Diambil dari cerita weton Jawa yang populer, dimana seseorang yang lahir di hari tersebut memiliki keistimewaan di luar nalar.
Penampilannya, sikapnya, serta daya tarik yang tidak dimiliki oleh weton-weton yang lain. Keberuntungan tidak selalu menghampirinya. Ujiannya tak main-main, orang tua dan cinta adalah sosok yang menguras hati dan airmata nya.
Tak cukup sampai di situ, banyaknya tekanan membuat hidupnya terasa mengambang, raganya di dunia, namun sebagian jiwanya seperti mengambang, berkelana entahlah kemana.
Makhluk ghaib tak jauh-jauh darinya, ada yang menyukai, ada juga yang membenci.
Semua itu tidak akan berhenti kecuali Wage sudah dewasa lahir batin, matang dalam segala hal. Dia akan menjadi sosok yang kuat, bahkan makhluk halus pun enggan melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Firasat Yang berbeda
Terik matahari masih menyengat meskipun sudah condong ke arah barat, cahayanya memberikan kedamaian tersendiri ketika angin ikut bertiup pelan menerpa daun-daun ilalang. Mereka bergerak perlahan seperti sebuah tarian kebahagiaan, rasanya hari begitu lambat ketika menunggu hari pernikahan yang sebenarnya tinggal di depan mata.
"Kamu melamun Le?" suara lembut sang ibu membuat sosok tampan berdiri di depan jendela itu menoleh.
"Ibuk, Arif hanya menikmati indahnya Aurora di sore hari. Rasanya sangat bahagia menjadi Arif yang terlahir dari rahim ibuk. Semoga pernikahan ku dengan Wulan membawa kebahagiaan untuk bapak dan ibuk." kata Arif, meraih tangan sang ibu.
"Tentu saja, ibu yakin Wulan tidak akan mengecewakan kamu, dan juga ibu." jawab sang ibu semakin membuat Arif berbunga-bunga.
"Bu, Arif ingin menemui Wulan sebentar." kata Arif.
"Eh, udah sore ini?" cegah sang ibu.
"Sebentar saja Buk, kangen." kata Arif, keduanya pun terkekeh.
Sedangkan di seberang sana, Wulan pun sedang mempersiapkan diri sebaik mungkin, termasuk mencoba kebaya warna putih yang di kirim keluarga Arif.
"Cantiknya, pas sama Wulan." mbok Sum si tetangga itu tak henti-henti memuji, ketika kebaya putih yang mahal melekat di tubuh Wulan yang indah. Jari-jari tuanya mengelus setiap inci kebaya tersebut hingga sampai di sebuah kancing tiba-tiba terlepas dan jatuh.
"Kok bisa lepas?" tanya Mbok Sum, perempuan tua itu mengamati kancing kebaya yang terjatuh, memungutnya.
"Ndak apa-apa, biar Wulan menjahitnya Mbok." Wulan pun mengambil Jarum dan menjahitnya sendiri.
"Ahh!" Belum lagi kancing itu menempel, jari Wulan sudah tertusuk dan berdarah.
"Kenapa Nduk?" kali ini Ratih pun ikut masuk ke dalam kamar mendengar suara anaknya.
"Ketusuk Buk." jawab Wulan.
Ratih segera mengelap telunjuk Wulan dengan kapas. "Hati-hati." ucap Ratih.
Entah mengapa mendengar ucapan sang ibu membuatnya tiba-tiba khawatir.
"Arif." dia bergumam tanpa sebab, tiba-tiba teringat Arif.
"Buk, Wulan keluar sebentar." Wulan langsung beranjak dari duduknya.
"Kemana?" teriak sang ibu.
Tanpa menjawab lagi, Wulan berjalan setengah berlari menuju rumah Arif.
Matahari memang masih bersinar terang, tapi dalam penglihatan Wulan tampak aneh dan sunyi mencekam hingga ke relung hati. Ia terus mengamati jalanan desa yang tidak terlalu ramai menuju rumah Arif itu, semuanya terasa asing, bahkan rumput yang bergoyang di terpa angin seperti sedang ketakutan, menjerit karena ada sesuatu yang menyakitinya.
