Tantangan Kepenulisan Noveltoon
Bagaimana rasanya dijodohkan dengan 5 laki-laki tampan? Tanyalah kepada Irene Abraham.
Cantik, pintar, dan kayaraya membuat kehidupan Irene serasa sempurna. Apapun yang inginkan selalu bisa didapatkan dengan mudah. Hidupnya sangat bebas sesuka-suka hatinya.
Sampai suatu ketika, sang kakek berencana untuk menjodohkannya dengan salah satu putra keluarga Narendra. Ada lima tuan muda yang bisa Irene pilih menjadi pendampingnya, Alan, Alex, Alfa, Arvy, dan Ares. Kelima tuan muda memiliki sifat dan karakter yang berbeda.
Irene yang belum siap menikah, memutuskan untuk menyamar sebagai wanita jelek dan kampungan. Tujuannya satu, agar tidak ada dari kelima tuan muda yang akan menyukainya.
Apakah tujuan Irene berhasil? Ataukah Irene akan jatuh cinta pada salah satu dari kelima tuan muda itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Pandangan Arvy
Syuting pada akhirnya berjalan dengan baik sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Pemandangan matahari terbenam tampak indah seakan memberi dukungan pada kesuksesan proses syuting. Hasilnya jauh lebih bagus daripada yang diperkirakan. Apalagi dua artis pendukung justru terlihat sama menariknya dengan artis utama iklan minuman tersebut. Iqbal dan Helen ikut bersinar dengan karakter mereka tak kalah dengan Arvy dan Nami.
Para kru memberikan pujian yang tak henti-henti kepada Marco, imbas dari dia mengakui jika Irene adalah asisten pembantunya. Ia tak menyangka keisengan menerima bantuan Irene akan membuatnya dipuji-puji kru. Memang, pilihan kakeknya Arvy benar-benar tidak bisa diremehkan.
Sementara, Arvy tampak cemberut di tengah kebahagiaan acara makan-makan kru. Ia tak senang Irene dipuji. Seharusnya ia tak membawa wanita itu ke sana. Ada Irene di sana justru membuatnya tidak nyaman.
"Arvy, kamu mau makan apa?" Marco mendekati artis kesayangannya. Selain bertugas menentukan kontrak dan jadwal syuting, dia juga harus memastikan Arvy mau makan.
"Kenapa mengurusiku? Urus saja asisten barumu!" Arvy berkata ketus seperti anak kecil.
"Kamu kenapa? Cemburu? Seharusnya senang kan, kalau banyak yang menyukai Irene ...." Marco heran dengan kelakuan Arvy. Dia sendiri yang menyuruhnya mengajak Irene, sekarang dia yang marah karena kurang perhatian.
"Cih! Cemburu! Tidak level cemburu dengan wanita jelek seperti dia." Arvy membuang muka. Ia semakin kesal dengan manajernya sendiri.
"Ya sudahlah, terserah kamu saja. Yang penting kamu harus makan. Jangan sampai jatuh sakit karena bulan ini jadwal kita sangat padat."
"Iya, iya ... dasar cerewet! Kamu kira aku sapi perah!" Arvy menggerutu.
Marco memilih meninggalkan Arvy. Diladeni juga artis kesayangannya itu akan tetap membantahnya. Lebih baik dia diam, pura-pura mengalah. Nanti kalau amarahnya sudah reda, dia akan kembali lagi padanya.
"Irene, terima kasih untuk hari ini. Aku senang sekali di-make up olehmu." Helen mengajak Irene bicara sembari menikmati makanan masing-masing.
Irene tersenyum. Ternyata, di dalam dunia hiburan, sifat orang bisa berbeda-beda. Artis yang biasa berperan sebagai orang baik di layar televisi, belum tentu memiliki perangai yang baik di balik layar. Begitu pula sebaliknya, yang sering mendapat peran jahat terkadang malah baik di dunia nyata.
"Aku yang seharusnya berterima kasih. Kamu sangat baik, tidak banyak berkomentar selama aku bekerja. Padahal hasil riasanku jelek dan masih sangat banyak kekurangan."
"Kata siapa hasil riasanmu jelek? Aku malah mau lagi kalau ada syuting kamu yang rias. Jarang ada penata rias yang meminta pendapat artisnya, menanyakan dia cocok atau tidak, sesuai atau tidak dengan tema dan konsep."
"Artis yang mau tenang saat dirias juga sepertinya jarang."
Irene dan Helen sama-sama tertawa dengan pembahasan mereka. Sepertinya mereka tahu tanpa harus mengatakan siapa orang yang dimaksud.
"Irene ...." Iqbal ikut bergabung dengan kedua wanita itu. "Ini untukmu." Ia menyodorkan sebuah paperbag untuk Irene.
