Zoe Aldenia, seorang siswi berprestasi dan populer dengan sikap dingin dan acuh tak acuh, tiba-tiba terjebak ke dalam sebuah novel romantis yang sedang populer. Dalam novel ini, Zoe menemukan dirinya menjadi peran antagonis dengan nama yang sama, yaitu Zoe Aldenia, seorang putri palsu yang tidak tahu diri dan sering mencelakai protagonis wanita yang lemah lembut, sang putri asli.
Dalam cerita asli, Zoe adalah seorang gadis yang dibesarkan dalam kemewahan oleh keluarga kaya, tetapi ternyata bukan anak kandung mereka. Zoe asli sering melakukan tindakan jahat dan kejam terhadap putri asli, membuat hidupnya menjadi menderita.
Karena tak ingin berakhir tragis, Zoe memilih mengubah alur ceritanya dan mencari orang tua kandungnya.
Yuk simak kisahnya!
Yang gak suka silahkan skip! Dosa ditanggung masing-masing, yang kasih rate buruk 👊👊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Tamu
Sore hari mulai merambat senja saat Zoe dan Ryder turun dari motor di depan kontrakan sederhana Zoe. Angin membawa aroma bunga kering dan suara anak-anak kecil bermain di ujung jalan. Zoe baru saja ingin membuka pagar saat sebuah mobil hitam mengilat terparkir tak jauh dari depan rumahnya.
Zoe mematung.
“Eh?” gumamnya pelan.
Pintu mobil terbuka, dan dari dalam keluar seorang wanita elegan dengan gaun selutut warna biru langit, wajahnya ramah dan senyum hangat terukir jelas Tante Nayla.
Di sebelahnya, seorang pria tegap berambut perak, Om Zero, berdiri santai dengan tangan di saku celana. Tapi bukan hanya mereka. Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun, berwajah tampan, tinggi, dengan mata tajam dan senyum ramah ikut turun dari mobil, berdiri di dekat Om Zero.
Zoe terdiam, bingung.
“Zoe, sayang!” seru Tante Nayla dengan mata berkaca-kaca. Ia segera berlari kecil dan memeluk Zoe erat. “Tante kangen banget, Nak. Ya ampun kamu kurusan. Makan nggak sih di sini? Atau kamu cuma angin ya?”
Zoe tersenyum kaku, membalas pelukan itu canggung.
“Eh … Tante Nayla?” gumamnya. “Kok bisa ke sini?”
Om Zero menghampiri dengan anggukan kecil. “Kami lagi ada urusan di kota. Sekalian mampir. Udah lama nggak lihat kamu.”
Zoe menatap pria muda yang berdiri agak di belakang Om Zero. Tatapannya bertanya-tanya.
Melihat itu, Tante Nayla terkekeh pelan.
“Ah! Tante lupa,” katanya cepat. “Kamu masih amnesia, ya?”
Ia menepuk dahinya sendiri lalu menarik pemuda itu mendekat.
“Kenalin, dia sepupu eh ... dia anak Tante. Namanya Keenan,” katanya, sedikit menahan lidahnya saat hampir mengatakan sesuatu sebelum mengoreksi cepat.
Zoe menatap pemuda bernama Keenan itu. Ia mengangguk pelan. “Halo .…”
Keenan mengulurkan tangan sambil tersenyum lembut. “Hai, Zoe.”
Sementara itu, Ryder berdiri di sebelah Zoe dengan rahang yang sedikit mengeras. Tatapannya tak lepas dari Keenan yang terus menatap Zoe seolah mengenal gadis itu lebih dari sekadar pertemuan pertama.
Ryder memiringkan kepala, sinyal waspadanya langsung menyala.
Tante Nayla tiba-tiba memekik kecil saat menoleh ke arah Ryder. “Loh! Kamu Ryder, kan? Anaknya Jeng Isabella?”
Ryder tersenyum sopan. “Iya, Tante. Saya Ryder.”
“Ya ampun! Udah gede banget! Dulu masih kecil lari-larian di taman rumah!” Tante Nayla tertawa geli.