"Ada apa ini?" gumam Wulan, semakin berjalan semakin heran, ia mengamati keanehan yang dia rasakan, bahkan kakinya terseok-seok tidak fokus pada jalanan.
"Ya Allah, jagalah Mas Arif untuk ku." ucapnya.
Dia semakin bingung melihat gumpalan awan diatas sana seperti mengejar dirinya.
"Wulan?"
Wulan menggeleng, ia merasa ada yang memanggil dirinya, tapi siapa, sungguh menyeramkan sekali sore ini.
"Wulan!"
Brugh!
"Ahh.."
"Astaghfirullah, ini sampai nabrak apa di sengaja?"
"Hah?" Wulan tercengang mendengar suara familiar itu, ia pun menatap wajah seseorang yang berdiri memandangi dirinya yang terduduk, jatuh.
Arif pun mengulurkan tangannya. "Bangun."
"Mas Arif?"
"Iya, siapa lagi? Kok loadingnya lama?" kata Arif.
Wajah ayu Wulan berubah kesal, bibirnya yang merah merekah kini mengerucut. "Mas Arif ngapain keluar?"
"Lha, Dik Wulan sendiri ngapain keluar? Celingukan lagi kayak di kejar hantu?" gurau Arif, dia pun terkekeh menertawai kekasihnya itu.
"Ish! Ayo pulang." Tanpa basa Wulan menyeret tangan Arif, mengajaknya segera pulang begitu saja.
"Lho, ini serius mau ngajak pulang? Pulang ke rumah kita apa ke rumah mertua?" gurau Arif, dia tertawa kegirangan tangannya di tarik Wulan.
"Bisa diem gak Mas. Nanti bercandanya!" marah Wulan.
Sedangkan Arif semakin senang melihat calon istrinya tiba-tiba marah, cerewet dan menyeret dirinya seperti anak kecil, baginya itu sangat mesra. Maklum saja tidak pernah menyentuh perempuan, kalaupun ada itu cuma mimpi, ataupun khayalan.
"Cepat masuk Mas!" titahnya, membuat Arif semakin keheranan.
"Ini ceritanya gimana?" tanya Arif, mereka segera masuk ke rumah Arif, bahkan Wulan menutup pintunya.
Wajah Arif tampak senang, tapi entah mengapa hati Wulan jadi sedih bukan kepalang.
"Mas, bisa Ndak jangan kemana-mana?" ucap Wulan.
Kini Arif mengajaknya duduk di kursi berdua. "Dik Wulan kenapa?" tanya Arif, melihat wajah ayu calon istri tampak galau.
"Aku khawatir Mas, entah mengapa cuaca hari ini terlihat berbeda dan aneh. Wulan takut...."
"Takut apa? Takut kita gak jadi nikah?" tanya Arif mengangkat kedua alisnya.
Wulan terdiam, dia bingung menjelaskannya bagaimana, sepertinya Arif menganggap dia bercanda.
"Kita akan menikah Dik. Hanya Allah yang mampu membatalkan pernikahan kita. Yang lainya tidak perlu di khawatirkan." kata Arif.
"Tapi Mas?"
"Seumur hidupku hanya akan menikahi kamu. Kalaupun kata Allah tidak, maka artinya hidupku hanya sampai di batas itu, yaitu mencintaimu saja."
Mata indah Wulan jadi terasa pedas, meskipun itu hanyalah rayuan tapi rasanya sungguh menyakitkan, sekaligus meyakinkan.
"Jangan aneh-aneh Mas." gerutu Wulan sambil menahan tangisnya.
"Tidak aneh Dik, aku seneng kamu juga teramat mencintaiku." Arif terkekeh.
"Dasar!" Wulan memukul tangan Arif.
"Ehem!"
"Eh, ibuk." Arif segera membenahi duduknya, pun dengan Wulan, sedikit menjaga jarak.
"Perasaan tadi...?" Bu Ratna menatap wajah anak dan calon mantunya itu bergantian.
