Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.
Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.
Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18: OPERASI DI BALIK BAYANG-BAYANG
Surabaya di pagi hari adalah sebuah orkestra kebisingan yang tak pernah usai. Suara klakson kendaraan di sepanjang Jalan Dharmahusada bersahut-sahutan dengan deru mesin bus kota yang mengeluarkan asap hitam pekat. Namun, di dalam sebuah kamar hotel kelas melati yang tersembunyi di gang sempit tak jauh dari RS Medika Utama, suasananya justru mencekam dalam keheningan yang dingin.
Firman duduk di tepi ranjang, menatap sebuah papan tulis kecil yang ia beli tadi malam. Di sana, tertempel foto Aris, struktur organisasi rumah sakit, dan beberapa coretan garis merah yang menghubungkan nama-nama besar di dunia medis Surabaya. Bahu kirinya masih terasa ngilu, pengingat permanen akan kecelakaan di Nagreg yang hampir merenggut nyawanya, namun rasa sakit itu justru ia jadikan bahan bakar untuk tetap terjaga.
"Man, lo beneran mau jadi 'pasien' di sana?" Rendy masuk membawa sebungkus nasi bungkus dan dua botol air mineral. Wajahnya tampak cemas. "Ini Surabaya, Man. Bukan Samarinda. Koneksi Aris di sini sudah kayak akar pohon beringin. Sekali lo ketahuan menyusup, karier lo tamat, dan mungkin nyawa lo juga."
Firman menoleh perlahan, sorot matanya yang tajam dan dingin membuat Rendy terdiam. "Karier saya sudah tamat saat saya memilih untuk tidak mengirimkan draf investigasi itu ke kantor redaksi hanya untuk mengejar Yasmin ke sini, Ren. Sekarang, satu-satunya hal yang saya punya adalah fakta. Dan fakta itu bilang kalau Yasmin sedang berjalan menuju lubang buaya."
Firman meraih sebuah kacamata berbingkai hitam tebal dan sebuah topi flat cap. Ia mengganti kemeja jurnalisnya dengan kaos polo berkerah dan jaket kasual. Ia tidak akan datang sebagai Firmansah sang jurnalis, melainkan sebagai seorang pria biasa yang membutuhkan terapi pasca-trauma.
"Gue bakal pantau dari kafe seberang, Man. Kalau ada apa-apa, lo pencet tombol darurat di jam tangan lo," Rendy menyerahkan sebuah smartwatch yang sudah dimodifikasi.
Firman mengangguk. Ia meraih stetoskop Yasmin yang selalu ia simpan di dalam tas kecilnya, mencium aromanya sejenak aroma antiseptik bercampur vanila yang menenangkan sebelum memasukkannya kembali. "Level 3 masih berlaku, Ren. Dan di level ini, perlindungan adalah pokoknya."
RS Medika Utama, Pukul 10.30 WIB.
Lobi rumah sakit itu tampak sangat sibuk. Pasien-pasien kelas atas berlalu-lalang dengan kursi roda yang didorong perawat berseragam rapi. Firman berjalan masuk dengan langkah yang sedikit diseret, menunjukkan kesan bahwa ia masih menderita cedera fisik. Ia mendaftar di bagian rehabilitasi medik, namun matanya terus menyisir area IGD yang terletak di sayap kanan gedung.
Ia melihat Yasmin. Perempuan itu tampak sedang berdebat kecil dengan Aris di depan ruang perawat.
"Aris, saya sudah cek prosedur anastesinya. Ada yang janggal dengan laporan pasien di kamar 402 semalam. Dosis yang tertera di sistem tidak sama dengan yang saya instruksikan," suara Yasmin terdengar tegas, namun ada nada kekhawatiran di sana.
Aris tersenyum, sebuah senyuman yang bagi orang lain mungkin terlihat menenangkan, tapi bagi Firman, itu adalah senyum seorang predator. Aris meletakkan tangannya di pundak Yasmin, mengusapnya perlahan.
"Tenanglah, Yas. Mungkin itu cuma kesalahan input data oleh perawat magang. Kamu terlalu tegang karena ini minggu pertama kamu. Kenapa kita nggak makan siang di luar saja nanti? Aku tahu tempat yang enak untuk menenangkan pikiranmu," Aris merendahkan suaranya, sangat intim.
Yasmin tampak ragu, ia melepaskan tangan Aris secara halus. "Saya harus cek ulang datanya, Aris. Saya nggak mau kejadian di Surabaya dulu terulang lagi."
"Percayalah padaku, Yas. Selama ada aku di sini, nggak akan ada yang menyakitimu lagi. Aku sudah bilang pada Ayah untuk mengawasi departemenmu secara khusus," Aris meyakinkan dengan sorot mata yang seolah-olah tulus.