Zoe buru-buru membuka pagar. “Masuk, yuk. Maaf ya, kontrakannya kecil.”
“Enggak apa-apa, justru kami yang ganggu,” sahut Om Zero tenang.
Begitu masuk ke dalam kontrakan yang sederhana namun bersih dan tertata rapi, Tante Nayla membuka tas besar yang ia bawa dan mengeluarkan beberapa kotak dengan pita emas.
“Nih, Tante bawain cemilan buat kamu. Ada brownies coklat Belgia, kue kering almond, sama keripik truffle dari luar negeri.”
Zoe melongo sesaat. “Tante, ini kebanyakan.”
Tante Nayla mengibaskan tangan. “Ah, udahlah. Tante tahu kamu suka manis. Tante juga bawain salep muka dan parfum, tuh, yang kamu suka waktu kecil. Kali aja memori kamu balik.”
Zoe hanya tersenyum samar, sementara Keenan duduk di ujung sofa dengan pandangan yang tak pernah benar-benar meninggalkan wajah Zoe.
Ryder, yang berdiri bersandar di tembok, melipat tangan di dada. Ia memperhatikan semua itu dengan sorot mata tenang, tapi di dalam hatinya jelas ia tidak senang.
***
Malam harinya.
Di ruang makan kontrakan sederhana Zoe, suasana terasa hangat meski perabotannya tak seberapa. Lampu gantung kecil di atas meja menyorot makanan sederhana yang disajikan Zoe, ayam goreng, sayur bening, dan sambal terasi. Tak mewah, tapi aroma rumahan itu justru membuat semuanya makan dengan lahap.
Tante Nayla menaruh sendoknya setelah suapan terakhir. Ia mendesah panjang, matanya menatap Zoe dengan campuran geram dan iba.
“Astaga, Tante benar-benar marah saat tahu kalau Kak Tina dan suaminya mutusin pendidikan kamu begitu aja, Zoe. Padahal kamu itu bagian dari mereka juga, Zoe. Jika emang ingin memutuskan hubungan, tapi apa harus dengan pendidikan juga?” Nada suaranya naik sedikit, menahan amarah.
Zoe hanya tersenyum canggung. “Tante, aku nggak apa-apa kok. Sekarang aku udah dapat beasiswa penuh dari sekolah.”
Tante Nayla mengerjapkan mata. “Beasiswa? Yang benar?”
“Benar, Tante,” timpal Ryder sambil mengangguk. “Zoe itu cerdas banget, Tante. Dia mungkin kelihatan diem, tapi otaknya jalan terus. Bakatnya juga enggak main-main.”
Tante Nayla melirik Ryder sambil tersenyum bangga. “Wah, kamu kayaknya perhatian banget ya sama Zoe.”
Ryder cuma tersenyum kecil, tapi tidak menanggapi.
Sementara itu, Keenan yang sedari tadi duduk di samping Om Zero, tampak santai tapi tidak pernah melewatkan satu detik pun tanpa melirik ke arah Zoe. Tatapannya tenang, namun jelas ada ketertarikan di sana.
Ryder melihat itu dan ekspresinya langsung mengeras. Ia melirik Keenan dari atas ke bawah, menganggap pria itu sebagai kompetitor.
Zoe berdiri pelan sambil meraih piring-piring kosong di meja.
“Biar aku bawa ke dapur, ya,” ucapnya.
Tapi sebelum tangannya sempat mengangkat lebih dari dua piring, Ryder langsung berdiri dan meraih sisanya.
“Gue bantuin,” katanya cepat.
Zoe menoleh, hendak menolak, tapi sebelum sempat bicara, Keenan ikut berdiri dan ikut mengambil piring lainnya.
“Biar gue juga bantu. Masa kamu yang masak, kamu juga yang bersihin,” ucap Keenan dengan nada santai.
Zoe mematung sejenak. “Uhh … ya udah deh. Makasih,” gumamnya, lalu menyerahkan piring-piring itu pada mereka berdua.
