NovelToon NovelToon
Raja Arlan

Raja Arlan

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Dunia Lain / Fantasi Isekai
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: BigMan

Namaku Arian. Usia? Ya... paruh baya lah. Jangan tanya detail, nanti aku merasa tua. Yang jelas, aku hidup normal—bekerja, makan, tidur, dan menghabiskan waktu dengan nonton anime atau baca manga. Kekuatan super? Sihir? Dunia lain? Aku suka banget semua itu.

Dan jujur aja, mungkin aku terlalu tenggelam dalam semua itu. Sampai-sampai aku latihan bela diri diam-diam. Belajar teknik pedang dari video online. Latihan fisik tiap pagi.

Semua demi satu alasan sederhana: Kalau suatu hari dunia ini tiba-tiba berubah seperti di anime, aku mau siap.

Konyol, ya? Aku juga mikir gitu… sampai hari itu datang. Aku bereinkarnasi.

Ini kisahku. Dari seorang otaku paruh baya yang mati konyol, menjadi petarung sejati di dunia sihir.
Namaku Arian. Dan ini... awal dari legenda Raja Arlan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 16 - Daftar Nama Kedua dan Ketiga, dan ya—Divisi Bulan Merah Dibentuk

Pagi itu, matahari bahkan belum benar-benar bangun, tapi halaman latihan istana sudah ramai oleh kesepuluh ksatria terbaik yang berdiri tegak dalam barisan.

Tidak ada kerumunan pelayan istana seperti biasa. Tak ada tepuk tangan atau teriakan dukungan dari balkon penonton. Yang hadir hanya mereka yang penting.

Seraphine berdiri di sisiku, masih setia dengan ekspresi dinginnya—meski aku tahu, dia diam-diam menikmati semua kekacauan ini.

Di belakangnya, Barcos sang guru pedang berdiri dengan tangan bersilang dan wajah keras seperti batu karang.

Saniel di sisi lain, tampak tenang seperti biasa, dan Lyra... yah, dia memelototi siapa pun yang terlalu lama menatapku.

Lalu ada Aldein, berdiri di sampingku, alisnya sedikit mengernyit. Dia tampaknya belum menyadari bahwa hari ini bukan harinya untuk bertarung.

Dan aku?

Aku duduk santai di bangku kayu panjang yang disiapkan khusus di pinggir arena, tangan bersedekap, dan bibir menyunggingkan senyum tipis penuh rencana.

“Hari ini,” aku membuka suara, cukup lantang agar semua peserta mendengar. “Ujian ketiga akan dimulai.”

Beberapa wajah langsung berubah. Ketegangan muncul. Tapi itu belum apa-apa.

“Namun…” aku jeda sebentar, menikmati detik-detik sebelum bom kecilku meledak, “aku rasa kalian semua salah paham. Ujian ketiga sudah dimulai.”

Mata mereka membelalak. Riuh. Tiba-tiba para ksatria saling menoleh, bisik-bisik mulai terdengar.

“Sudah… dimulai?”

“Apa maksudnya?”

“Apa ini semacam ujian ilusi?”

Aku mengangkat tangan, meminta diam.

“Coba kalian ingat kembali,” ujarku, memiringkan kepala. “Saat aku mengatakan ‘ujian ketiga telah dimulai’, tepat setelah ujian strategi selesai kemarin… Lalu Seraphine menambahkan, ‘akan dilaksanakan besok pagi’. Dan kalian semua langsung percaya?”

Tawa ringan keluar dari tenggorokanku.

“Kalian terlalu mudah percaya. Dalam dunia nyata, informasi adalah senjata. Kalau kalian hanya mengandalkan kekuatan otot dan kepercayaan buta, kalian akan mudah dimanipulasi. Ujian ini bukan cuma soal siapa yang paling kuat. Ini soal siapa yang paling tajam pikirannya, bahkan dalam kondisi yang terlihat biasa saja.”

Semua peserta, bahkan Seraphine, Lyra dan semua yang ada di arena ini terkejut. Mereka saling bertukar pandang.

Lalu aku melanjutkan. "Ingatlah ini, dan jadikanlah ini pelajaran, pelajaran yang tak akan kalian temukan dalam pertarungan!"

Sebelum yang lain merespon lebih jauh, aku berdiri dari kursi rodaku.

“Ujian ketiga adalah ujian duel. Kalian akan bertarung satu lawan satu. Bukan untuk menunjukkan siapa yang bisa memukul paling keras, tapi siapa yang bisa bertarung paling efisien. Paling cerdas. Paling bisa kuandalkan dalam situasi genting.”

Di sebelahku, Aldein tampak kebingungan.

“Tunggu, Pangeran…” katanya pelan. “Kenapa saya tidak diikutsertakan dalam duel ini?”

