"Ketimbang jadi sadboy, mending ajarin aku caranya bercinta."
Guyonan Alessa yang tak seharusnya terucap itu membawa petaka.
Wanita sebatang kara yang nekat ke Berlin itu berteman dengan Gerry, seorang pria sadboy yang melarikan diri ke Berlin karena patah hati.
Awalnya, pertemanan mereka biasa-biasa saja. Tapi, semua berubah saat keduanya memutuskan untuk menjadi partner bercinta tanpa perasaan.
Akankah Alessa dapat mengobati kepedihan hati Gerry dan mengubah status mereka menjadi kekasih sungguhan?
Lanjutan novel Ayah Darurat Untuk Janinku 🌸
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sheninna Shen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Apa Yang Kau Harapkan, Alessa?
..."Apa yang kamu harapkan dari pria yang belum selesai dengan masa lalunya?" — Alessandra Hoffner...
Keesokan harinya, saat Alessa datang pagi, ia melihat sosok yang tak asing di matanya.
"Gerry?!" batin Alessa saat itu. Ia pun mempercepat langkahnya menuju ke depan restoran yang masih belum buka itu.
"Tumben pagi—"
"Kenapa nggak bangunin aku semalam?" Gerry mencecar Alessa dengan ekspresi kesal dan sedikit marah. "Harusnya kamu bangunin aku. Kamu pikir enak, tidur berdua tapi terbangun sendiri?"
"Gerry, pelankan suara." Mata Alessa berkeliling menatap sekitarnya.
"Mereka nggak ngerti bahasa kita," ucap Gerry tak peduli. Pria itu memegang lengan Alessa. "Lihat aku. Kemaren kamu ke mana?"
Alessa menatap mata Gerry. "Ada urusan penting."
"Memangnya apa yang lebih penting dari a— ... ah, sudahlah." Gerry tak jadi melanjutkan ucapannya. Hampir saja ia keceplosan. Apa yang dia harapkan dari hubungan yang tak jelas itu?
"Sini hape kamu," Gerry mengulurkan tangannya kepada Alessa.
"Hape aku? Buat apa?" Alessa mengeluarkan ponselnya dari saku mantel. Ia bertanya-tanya sendiri, untuk apa pria itu menanyakan ponselnya.
Gerry mengambil benda pipih dari tangan perempuan itu. Kemudian ia mengarahkan ponsel itu ke wajah Alessa agar bisa membuka kunci. Setelah terbuka, pria itu langsung menekan tombol nomor beberapa digit dan bergegas menghubungi nomor itu.
Drttt. Drttt.
Panggilan terhubung ke ponsel miliknya. Gerry bernafas lega. Kemudian ia menyimpan nomor ponsel miliknya di ponsel Alessa. Ia memberi nama 'Gerry Anderson' di ponsel milik wanita itu.
"Angkat kalau aku hubungi." Gerry memberikan kembali ponsel itu ke pemiliknya.
Alessa mengambil ponselnya dari tangan Gerry. Kemudian ia bergumam sendiri. "Gerry Anderson."
"Kenapa?" Tanya Gerry sambil matanya sibuk ke benda pipih miliknya.
"Nggak apa-apa. Tapi aku baru tahu nama panjangmu," jawab Alessa lurus. Tapi memang benar bukan? Selama dua minggu terakhir, mereka hanya berbicara tentang Berlin, tempat wisata dan hal-hal lainnya yang tak ada hubungannya sama sekali dengan kepribadian mereka.
"Sekarang, tulis namamu di hapeku." Gerry menyerahkan ponsel miliknya kepada Alessa.
"Alessandra Hoffner?" Gerry menatap Alessa sambil mengerutkan keningnya. "Kamu ... berdarah campuran?"
Gerry menyadari hal tersebut saat melihat nama yang Alessa ketik diponsel miliknya. Kemudian ia semakin yakin bahwa wanita itu berdarah campuran saat melihat kedua mata biru itu. Kenapa selama ini ia tak pernah menyadarinya?!
"Apa selama ini aku terlalu cuek dan tak peduli?!" Batin Gerry saat itu.
"Sudah." Alessa memberikan ponsel pria itu kembali.
"Kirimkan aku nomor rekeningmu."
"Untuk?" Alessa mengerutkan keningnya menatap ke arah Gerry.
"Kan aku pernah bilang akan membayar—"
"Oh." Alessa menyela Gerry. Ia kembali teringat dengan candaannya yang meminta uang ongkos untuk taksi sekaligus biaya untuk mahkotanya.
Tapi apa? Ternyata pria itu mengiyakan ucapannya. Alessa membatin sendiri. "Apa ... aku terlihat seperti wanita panggilan? Tapi ... semua juga karena ucapanku."
