Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
malam penuh dosa
Kamis pagi, Gavin berangkat dengan koper dan senyum yang terlalu bersemangat untuk perjalanan bisnis. Larasati cium pipinya dengan senyum palsu, lambai tangan sampai mobilnya menghilang.
Lalu dia ambil ponselnya dan telepon Ziva.
"Vi, kamu bisa jaga Abi besok malam? Dari jam tujuh sampai... mungkin sampai pagi?"
"Tentu, Mbak. Ada acara?"
"Ada... urusan yang harus kuselesaikan."
Ziva diam sebentar—dia pintar, dia mungkin tahu. "Oke, Mbak. Abi bisa nginep di kamar saya. Mbak Lara... hati-hati ya."
"Terima kasih, Vi."
Setelah menutup telepon, Larasati duduk di tangga rumahnya yang terlalu besar dan kosong. Jantungnya berdetak cepat—campuran gugup dan antisipasi.
Besok malam, dia akan melewati batas yang tidak bisa diurungkan.
Besok malam, dia akan jadi perempuan yang berbeda.
Dan entah kenapa, hal itu tidak membuatnya takut. Itu membuatnya merasa... bebas.
---
Jumat sore datang dengan cepat.
Larasati habiskan hari dengan persiapan—mandi lebih lama, pakai lotion yang wangi, pilih pakaian dalam yang bagus, bukan yang biasa dia pakai untuk Gavin, tapi yang dia beli sendiri kemarin dengan kartu kredit sendiri. Dia pakai dress simpel tapi elegan—hitam, pas di tubuh, dengan belahan kecil di paha yang halus tapi seksi.
Dia tatap pantulannya di cermin—perempuan di sana terlihat berbeda dari istri Gavin yang patuh dan hancur. Perempuan ini terlihat... berbahaya. Percaya diri. Hidup.
Jam tujuh, Ziva datang ambil Abimanyu. Anaknya bersemangat—Ziva bilang mereka akan nonton film dan makan pizza, hadiah spesial.
"Mama ke mana?" tanya Abimanyu sambil pakai sepatu.
"Mama ada urusan, sayang. Besok pagi Mama sudah di rumah lagi, oke?"
"Oke! Sampai jumpa Mama!"
Abimanyu cium pipinya dan lari ke mobil Ziva dengan bersemangat. Larasati berdiri di pintu, melambaikan tangan sampai mereka pergi.
Lalu dia masuk, tutup pintu, dan duduk di sofa—menunggu.
Jam delapan kurang lima menit, ponselnya berbunyi. Pesan dari Reza: _"Aku di luar."_
Jantung Larasati berdetak sangat cepat sekarang. Dia ambil tas kecilnya, kunci rumah, dan keluar.
Mobil Reza—sedan hitam mewah—parkir di depan. Reza turun saat lihat Larasati keluar, dan untuk sebentar dia hanya berdiri, menatap.
"Lara..." Suaranya serak. "Kamu... kamu cantik sekali."
Larasati tersenyum—senyum yang tidak palsu, tidak dipaksakan. "Terima kasih."
Mereka naik ke mobil dalam keheningan. Reza nyalakan mesin, tapi tidak langsung jalan. Dia berbalik menatap Larasati.
"Kesempatan terakhir untuk berubah pikiran," katanya pelan. "Aku tidak akan marah. Aku tidak akan menghakimi. Kalau kamu mau pulang, aku akan antar kamu pulang dan kita pura-pura tidak ada yang terjadi."
Larasati menatapnya—mata yang penuh kekhawatiran untuknya, yang penuh penghargaan terhadap keputusannya apapun itu.
"Aku tidak mau pulang," kata Larasati dengan suara yang mantap. "Aku mau... aku mau ini."
Reza tatap dia beberapa detik lagi, lalu angguk. Dia nyalakan musik—jazz lembut—dan mulai menyetir.
Mereka tidak ngobrol selama perjalanan. Ketegangan di udara terlalu tebal, antisipasi terlalu tinggi. Larasati tatap jendela, melihat Jakarta malam dengan lampu-lampu yang bergerak kabur, dan bertanya-tanya apakah dia akan menyesali ini.
Tapi sesuatu dalam dirinya—sesuatu yang sudah terlalu lama tertindas—berbisik: _Kamu pantas mendapat ini. Kamu pantas untuk merasa diinginkan. Untuk merasa didambakan. Untuk merasa dicintai, meskipun hanya untuk satu malam._
Mereka sampai di apartemen Reza—gedung tinggi di kawasan Kuningan dengan keamanan ketat dan parkiran bawah tanah. Mereka naik lift tanpa bicara, berdiri di sudut yang berbeda, tidak menyentuh tapi merasakan tarikan yang tak terhindarkan.
