Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
haris setiawan
Jakarta terasa asing setelah tiga bulan di Pangalengan—terlalu bising, terlalu cepat, terlalu penuh dengan orang-orang yang berlari mengejar sesuatu yang mungkin tidak pernah mereka tangkap. Elang turun dari bus di Terminal Kampung Rambutan dengan tas ransel kecil—satu-satunya barang bawaannya—dan merasakan udara panas kota menghantam wajah seperti tamparan realitas.
Ia bukan lagi Elang yang dulu. Bukan CEO dengan setelan mahal dan mobil mewah. Tapi ia juga bukan lagi Elang yang baru keluar penjara—kurus, hancur, tidak tahu harus kemana. Ia adalah sesuatu di antaranya: pria dengan identitas baru, tujuan yang jelas, dan bahaya yang mengintai di setiap sudut.
Stella mengaturkan semuanya dari Pangalengan lewat laptop—dokumen identitas palsu dengan nama Galang Saputra, riwayat pekerjaan sebagai konsultan bisnis independen yang kredibel tapi tidak terlalu menonjol, bahkan akun LinkedIn dengan foto yang diambil minggu lalu di warnet Pangalengan dengan pencahayaan yang disengaja buruk agar wajahnya tidak terlalu jelas. Elang mencukur janggutnya, memotong rambut pendek dan rapi, mengenakan kacamata hitam berframe tebal—perubahan kecil yang cukup membuat ia terlihat berbeda dari foto-foto lama yang mungkin masih tersimpan di database Brian.
Perjalanan dari terminal ke kawasan Sudirman memakan waktu dua jam dengan transjakarta dan MRT—Elang tidak berani naik taksi online, terlalu mudah dilacak. Ia duduk di kereta dengan hoodie ditarik menutupi sebagian wajah, menatap jendela yang memantulkan refleksi dirinya: orang asing dengan mata yang terlalu tajam untuk wajah yang berusaha terlihat biasa.
Kantor Harris Setiawan berada di gedung lama kawasan Sudirman—bukan gedung pencakar langit mewah seperti kantor Hartavira, tapi bangunan sepuluh lantai dengan fasad beton yang mulai mengelupas. Harris memang bukan pemain besar—belum. Tapi ia adalah pemain yang bertahan, yang jatuh dan bangkit, yang tahu cara survive di dunia yang kejam.
Lobby gedung sederhana dengan security yang melirik Elang dengan curiga tapi tidak menghentikan. Lift tua berbunyi berderit naik ke lantai tujuh. Koridor sempit dengan karpet usang. Pintu kayu dengan plat nama: **Setiawan Capital - Venture Investment**.
Elang mengetuk. Suara dari dalam: "Masuk."
Ruangan di balik pintu itu tidak besar—sekitar enam kali enam meter, dengan meja kayu sederhana, rak buku penuh file, jendela yang menghadap gedung-gedung lain. Dan di balik meja, duduk pria yang Elang kenal dari foto tapi belum pernah bertemu langsung dalam tiga tahun terakhir: Harris Setiawan.
Pria tiga puluh lima tahun dengan wajah tajam seperti dipahat dari batu—rahang tegas, mata sipit yang tidak melewatkan detail apapun, rambut hitam disisir ke belakang rapi. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang tanpa dasi, casual tapi profesional. Ada bekas luka tipis di alis kanan—Elang tidak tahu dari mana, tapi luka itu membuat Harris terlihat lebih berbahaya daripada sekadar businessman.
Harris menatap Elang lama—begitu lama sampai tidak nyaman—lalu tersenyum tipis. "Kamu bisa tutup pintu dan lepas kacamata itu. Aku tau kamu Elang."
Elang berhenti di tengah gerakan menutup pintu. "Gimana—"
"Cara kamu jalan. Cara kamu berdiri. Cara kamu lihat ruangan ini waktu masuk—mata langsung scan exit, window, potential threat. Itu bukan cara konsultan biasa jalan. Itu cara orang yang pernah hidup dalam bahaya." Harris berdiri, berjalan ke dispenser air di sudut, menuang dua gelas. "Plus, Stella udah kasih tau aku. Aku cuma mau liat seberapa bagus penyamaranmu. Lumayan. Tapi nggak cukup buat orang yang kenal kamu dulu."
Elang melepas kacamata, menutup pintu, duduk di kursi depan meja dengan tubuh yang masih tegang—reflek penjara yang tidak hilang. "Kalau kamu bisa kenali, berarti Brian juga bisa."