Dari jarak sepuluh meter, di balik sebuah pilar besar, Firman mengepalkan tangannya. Ia melihat bagaimana Aris menggunakan trauma Yasmin sebagai alat untuk memanipulasi keputusannya. Aris tidak sedang melindungi Yasmin; ia sedang meninabobokan Yasmin agar perempuan itu tidak sadar bahwa ada jerat yang sedang dipasang di bawah kakinya.
Firman memutuskan untuk bergerak. Saat Aris berjalan pergi menuju ruang direksi, Firman perlahan mengikuti. Ia menjaga jarak, menggunakan kerumunan orang sebagai tameng.
Aris masuk ke dalam sebuah lift khusus VIP. Firman tidak bisa ikut masuk, namun ia melihat angka di indikator lift berhenti di lantai 9 lantai di mana kantor direksi dan arsip rahasia berada.
Firman beralih menuju tangga darurat. Dengan napas yang memburu dan bahu yang sakit, ia menaiki anak tangga satu demi satu. Sesampainya di lantai 9, ia mengintip melalui celah pintu.
Ia melihat Aris sedang berbicara dengan seorang pria tua yang sangat berwibawa ayahnya, sang pemilik saham mayoritas.
"Bagaimana dengan dokter itu? Dia mulai curiga soal laporan 402," suara sang ayah terdengar berat.
"Tenang saja, Yah. Yasmin itu mudah dikendalikan. Sedikit sentuhan masa lalu dan janji perlindungan, dia akan menurut. Laporan 402 akan tetap atas namanya jika nanti audit asuransi datang. Kita butuh kambing hitam yang kredibel untuk menutupi kerugian pengadaan obat bius kemarin, dan siapa yang lebih cocok daripada seorang dokter yang punya riwayat malpraktik?" Aris tertawa kecil, suara tawa yang membuat darah Firman mendidih.
Firman segera mengeluarkan ponselnya, mencoba merekam pembicaraan itu. Namun, malang baginya, seorang petugas keamanan muncul dari ujung koridor.
"Hei! Sedang apa kamu di sini?! Ini lantai terbatas!" teriak petugas itu.
Firman tidak punya pilihan. Ia segera berlari kembali ke tangga darurat, menuruni anak tangga dengan kecepatan yang membahayakan dirinya sendiri. Ia mendengar langkah kaki berat mengejarnya di belakang.
Sial, kalau saya tertangkap sekarang, semuanya gagal, batin Firman.
Ia sampai di lantai 5, lantai tempat poli kebidanan dan anak berada. Ia segera masuk ke dalam salah satu ruang tunggu yang ramai dengan ibu-ibu dan anak kecil. Ia duduk di antara mereka, menundukkan kepalanya dalam-dalam, berpura-pura sedang membaca brosur kesehatan.
Petugas keamanan itu berlari melewati pintu tanpa melihatnya. Firman mengembuskan napas lega, namun jantungnya masih berpacu liar.
Tiba-tiba, ia merasakan sebuah bayangan berdiri di depannya. Ia mendongak perlahan.
Yasmin.
Perempuan itu berdiri dengan tangan bersedekap, menatap Firman dengan ekspresi yang sulit diartikan campuran antara marah, bingung, dan... takut.
"Sedang apa kamu di sini, Firman? Dan kenapa kamu lari dari petugas keamanan?" tanya Yasmin dengan nada dingin yang menusuk.
Firman berdiri, mencoba merapikan pakaiannya. "Saya sedang melakukan terapi untuk bahu saya, Yas. Dan saya rasa, saya punya hak untuk berada di rumah sakit umum ini."
"Ini lantai 5, Firman. Poli anak. Bahu kamu nggak ada urusannya dengan poli anak," Yasmin melangkah mendekat, suaranya merendah. "Berhenti mengikuti saya. Berhenti mencampuri hidup saya. Aris sudah memberitahu saya kalau kamu sedang mencoba mencari-cari kesalahan rumah sakit ini demi berita investigasi kamu. Apa kamu begitu ambisius sampai mau menghancurkan tempat kerja saya lagi?"
Firman menatap mata Yasmin. Ia melihat ada keraguan di sana, namun tertutup oleh amarah yang diprovokasi oleh Aris. "Yas, dengerin saya satu kali saja. Aris bukan orang yang kamu pikir dia adalah pahlawan. Dia sedang "
"Cukup!" Yasmin memotong dengan suara gemetar. "Kamu selalu bilang soal fakta, Firman. Faktanya adalah Aris yang memberi saya pekerjaan saat semua orang menolak saya. Aris yang ada di sini setiap kali saya merasa sesak. Dan kamu? Kamu cuma datang membawa kecurigaan dan kekacauan. Kalau kamu memang teman saya, kalau 'Teman Level' itu memang ada artinya buat kamu... tolong pergi. Pergi sekarang juga."