Aku menatapnya dan menepuk pundaknya pelan.

“Karena kamu sudah lulus, Aldein. Kemarin. Saat ujian strategi selesai. Kamu bukan seorang petarung garis depan. Kamu adalah peracik strategi. Otak dari setiap kemenangan yang akan kita capai.”

Mata Aldein melebar. Mungkin ada sedikit rasa tidak percaya, tapi juga kebanggaan yang mulai muncul di wajahnya. Aku tahu dia akan mengingat momen ini selamanya.

Lalu aku melangkah maju, menatap kesepuluh ksatria yang sekarang mulai menyadari keseriusan situasi ini.

“Sepuluh ksatria elit. Dan hanya satu yang akan kupilih sebagai tangan pedangku. Yang lain... bukan berarti kalah, hanya aku akan mempertimbangkan kalian untuk tugas yang berbeda.”

Satu per satu, aku menyebut nama mereka, dan seperti pahlawan dari legenda lama, mereka maju ke tengah arena.

1. Luther Cavilan – 24 tahun. Rambut pirang keemasan, mata tajam penuh perhitungan. Dia tidak sekuat Sir Kaela, tapi kelincahannya membuatnya hampir tak tersentuh. Cara bertarungnya? Elegan dan mematikan, seperti menari di medan perang.

2. Sir Kaela – Tinggi dan gagah, dengan tubuh atletis yang dibentuk dari pelatihan bertahun-tahun. Rambut pendek acak-acakan, mata penuh semangat dan kepercayaan diri. Sekilas seperti pria tangguh, tapi saat berdiri tenang, ada keanggunan khas wanita yang tak bisa disembunyikan. Gaya bertarungnya agresif, seperti badai petir yang tak memberi waktu bernapas. Tapi... kadang terlalu frontal.

3. Duren Halvix – Tubuh besar, gaya bertarung seperti beruang marah. Tapi pintar menilai kekuatan lawan.

4. Renna Vale – Satu-satunya perempuan lain dalam daftar. Cepat, presisi, dan tanpa belas kasihan.

5. Yorven Zade – Ahli tombak. Gaya bertarungnya defensif, tapi saat menyerang… sekali tusuk, selesai.

6. Halem Drosk – Pemikir. Setiap gerakan seperti direncanakan sepuluh detik sebelumnya.

7. Jerald Vens – Tua dibanding yang lain, tapi pengalaman tidak bisa dibeli.

8. Mikael Toren – Ahli gaya bertarung gesit dan akrobatik. Seperti bayangan di malam hari.

9. Sarion Elgard – Tenang, sabar, dan sangat menghormati lawan. Tapi saat menyerang? Secepat kilat.

10. Corvin Rusk – Brutal. Tidak ada kata mundur dalam kamusnya.

...----------------...

Suasana di arena latihan sunyi. Hanya desahan napas berat dan peluh yang menetes jadi saksi kerja keras mereka. Semua ksatria berdiri tegak, meski tubuh mereka penuh luka lebam, peluh, dan nafas yang tersengal. Tapi tak satu pun menunjukkan tanda menyerah.

Aku berdiri, membiarkan beberapa detik hening mengalir sebelum akhirnya angkat suara.

“Kalian semua…” aku membuka suara sambil menyapu pandangan ke arah mereka satu per satu, “telah menunjukkan pertarungan yang… jujur saja, di luar ekspektasiku.”

Aku tertawa kecil, bukan mengejek—melainkan benar-benar terkesan.

“Aku melihat bagaimana kalian membaca lawan. Mengatur langkah. Menyembunyikan kelemahan. Bahkan saat tenaga nyaris habis, kalian tetap teguh berdiri.”

Mataku berhenti pada Luther Cavilan yang masih berdiri tegak, meski bajunya compang-camping dan rambut pirangnya berantakan seperti habis dihantam badai.

“Dan setelah menimbang banyak hal… Maka, aku umumkan—pemenang ujian duel ini adalah…”

Aku menarik napas pendek, lalu menunjuk ke arahnya.

“Luther Cavilan.”

Beberapa ksatria menepuk pedang mereka ke dada, memberi penghormatan. Bahkan Kaela, meski wajahnya sulit dibaca, memberi anggukan hormat.

“Luther,” lanjutku, “kau akan berdiri di sisiku. Menjadi pedangku. Bukan hanya sebagai pelindung, tapi sebagai tangan kanan yang akan ikut menebas ancaman dari bayang-bayang. Perjalanan kita akan panjang… dan berbahaya. Tapi jika kau bersedia, maka mulai hari ini… kau adalah milikku.”

Luther menunduk hormat.