Lift berhenti di lantai 28. Reza pandu Larasati ke unitnya—ujung koridor, unit pojok dengan pemandangan kota yang spektakuler.
Apartemen ini modern dan minimalis—dominan abu-abu dan hitam dengan aksen kayu. Bersih, rapi, maskulin. Sangat berbeda dari rumah Larasati yang penuh dengan sentuhan feminin karena dia yang dekorasi semuanya.
"Mau minum?" tanya Reza, suaranya formal—seperti tuan rumah yang sopan.
"Apa aja," kata Larasati, berdiri di tengah ruang tamu, tiba-tiba tidak tahu harus apa dengan tangannya.
Reza ke dapur kecil, kembali dengan dua gelas wine merah. Dia berikan satu ke Larasati, lalu mereka berdiri di depan jendela besar, menatap Jakarta yang berkelip di bawah.
"Lara," kata Reza setelah diam cukup lama. "Aku harus bilang sesuatu sebelum... sebelum kita lanjut."
Larasati berbalik menatapnya.
"Aku tidak mau kamu pikir ini cuma... cuma fisik buat aku. Aku tidak mau memperlakukan kamu kayak pembalasan dendam atau apapun. Kalau kita lakukan ini, aku mau kamu tahu bahwa buat aku, ini karena aku peduli sama kamu. Sangat peduli." Matanya intens di wajah Larasati. "Aku tahu waktunya buruk. Aku tahu kamu masih secara teknis menikah. Tapi perasaan aku... perasaan aku tulus, Lara."
Larasati letakkan wine-nya di meja, melangkah lebih dekat. "Aku tahu," bisiknya. "Dan Reza... aku juga tidak tahu apa yang aku rasakan sekarang. Semuanya masih... bercampur aduk. Tapi yang aku tahu adalah: aku merasa aman sama kamu. Aku merasa... dilihat. Dan itu sesuatu yang sudah lama tidak aku rasakan."
Reza letakkan wine-nya juga, lalu tangannya naik ke pipi Larasati—sentuhan yang lembut, yang membuat mata Larasati terpejam.
"Boleh aku cium kamu?" tanya Reza dengan suara nyaris tidak terdengar.
"Iya," bisik Larasati.
Dan Reza cium dia—berbeda dari ciuman singkat mereka di parkiran kemarin. Ini lebih dalam, lebih disengaja. Bibirnya lembut tapi tegas, tangannya pindah ke pinggang Larasati, menarik lebih dekat tapi tidak agresif, memberi Larasati kontrol untuk berhenti kapan saja.
Tapi Larasati tidak mau berhenti. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, tubuhnya merespons dengan hasrat yang tulus—bukan karena kewajiban, bukan karena harus, tapi karena mau.
Ciuman makin dalam, tangan mulai mengeksplorasi. Reza angkat Larasati—mudah karena dia memang ringan—dan bawa ke kamar.
Kamar Reza simpel: tempat tidur king-size dengan sprei abu-abu, meja kerja di pojok, jendela besar dengan pemandangan sama spektakulernya. Dia taruh Larasati di tepi ranjang dengan lembut, berlutut di depannya.
"Kamu yakin?" tanya dia lagi, tangan di paha Larasati, mata mencari wajahnya.
Larasati raih wajah Reza, tarik untuk ciuman lain. "Aku yakin."
---
Reza perlahan buka resleting dress Larasati—gerakan yang disengaja, yang memberi waktu untuk Larasati berubah pikiran. Tapi dia tidak berubah pikiran. Dia biarkan dress jatuh, memperlihatkan pakaian dalam hitam yang dia pilih dengan hati-hati.
Reza tarik napas tajam. "Lara... kamu... indah sekali."
Kata-kata itu—diucapkan dengan kekaguman yang tulus—membuat sesuatu di dada Larasati mencair. Kapan terakhir Gavin bilang dia indah? Kapan terakhir Gavin menatapnya seperti dia adalah hal paling berharga di dunia?
"Giliranmu," bisik Larasati, tangan di kancing kemeja Reza.
Mereka buka pakaian masing-masing dengan campuran urgency dan kelembutan. Dan saat mereka akhirnya di ranjang—kulit bertemu kulit, napas bercampur—Larasati merasa sesuatu yang sudah lama tertidur mulai bangun.
Hasrat. Kebutuhan. Merasa hidup.
Reza ambil waktu—tidak terburu-buru, tidak egois. Dia jelajahi tubuh Larasati dengan tangan dan mulut, cari tahu apa yang membuat dia terengah, apa yang membuat punggungnya melengkung. Dia bisik di telinga Larasati—kata-kata lembut, menenangkan, kata-kata yang membuat Larasati merasa berharga.
"Kamu cantik, sayang. Kamu sempurna. Aku... aku sudah lama mau ini."