Kedua pemuda tampan itu berjalan ke dapur dengan langkah tenang, tapi di antara mereka terasa hawa kompetisi yang dingin. Tak satu pun bicara, hanya lirikan tajam sesekali mereka lemparkan satu sama lain.
Di ruang makan, Tante Nayla terkekeh geli.
“Aduh, lucu ya … kayak lagi nonton sinetron cinta segitiga,” gumamnya sambil menutupi mulut dengan tangan.
Om Zero yang dari tadi tenang dan tidak banyak bicara, hanya mengangkat sudut bibir. Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat.
“Dua-duanya tampan, tapi satu terlalu percaya diri, yang satu terlalu diam,” komentarnya datar, tapi jelas ditujukan pada Keenan dan Ryder.
Tante Nayla tertawa pelan, lalu mengisi gelasnya lagi.
“Yang penting, Zoe bahagia. Udah lama aku nggak lihat matanya setenang itu,” bisiknya lirih.
*
Di dapur sempit itu, suara air keran mengalir pelan. Ryder sudah lebih dulu menggulung lengan bajunya, siap mencuci piring-piring kotor. Tapi sebelum sempat mengambil spons, Keenan langsung menyambar piring dari tangannya.
“Gue aja yang cuci,” kata Keenan santai, meski matanya menatap Ryder dengan tajam.
Ryder mengernyit. “Gue duluan yang pegang.”
“Ya terus kenapa? Nggak ada aturan siapa cepat dia yang cuci, kan?”
“Kamu tamu. Mending duduk aja.”
Keenan mencibir. “Lo juga tamu. Sama aja.”
Ryder menghela napas, menahan emosi. Tapi ketika Keenan hendak mencuci piring pertama, Ryder menyambar piring lainnya, sengaja menumpuknya di tangan Keenan.
“Hati-hati, tuh,” ucap Ryder dingin.
Keenan sempat kehilangan keseimbangan. Piring yang ditumpuk di tangannya tergelincir. Dan ..
Prang!
Satu piring pecah di lantai, pecahannya berserakan.
Suasana langsung hening.
Zoe datang tergesa-gesa dari ruang makan bersama Tante Nayla dan Om Zero. Zoe membelalakkan mata melihat pecahan kaca, sementara Tante Nayla langsung berteriak.
“Ya ampun! Kalian ini ngapain, hah?” serunya sembari menepuk dahinya.
Ryder dan Keenan langsung saling tunjuk.
“Dia yang mulai,” kata Ryder.
“Dia yang nyenggol duluan,” kata Keenan.
Tante Nayla menatap mereka bergantian, lalu menggeleng kesal.
“Kalian ini kayak anak kecil! Rebutan cuci piring sampai piring pecah? Mau Mama kasih spons satu-satu dan suruh gantian? Atau sekalian Mama suruh masak bareng biar makin akrab, hah?”
Zoe hanya menghela napas panjang, lalu menunduk sambil memunguti pecahan piring dengan hati-hati.
“Udah, biar aku yang bersihin,” gumamnya pelan.
“Zoe, jangan! Nanti kamu kena pecahan kaca,” seru Om Zero akhirnya angkat bicara.
Ryder langsung jongkok, membantu Zoe mengangkat serpihan piring. “Sorry, Zo. Gue yang tanggung jawab.”
Keenan ikut jongkok, mengambil pecahan lainnya. “Nggak, ini salah gue juga.”
Zoe hanya menatap mereka berdua dengan lelah. “Kalian ini aneh. Gantian aja, toh cuma cuci piring.”
Tante Nayla hanya bisa memegangi pinggangnya dan menggeleng sambil mendengus.
“Dua-duanya jelas butuh pelajaran etika dapur,” gumamnya. Lalu menoleh ke arah Om Zero. “Mau enggak kita pulang sekarang aja, Mas? Daripada ngelihatin dua anak cowok saling adu piring.”
Om Zero tersenyum tipis. “Belum tentu piring berikutnya masih selamat kalau kita lama-lama di sini.”
ayo Thor lebih semangat lagi up-nya 💪 pokoknya aq padamu Thor 🤭