduk, artinya aku harus melewati pria itu. tadinya aku tidak ingin pamit tapi aku mengalah.
“Saya turun Pak, terima kasih sudah diantar padahal nggak minta.”
“Hm.” Gentala mengembalikan ponselku.
Aku menghela nafas pelan saat mobil sudah menjauh lalu melangkah menuju minimarket. Perutku meronta minta di isi sedangkan di rumah nanti sudah terbayang akan seperti nasibku. Mie cup instan dan air mineral menjadi menu makan malamku.
Tiba di rumah, sepertinya lengkap semua anggota keluarga. Mulai dari mobil Gio, Ayah, juga motor Tony.
“Dari mana kamu?” tanya Ibu yang sedang berada di ruang tamu bersama Vina dan Gio.
“Kerja Bu, masa main. Aku kalau nggak kerja mana bisa jajan.”
“Kerja nggak pulang-pulang, bilang aja kamu jadi simpanan om-om. Bang Tony lihat kamu turun dari mobil mewah.” Vina bertutur sambil melirik sinis dan mengusap perutnya yang buncit.
“Aku ada tugas ke luar kota, perasaan udah bilang ke ayah,” ujarku dusta, padahal aku tidur di tempatnya Anik.
“Sudah dapat uangnya?” Ibu bertanya lagi, pertanyaan yang sama setiap harinya tentang uang.
“Bang Tony, Kak Vina udah ngasih uang juga ke Ibu? Kalau sudah aku usahakan secepatnya.”
“Enak aja, Gio sedang siapkan kelahiran anak kami jadi nggak ikutan bantu ayah dan ibu,” sahut Vina.
“Aku juga sedang siapakan pernikahan aku, jadi nggak ikutan bantu.”
“Kamu mau menikah?” Gio bersuara dan langsung mendapat pekikan dari Vina. Keduanya kemudian berdebat, Ibu pun sibuk melerai dan aku lenggang kangkung ke kamar sambil tersenyum.
...***...
Aku menguap dan sudah keberapa kalinya. Saat ini aku berada di pantry, dengan kepala merebah di atas meja. Bangun lebih awal dan tiba di kantor jauh sebelum jam kerja dimulai, demi menghindari drama keluarga. Entah sampai kapan aku begini, rasanya lelah.
Uang untuk bayar kost beberapa bulan ke depan akhirnya harus aku ikhaskan karena semalam Ayah memaksa meminta uang seadanya.
“Apa aku menikah saja ya, keluar dari rumah dan hidup nyaman,” ucapku dalam hati. “Siapa kira-kira jodohku. Ya Tuhan kalau boleh minta, aku ingin suami yang ekonominya pas-pasan. Pas mau beli mobil uangnya ada, pas mau liburan uangnya ada, pokoknya serba pas ada.”
“Mbak Ajeng sudah sarapan?”
Aku membuka mata, Jojo sedang sibuk menata gelas yang akan diisi minum untuk diantar ke ruangan para manajemen.
“Belum, kalau kamu ke luar aku nitip bubur ayam ya,” ujarku.
“Mbak Ajeng, kenapa? Patah hati?”
“Ngapain hati dipatah-patahin. Aku ngantuk Jo dan mimpi punya suami kaya.”
“Wujudkan impiannya Mbak, di sini ‘kan banyak yang single dan mapan. Nggak mesti perjaka, duda juga nggak masalah Mbak. Yang penting sayang dengan Mbak Ajeng.”
“Yang single playboy, yang duda arogan. Lagian mana mereka mau sama aku Jo.”
“Aku mau kok.”
“Eh.”
ato jangan-jangan .....