Alessa mengangkat wajahnya yang mendadak sendu. Dengan lirih ia berkata, "nggak usah. Malam itu aku hanya bercanda."
"Alessa!"
Terdengar suara seorang wanita berkulit putih yang sedang memanggil Alessa. Wanita itu sedang membuka pintu restoran tempat Alessa bekerja.
"Ja! Ein moment, Frau Anna!" (Ya, tunggu sebentar, Bu Anna). Alessa menjawab panggilan wanita itu dan berpamitan pada Gerry.
"Nanti kita lanjutkan. Bye." Alessa melambaikan tangan pada Gerry, kemudian ia masuk ke dalam restoran untuk memulai pekerjaannya.
...🌸...
Selama Alessa bekerja, Gerry berada di apartemennya sendirian. Ini pertama kalinya pria itu merasa bosan dan uring-uringan tak jelas. Ia merasa seperti ada yang kosong dan rasanya ... seperti ada yang hilang?
Gerry meraih ponselnya dan melihat nama kontak yang baru saja ditambahkan.
"Alessandra Hoffner ...." gumam Gerry sambil terus menatap ponselnya. Sesekali ia membayangkan mata biru wanita itu.
"Banyak hal yang belum ku ketahui tentangnya."
Lagi-lagi Gerry bergumam sendiri. Ia memutuskan untuk pergi ke balkon apartemennya. Kemudian ia melihat hiruk pikuk Kota Berlin di siang itu. Meskipun hari ini adalah hari di mana orang sibuk bekerja, tapi jalanan di sana tak seperti di Jakarta.
Mata hitam legam Gerry menatap lurus ke depan tak berarah. Pikirannya berkecamuk dan bercampur aduk. Ada Lea yang masih belum pudar dari ingatannya, dan kini ... kehadiran Alessa yang semakin mengguncang jiwanya.
"Mungkin ... di luar sana sudah dipersiapkan seseorang yang lebih pantas untukmu. Tapi karena kamu masih berkutat di masa lalu, itu membuat mata dan hatimu tertutup untuk kesempatan itu."
Sekilas melintas ucapan Alessa dua hari yang lalu. Wanita itu ada benarnya. Tapi ... siapa seseorang itu?
"Nggak mungkin seseorang itu Alessa. Dia saja membutuhkanku hanya sebatas partner bercinta." Gerry berspekulasi sendiri.
Bukan tanpa alasan pria tampan yang merupakan idaman itu, sudah tak memiliki kepercayaan diri seperti dulu lagi. Kini ia menjadi sosok yang pesimis dan takut untuk berharap pada seseorang. Apalagi kalau bukan karena pernah terbang setinggi mungkin, kemudian jatuh se dalam-dalamnya ke jurang.
"Sadarlah Gerry. Sudah dua kali kamu mengejar wanita, dan dua kali juga kamu terluka."
Gerry merasa putus asa dan tak lagi ingin merasakan hal yang sama. Ia yang semula berfikir untuk mengejar Alessa, selain karena telah mengambil perawan wanita itu, diam-diam ia merasa nyaman. Tapi kini ia mengurungkan niatnya untuk mengejar wanita itu.
"Partner bercinta. Tidak lebih dari itu."
Pada akhirnya, Gerry memutuskan untuk kembali menutup pintu hatinya.
Sementara itu, di saat Gerry sedang berperang dengan hati dan perasaannya, di tempat lain, Alessa sedang berperang dengan harga dirinya.
Wanita dengan rambut yang dikuncir kuda itu berulang kali menatap ponselnya saat memiliki waktu luang. Ia memastikan, apakah ada pesan masuk dari nomor yang baru tersimpan di kontaknya?
Tak ada!
"Ck! Apa yang kamu harapkan Alessa?" Alessa berdecak sebal. Ia menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana.
"Dia itu menganggapmu sebatas partner bercinta. Tak lebih! Lagi pula, gadis itu masih menguasai hatinya. Apa yang kamu harapkan dari pria yang belum selesai dengan masa lalunya?"
Alessa pun memutuskan untuk tak menaruh harapan pada Gerry. Ia melanjutkan bekerja dan sesekali menatap ke arah luar restoran. Biasanya, pukul 16.00, pria itu sudah ada di sana dan berkutat dengan lamunan panjangnya. Tapi, sekarang sudah hampir jam 17.00. Pria itu tak kunjung datang.
...🌸...
...🌸...
...🌸...
...Bersambung .......
Alessa kan kak??
❤❤❤❤❤
ampuuunnn..
manis sekali lhoooo..
jadi teehura..
berkaca2..
❤❤❤❤❤❤
akhirnya mumer sendiri..
😀😀😀😀😀❤❤❤❤
berjanggut ya jadi pangling gonk..
😀😀😀❤❤❤❤❤