Memang, kalau sudah jatuh cinta maka kelakuannya tidak dapat di tebak. Tadi katanya Arif yang pingin ketemu, eh tiba-tiba Wulan yang datang duluan. "Ya sudah, dilanjutkan saja mengobrolnya."
"Endak Buk. Sebenarnya Wulan cuma sebentar." kata Wulan, segera berdiri.
"Eh, lama juga tidak apa-apa." jawab Ratna, tersenyum ramah kepada Wulan.
"Enggak kok. Tadi sebenarnya Ndak sengaja ketemu mas Arif di jalan. Lagipula ini sudah sore, sebaiknya Wulan segera pulang." kata Wulan, meraih tangan Bu Ratna, segera berpamitan.
"Ya sudah, Arif antar kamu ya?"
"Enggak Buk, jangan!"
Bu Ratna dan Arif cukup terkejut mendengar jawaban Wulan, sehingga keduanya saling berpandangan.
"Mas Arif katanya, tidak enak badan." kata Wulan lagi, tentu membuat alis Arif semakin berkerut heran.
"Ya sudah kalau begitu, bareng ibu saja. Ibu sebenarnya mau ke warung, mau ambil pesanan." kata Bu Ratih.
Jadilah calon menantu dan mertua itu jalan berdua di sore hari itu. Sementara Arif berdiri gelisah memandangi calon istrinya yang tampak aneh sore ini. Jika tadi arif merasa dunia ini terlihat indah, terbalik dengan Wulan, malah melihat isyarat alam ini sungguh menyeramkan.
"Nak, ibu perhatikan kamu kok sepertinya sedang khawatir? Kenapa?" tanya Bu Ratna, beberapa kali melihat gelagat Wulan yang menoleh Arif berulang kali, tapi tidak mau diantar.
"Buk, boleh Wulan bicara sesuatu?" kata Wulan pada akhirnya, sekali lagi ia menoleh Arif yang masih terlihat di jendela kamarnya.
"Bicara saja, kok seperti sama orang asing, pakai izin segala?" Bu Ratna terkekeh.
"Buk, sebenarnya Wulan sedang merasa gelisah, khawatir dan juga takut. Tiba-tiba saja sore ini perasaan Wulan tidak enak, dan langsung kepikiran mas Arif. Wulan...."
"Khawatir gimana maksudnya Nduk?" tanya Bu Ratna, dia menggenggam tangan Wulan, berhenti sejenak di tengah jalan.
"Bu, Wulan merasa ada sesuatu yang mengincar mas Arif."
Bu Ratna terdiam mendengar ucapan Wulan, dia jadi ikut merasakan khawatir, mengingat hal mistis di kampung itu adalah hal lumrah.
"Tolong Wulan Buk, jangan biarkan mas Arif keluar rumah." kata Wulan lagi.
"Tapi Nduk, kalian mau menikah?" Bu Ratna, mendesah berat.
"Biar Wulan yang datang ke rumah ibuk. Asalkan mas Arif tidak keluar rumah sampai para ustadz dari kota itu datang. Pulanglah Buk, Wulan bisa pulang sendiri."
"Ya Allah!" Bu Ratna meringis mendengarnya, dia percaya ucapan Wulan, dan dia segera pulang tanpa mengambil pesanan seperti niat awalnya. "Wulan, kamu_?"
Ratna tercengang ketika menoleh calon menantunya itu ternyata sudah jauh, jalannya juga terlalu cepat.
"Arif, semoga Allah melindungimu nak." Dia ingin segera sampai ke rumah, tiba-tiba dia merasa jalanan sangat menyeramkan sama seperti yang dirasakan Wulan.
harus mengalah
g beda jauh watak nya jelek
ibu dan anak perangai nya buruk
kog Sarinah ngaku2
calon istrii arif
semoga bisa memberi pencerahan buat para readers.
pepeleng bagi orang jawa,jangan sembarangan menyebutkan weton atau hari lahir versi jawa kepada siapapun,jika tidak ingin terjadi hal hal diluar nalar dan perkiraan.
tetap eling lan waspada.
berserah pada Allah ta'alla.
tetap semangat dengan karya nya