Larasati merespons dengan sentuhan yang sama lembut—tangan di dada Reza, kuku sedikit mencakar saat dia cium lehernya, bibir di rahang yang kuat.
Saat Reza akhirnya masuk—perlahan, hati-hati, mata terkunci dengan mata Larasati untuk memastikan dia baik-baik saja—Larasati terengah. Bukan karena sakit. Karena ini terasa... benar. Terasa seperti pulang setelah tersesat terlalu lama.
Mereka bergerak dengan ritme yang sinkron sempurna—tidak terburu, tidak agresif, tapi dalam dan bermakna. Reza bisik nama Larasati seperti doa. Larasati cengkeram bahu Reza seperti dia adalah satu-satunya hal nyata di dunia yang berputar.
"Reza... aku... aku hampir—" Larasati tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, terhanyut oleh sensasi yang membangun di dalam tubuhnya.
"Aku juga, sayang," bisik Reza, napasnya terengah. "Tapi aku... aku harus—"
"Jangan ragu, sayang," bisik Larasati, kaki melingkar di pinggangnya, menarik lebih dalam. "Keluarkan aja di dalam aku..."
Kata-kata itu membuat Reza kehilangan kontrol. Beberapa gerakan lagi—lebih dalam, lebih keras—dan mereka klimaks bersama dengan campuran erangan dan desahan yang teredam karena bibir bertabrakan dalam ciuman yang putus asa.
Untuk beberapa detik, dunia berhenti. Tidak ada Gavin. Tidak ada Kiran. Tidak ada pernikahan yang hancur atau hati yang patah. Hanya ada sensasi—kesenangan murni dan luar biasa yang membuat Larasati merasa seperti dia terbang dan jatuh sekaligus.
Mereka runtuh bersama—Reza berhati-hati tidak menimpa Larasati dengan berat penuh, tapi tidak mau lepas juga. Mereka tetap terhubung, dahi bersentuhan, napas perlahan kembali normal.
"Lara," bisik Reza akhirnya, tangan mengusap rambut yang menempel di dahi Larasati karena keringat. "Kamu... kamu tahu ini bukan hanya hubungan fisik buat aku, kan?"
Larasati buka mata—mata yang berkaca-kaca dengan air mata yang belum jatuh, tapi bukan air mata sedih. Air mata lega, akhirnya merasakan sesuatu selain rasa sakit.
"Aku tahu," bisiknya. Dan dia cium Reza—ciuman lembut yang berbeda dari gairah sebelumnya. Ciuman yang berbicara tentang rasa syukur, tentang koneksi, tentang sesuatu yang mungkin—hanya mungkin—bisa jadi cinta suatu hari nanti.
Mereka akhirnya bergeser—Reza keluar dengan lembut, ambil tissue untuk membersihkan mereka berdua, lalu tarik Larasati ke pelukan. Dia selimuti mereka dengan selimut yang lembut, kepala Larasati di dadanya, tangannya mengusap lengan Larasati dengan ritme yang menenangkan.
"Selama bertahun-tahun," bisik Larasati ke kegelapan kamar, "selama bertahun-tahun, aku lupa rasanya... rasanya dicintai seperti ini. Rasanya dilihat. Rasanya menjadi prioritas seseorang."
"Gavin bodoh," kata Reza, suara bergetar di dadanya yang Larasati rasakan. "Dia punya kamu dan dia membuang semuanya untuk apa? Perselingkuhan yang tidak berarti dengan perempuan yang tidak akan pernah jadi seperti kamu."
"Jangan bahas dia," kata Larasati, mengangkat kepala untuk menatap Reza. "Malam ini... malam ini cuma tentang kita, oke?"
Reza tersenyum—senyum yang hangat dan tulus. "Oke. Cuma tentang kita."
Mereka tetap terjaga sampai larut—ngobrol tentang masa lalu, tentang penyesalan, tentang apa yang bisa terjadi kalau waktu mereka berbeda. Mereka tertawa, mereka diam dalam keheningan yang nyaman, mereka berciuman lagi—ciuman lambat yang tidak menuju ke mana-mana, hanya ungkapan kasih sayang.
Dan saat Larasati akhirnya tertidur di pelukan Reza, dengan suara detak jantungnya di telinga, dia merasa sesuatu yang sudah lama mati di dalam dirinya mulai hidup lagi.
Bukan pemulihan penuh. Bukan penyembuhan sempurna.
Tapi awal dari sesuatu yang baru.
Awal dari Larasati yang tidak didefinisikan oleh pengkhianatan Gavin, tapi oleh kekuatannya sendiri untuk bertahan dan menemukan kebahagiaan lagi—bahkan di tempat yang paling tidak terduga.
Dan untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, dia tertidur dengan senyum di wajahnya.
---
**Bersambung