"Apa ini?" Irene agak heran diberi hadiah oleh Iqbal.
"Parfum. Hadiah untukmu karena telah membantuku hari ini."
Irene menerima pemberian itu dengan perasaan senang. Sebuah parfum mahal yang berasal dari luar negeri. Irene juga bisa membeli sendiri barang seperti itu. Namun, mendapatkannya sebagai bentuk hadiah ternyata lebih membahagiakan. "Terima kasih, ya ... aku pasti akan memakainya."
"Wah, aku tidak punya hadiah apa-apa untukmu, Irene ...." Helen jadi iri melihat Iqbal memberikan hadiah untuk Irene. Seharunya ia juga memberikan hadiah.
"Tidak apa-apa, Helen. Sudah mau aku rias juga aku senang."
"Kalau honor turun kamu harus mentraktir Irene," ujar Iqbal.
"Ah, iya. Aku minta nomor teleponmu, ya!" Helen buru-buru mengeluarkan ponselnya. Ia mencatat nomor milik Irene yang disebutkan. Iqbal ikut-ikutan mencatat nomor Irene dalam ponselnya.
"Kapan-kapan kita pergi bertiga bareng, ya ... mungkin makan-makan dan nonton."
"Aku tunggu waktu senggang kalian. Artis pasti sangat sibuk," ucap Irene.
"Hahaha ... itu kalau artis terkenal. Remahan seperti kami, ada job sebulan sekali saja sudah bersyukur."
"Benar. Itupun hanya untuk peran kecil." Helen membenarkan ucapan Iqbal.
"Tidak apa-apa, semua juga berawal dari nol."
"Isi bensin kali, mulai dari nol," Helen melemparkan lelucon. Mereka bertiga tertawa bersama.
"Kalau orang kaya tidak mulai dari nol, ya ... contohnya Arvy."
"Ya, dia memang sudah another level kalau dibandingkan dengan kita."
"Halo, semua ... maaf mengganggu, ya ... tapi aku harus mengajak Irene pulang karena hari sudah cukup larut." Marco datang di tengah-tengah obrolan mereka.
"Ini masih jam 9, Kak Marco. Masa sudah harus pulang?" protes Helen.
"Big Bos yang menyuruh. Tuh di sebelah sana!" Marco memberi kode ke arah kanan dimana Arvy sedang memandang ke arah mereka sembari melipat tangannya di dada. "Kalau tidak dituruti, aku yang bakalan kena marah. Bonusan nanti hangus."
"Bayimu memang manja ya, Kak," ledek Helen.
"Yah, mau bagaimana lagi? Bayiku memang merepotkan." Marco menghela napas panjang. "Ayo, Irene, kita pulang."
"Aku pulang dulu, ya ...." Irene pamit kepada Helen dan Iqbal.
Arvy dalam kondisi bad mood. Selama perjalanan, ia membuang muka ke arah jendela tak mau menatap dan berbicara baik kepada Marco maupun Irene. Salah satu alasannya, ia kesal hari ini Irene justru mendapat perhatian yang lebih darinya. Biasanya orang-orang selalu menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian.
"Sepertinya kamu sedang kesal? Apa karena kurang perhatian?" sindir Irene saat mereka baru turun dari mobil Marco. Mereka berjalan kaki dari gerbang ke dalam rumah yang berjarak sekitar 100 meter.
"Hah! Siapa yang peduli dengan ucapan orang sepertimu? Jangan besar kepala hanya karena sekali dibutuhkan orang lain."
"Aku tidak mengharapkan apa-apa dari bantuan yang aku berikan. Menolong orang lain hanya sebatas hobi yang menurutku menyenangkan."
"Oh, iya? Apa yang kamu ucapkan sepertinya berbeda dari kenyataan. Aku lihat kamu sangat menikmati pujian orang-orang."
"Mungkin kamu salah lihat. Aku menikmati makanan dan perbincangan dengan mereka, bukan karena pujian yang mereka berikan."
Arvy tertawa kecil. Orang jelek seperti Irene bisa-bisanya belagu saat berbicara dengannya. Hanya karena sekali berguna untuk orang lain, bukan berarti ia bisa menyukai wanita itu.
"Aku heran, kenapa orang lain bisa lebih bisa menerima kelebihanku daripada seseorang yang selalu melihat kekuranganku. Padahal orang itu setiap hari bertemu dan tinggal satu rumah denganku." Irene kembali menyindir Arvy. Ia mempercepat langkahnya meninggalkan Arvy.
Sementara, Arvy sengaja berhenti melangkah. Dipandanginya punggung Irene yang semakin menjauh darinya. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia terus membenci Irene. Setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun, bagi Arvy, semua yang ada dalam diri Irene tidak ada kebaikannya.
hamish tgh sekarat pun sempat lagi bercium... nyampahhhh