“Dengan kehormatan tertinggi, aku menerimanya, Yang Mulia.”

Aku menoleh ke arah Sir Kaela. Tubuh tinggi besarnya tampak tenang, tapi ada sesuatu dalam matanya yang belum sempat dia ucapkan. Maka aku lanjutkan.

“Dan sekarang, untuk pengumuman selanjutnya.”

Senyum tipis terangkat di bibirku.

“Sir Kaela.” Aku menyebut namanya dengan tegas. “Dengan segala hormat, aku ingin menugaskanmu… sebagai Komandan Divisi Elit pertama yang akan kubentuk sendiri—Divisi Bulan Merah.”

Beberapa ksatria langsung menegakkan tubuh, menahan napas. Nama itu... terdengar asing, tapi mengandung wibawa.

“Divisi ini tidak akan berada dalam sistem militer kerajaan,” lanjutku. “Kalian tidak akan terikat protokol, birokrasi, atau perintah dari dewan bangsawan. Divisi ini hanya memiliki satu komando: aku.”

Aku menatap Kaela dengan serius.

“Tapi tentu saja, Kaela… aku tak bermaksud menujukmu secara sepihak. Kau bebas memilih. Tetap sebagai ksatria kerajaan, atau… berdiri di bawah komando langsungku. Di medan tempur yang mungkin… tak pernah kau bayangkan sebelumnya.”

Kaela menatapku beberapa detik. Ada jeda, tapi bukan ragu. Hanya memastikan.

“Jika aku memilih Divisi Bulan Merah…” ucapnya pelan, “Apa peran dan tanggung jawabku?”

Aku tersenyum.

“Kau akan menjadi komandan yang membentuk kekuatan sesuai kriteriamu. Aku ingin kau memilih lima puluh pasukan, orang-orang yang menurutmu pantas, kuat, dan yang terpenting... bersedia ikut. Tidak ada paksaan. Tak peduli status, asal, atau latar belakang. Jika mereka bersedia… maka kita akan terima mereka.”

Kaela menghela napas… dan mengangguk. Perlahan, tapi tegas.

“Jika begitu, maka aku akan berdiri di pihakmu, Pangeran Arlan. Dan aku akan kumpulkan lima puluh pasukan terbaik yang bersedia ikut ke neraka sekalipun… asal dibawah komandomu.”

Suara tepuk tangan terdengar, pelan, satu-satu, dari beberapa ksatria yang merasa terhormat mendengar kata-kata itu. Aku angkat tangan lagi, memberi kesempatan pada semua mendengar pengumuman terakhirku.

“Untuk kalian semua, para ksatria…” aku menatap mereka lagi. “Kalian bebas memilih. Bergabung dengan Divisi Bulan Merah, atau tetap di dalam sistem militer kerajaan seperti biasa. Tidak ada yang akan kugugat. Tidak ada yang akan dipaksa.”

“Kalian yang bergabung… akan keluar dari sistem kesatrian kerajaan. Tak lagi menjawab pada dewan atau komandan lain. Hanya menjawab padaku. Bebas, tapi berisiko. Kalian akan jadi bayanganku… dan garda terdepanku.”

Tak satu pun dari mereka bicara—tapi dari sorot mata mereka, aku tahu… sebagian besar sudah punya jawaban.

Hari itu, bukan hanya duel yang berakhir.

Hari itu adalah hari lahirnya sesuatu yang berbeda.

Divisi Bulan Merah.

Dan era baru, pelan-pelan, mulai berjalan di balik langkah senyap kami.

1
budiman_tulungagung
satu bab satu mawar 🌹
Big Man: Wahh.. thanks kak..
total 1 replies
y@y@
👍🏿🌟👍🌟👍🏿
budiman_tulungagung
ayo up lagi lebih semangat
Big Man: Siap.. Mksh kak..
total 1 replies
R AN L
di tunggu kelanjutannya
Big Man: Siap kak.. lagi ditulis ya...
total 1 replies
y@y@
👍🌟👍🏻🌟👍
Big Man: thanks kak..
total 1 replies
y@y@
👍🏿⭐👍🏻⭐👍🏿
y@y@
🌟👍👍🏻👍🌟
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
👍🌟👍🏻🌟👍
y@y@
👍🏿⭐👍🏻⭐👍🏿
y@y@
🌟👍👍🏻👍🌟
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
⭐👍🏻👍👍🏻⭐
y@y@
👍🏿🌟👍🌟👍🏿
y@y@
👍🏻⭐👍⭐👍🏻
y@y@
🌟👍🏿👍👍🏿🌟
y@y@
⭐👍🏻👍👍🏻⭐
y@y@
👍🏿🌟👍🌟👍🏿
y@y@
👍🏻⭐👍⭐👍🏻
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!