Firman terdiam. Ia merasa seolah-olah ada sebuah tembok besar yang baru saja runtuh menimpanya. Ia ingin menunjukkan rekaman suara tadi meskipun hanya sepotong dan belum terlalu jelas tapi ia tahu Yasmin tidak akan percaya dalam kondisinya yang sekarang.
"Baik," ucap Firman lirih. Ia menatap Yasmin untuk waktu yang lama, seolah ingin merekam setiap detil wajah perempuan itu untuk terakhir kalinya. "Saya akan pergi. Tapi stetoskop ini... saya akan tetap menyimpannya. Sampai kamu sendiri yang datang menjemputnya di saat kamu sadar siapa yang benar-benar berdiri di pihakmu."
Firman berbalik dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi. Ia melewati petugas keamanan yang tadi mengejarnya dengan santai, karena ia tahu ia sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dikejar di gedung ini.
Malam Harinya, di Kedai Kopi Rendy.
Firman menatap rekaman suara di ponselnya. Suaranya pecah dan banyak gangguan suara mesin lift, namun kalimat Aris tentang "Kambing Hitam" terdengar cukup jelas jika dibersihkan dengan teknologi audio di kantor redaksinya.
"Jadi, apa rencana lo, Man? Yasmin sudah ngusir lo. Aris menang satu kosong," Rendy menyesap kopinya, menatap Firman dengan iba.
Firman tidak menjawab. Ia membuka laptopnya, jemarinya menari di atas keyboard dengan kecepatan luar biasa. Ia tidak lagi menulis tentang "Pembukaan Rumah Sakit". Judul artikelnya sekarang jauh lebih mematikan.
"DI BALIK JARING-JARING MEDIKA: KONSPIRASI KORPORASI DI MEJA OPERASI."
"Aris tidak menang, Ren. Dia baru saja membuat kesalahan terbesar dalam hidupnya: dia meremehkan seorang jurnalis yang sedang jatuh cinta," ucap Firman. Senyum tipis yang dingin muncul di wajahnya senyum yang membuat orang-orang di Samarinda menjulukinya sebagai "The Smiling Killer" di dunia pers.
"Gue bakal cari tahu soal 'Pasien 402'. Siapa dia, apa diagnosanya, dan kenapa Aris begitu takut soal itu. Kalau data sistem rumah sakit dipalsukan, pasti ada salinan fisik yang disimpan oleh perawat yang jujur," Firman menutup laptopnya.
Namun, di tengah semangatnya, ponsel Firman bergetar. Sebuah pesan singkat dari nomor yang tidak ia kenal.
[Nomor Tidak Dikenal]: Kamu terlalu banyak tahu, Firman. Surabaya itu luas, tapi lubang kubur untuk jurnalis yang ikut campur selalu sempit. Periksa kolong mobil temanmu sekarang.
Firman dan Rendy tersentak. Mereka segera berlari menuju parkiran mobil Rendy di depan kedai. Di bawah mobil, mereka melihat sebuah kotak hitam kecil dengan lampu merah yang berkedip.
"Sial! Bom?!" teriak Rendy panik.
"Nggak, itu alat pelacak dan penyadap suara," Firman berlutut, mencabut alat itu dengan kasar. "Mereka sudah tahu posisi kita, Ren. Kita harus pindah hotel malam ini juga."
Firman menyadari, permainan di Surabaya bukan lagi soal "Level Teman", tapi sudah menjadi level "Hidup atau Mati". Dan di tengah-tengah itu semua, Yasmin masih tertidur dalam pelukan musuh yang paling berbahaya.
Firman dan Rendy memutuskan untuk menyewa sebuah apartemen tua di pinggiran Surabaya untuk bersembunyi. Namun, saat sedang meriset data pasien 402, Firman menemukan bahwa pasien tersebut ternyata adalah kerabat dekat dari salah satu pejabat tinggi di kepolisian Jawa Timur. Dan yang lebih mengejutkan, Aris mengundang Yasmin untuk datang ke acara makan malam keluarga di rumah ayahnya besok malam sebuah acara yang sebenarnya adalah jebakan untuk memaksa Yasmin menandatangani dokumen pengakuan tanggung jawab atas pasien 402 secara halus. Akankah Firman nekat menyusup ke rumah keluarga Aris, ataukah ia akan menggunakan media untuk meledakkan kasus ini sebelum Yasmin terjebak?