"Beda," Harris memberikan gelas air, duduk kembali di kursinya dengan posisi santai tapi mata tetap waspada. "Aku aktif cari tau tentang kamu. Brian mungkin pikir kamu masih sembunyi di Bandung atau entah dimana, terlalu takut buat muncul. Dia underestimate kamu—itu kelemahan pertamanya."
Elang minum air itu—dingin, segar, membuat tenggorokan yang kering dari perjalanan sedikit lebih baik. "Kamu bilang di telepon kamu mau bantu. Aku perlu tau seberapa serius."
Harris menatapnya dengan mata yang tidak berkedip. "Serius sampai aku rela invest puluhan miliar dan ambil resiko berhadapan dengan Brian Mahendra, orang yang punya koneksi sampai ke pejabat dan polisi. Cukup serius?"
"Kenapa? Kenapa kamu mau ambil resiko sebesar itu buat aku?"
"Pertama," Harris mengangkat satu jari, "karena kamu bantuin aku lima tahun lalu ketika semua orang ninggalin aku. Kamu kasih aku modal, kamu kasih aku kepercayaan, kamu kasih aku kesempatan kedua. Aku bukan orang yang lupa hutang budi."
Jari kedua terangkat. "Kedua, karena aku benci Brian. Bukan benci biasa—benci yang udah mengakar. Dia yang paling keras bilang kamu harus cut ties sama aku waktu aku hampir bangkrut. Dia bilang aku 'dead weight' yang bakal narik kamu turun. Dan waktu kamu nggak dengerin dia, aku tau dia benci sama aku. Orang kayak Brian itu nggak bisa terima kalau ada orang yang dia anggap sampah ternyata bisa bangkit."
Jari ketiga. "Ketiga, dan ini yang paling jujur: bisnis. Kalau aku bantu kamu jatuhkan Brian dan ambil alih Hartavira, aku akan dapet akses ke portfolio investment mereka—startup-startup yang valuable, connection yang luas, market share yang gede. Itu leap yang aku butuhkan buat naik dari venture capital kecil jadi pemain besar."
Elang mengangguk perlahan—menghargai kejujuran brutal itu lebih dari janji-janji manis. "Jadi ini bukan cuma altruisme. Ini investasi."
"Exactly." Harris tersenyum—senyum yang tidak hangat tapi tidak jahat, hanya pragmatis. "Dan investasi terbaik adalah yang mutual beneficial. Kamu dapet keadilan dan perusahaan kamu balik. Aku dapet profit dan upgrade status. Win-win."
Elang mengeluarkan flashdisk dari kantong—salah satu dari tiga backup yang Stella buat, berisi semua bukti yang mereka kumpulkan. "Ini semua yang aku punya. Rekaman, dokumen, transaksi, chat. Cukup buat bunuh Brian secara legal berkali-kali."
Harris menerima flashdisk itu, memasukkannya ke laptop. Layar menyala menampilkan folder-folder rapi. Ia membuka beberapa file—video, audio, PDF—mata bergerak cepat membaca dan menyerap informasi. Wajahnya tidak berubah ekspresi, tapi Elang bisa melihat rahang yang mengeras sedikit, tanda ia sedang menahan reaksi.
"Holy shit," akhirnya Harris bergumam setelah lima menit membaca. "Ini... ini lebih besar dari yang aku kira. Ini bukan cuma menjebak kamu. Ini money laundering, fraud investor, conspiracy dengan pejabat. Kalau ini keluar semua, Brian nggak cuma kehilangan perusahaan—dia masuk penjara minimal sepuluh tahun."
"Itu tujuannya," Elang berkata datar. "Aku nggak cuma mau ambil perusahaan. Aku mau dia merasakan apa yang aku rasakan: kehilangan semua, dikurung, dihakimi, dilupakan."
Harris menutup laptop, menatap Elang dengan ekspresi yang susah dibaca—ada kagum, ada khawatir, ada sesuatu yang lebih kompleks. "Oke. Ini rencana yang aku susun berdasarkan bukti ini dan situasi current Hartavira."
Ia membuka drawer, mengeluarkan dokumen tebal. "Hartavira sekarang lagi panic mode setelah berita kemarin. Saham anjlok 35% sekarang—lebih parah dari prediksi. Investor mulai nervous. Aku udah kontak beberapa angel investor yang aku kenal—mereka interested untuk keluar tapi takut rugi terlalu besar kalau jual sekarang."
"