"DAVINNNN!" Suara lantang Leora memenuhi seisi kamar.
Ia terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa aneh.
Selimut tebal melilit rapat di tubuhnya, dan ketika ia sadar… sesuatu sudah berubah. Bajunya tak lagi terpasang. Davin menoleh dari kursi dekat jendela,
"Kenapa. Kaget?"
"Semalem, lo apain gue. Hah?!!"
"Nggak, ngapa-ngapain sih. Cuma, 'masuk sedikit'. Gak papa, 'kan?"
"Dasaaar Cowok Gila!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raey Luma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Tak Bersekat
Setelah menyimpan ponselnya, Davin bergegas hendak meninggalkan Leora sendiri di kamar itu. Namun, tepat ketika ia beranjak, tangan lembut menahan pergelangan tangannya.
"Gue kedinginan. Please, jangan pergi dulu," ucap Leora lirih, matanya terpejam.
"Tapi, Leora…"
"Please, gue butuh kehangatan."
Davin menelan ludah. Kehangatan? Kehangatan seperti apa yang dimaksud gadis itu?
“Oke. Tapi, ini lo yang minta, bukan gue, ya.”
Leora tak menjawab. Ia justru menarik Davin dan memeluknya erat. Begitu erat hingga Davin merasa jantungnya hampir copot.
Anak rambut Leora jatuh di kening, kulitnya lembut dan hangat meski tubuhnya masih basah. Napasnya teratur di dada Davin, membuat pria itu kehilangan arah.
“Kontrol, Davin. Lo gak boleh buat kesalahan,” gumamnya pelan sambil memalingkan wajah.
Tapi napas hangat Leora terus menyentuh lehernya, membuat bulu kuduknya merinding lebih dari dikejar setan.
"Leora… sorry, tapi—"
"Enggak, lo gak boleh pergi. Gue butuh lo," ucap Leora lirih, semakin mempererat pelukannya.
Udara di kamar seketika berubah panas, meski hujan masih deras di luar. Melihat Leora yang hanya berbalut handuk membuat pikiran Davin kacau. Ia menelan ludah, menggenggam sprei kuat, mencoba menahan diri.
Sial… Leora terlalu dekat.
Dengan sisa kontrol yang tersisa, Davin akhirnya melepaskan pelukan itu dan berdiri cepat.
“Vin! Lo mau ke mana?”
Tak dijawab. Davin keluar dengan langkah cepat, menutup pintu cukup keras.
Leora hanya bisa menatap kosong ke arah pintu. Tubuhnya menggigil. Ia memang sensitif terhadap dingin, dan sekarang rasa itu menusuk sampai ke tulang.
“Kenapa dia pergi sih…” bisiknya pelan, menarik selimut tebal menutupi tubuh.
Sementara di luar kamar, Davin berdiri bersandar di dinding. Napasnya berat.
“Gue hampir kehilangan akal…” desisnya. “Leora, lo gila…”
Hujan di luar makin deras. Tapi yang terngiang di telinganya hanyalah suara lembut gadis itu: Please, gue butuh lo.
Beberapa menit kemudian, Davin tak tahan. Ia membuka pintu perlahan. Engsel berdecit pelan.
Leora sudah tertidur di bawah selimut, tubuhnya masih tampak menggigil.
Davin mendekat, menarik handuk kering dan menutupinya lebih rapat.
“Dasar cewek aneh…” bisiknya. Tapi senyumnya tipis, entah kenapa.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap wajah Leora yang tenang dalam tidur. Ada sisi lembut yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Tangan Davin hampir saja menyibak rambut di wajahnya, tapi urung.
“Kalau gue terus di sini, lo bakal bikin gue gila, Leora.”
Ia akhirnya bersandar di kursi, tapi tak lama kemudian matanya ikut terpejam.
Suara hujan jadi musik pengantar tidur.
Malam itu, dua hati yang sama-sama tak mengerti perasaannya… tertidur dalam ruangan yang sama, tanpa sekat apa pun.
Keesokan harinya...
Sinar matahari menembus tirai tipis kamar, mengenai wajah Leora yang masih tertidur pulas. Rambutnya berantakan, pipinya menempel di bantal, dan selimut yang semalam menutupi tubuhnya kini separuh terlepas.
Davin membuka mata perlahan. Ia tak ingat kapan tepatnya tertidur, hanya ingat suara hujan dan napas halus Leora semalam yang entah kenapa membuatnya tenang.
Begitu menoleh, pandangannya langsung terpaku.
Leora.
Masih di sana, tidur tanpa beban, padahal semalam hampir membuat jantungnya copot.
“Gila… cewek ini bisa tidur nyenyak,” gumam Davin, memegangi kepala.
Ia bangkit perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara. Tapi baru dua langkah—
“Berisik, Vin…” suara serak Leora terdengar, matanya belum terbuka.
Davin berhenti di tempat, menoleh. “Lo udah bangun?”
“Belum,” jawabnya asal, lalu menarik selimut menutupi wajah.
Davin terkekeh kecil. “Drama banget, sumpah.”
Leora mengintip sedikit dari balik selimut, rambutnya acak-acakan tapi matanya bening. “Ngapain lo masih di sini? Harusnya lo udah pergi latihan basket, kan?”
“Latihan udah. Hari ini turnamen, jam sembilan. Gue cuma nunggu bi Marni siapin sarapan.”
“Dan lo duduk di sini, cuma buat ngeliatin gue tidur?” serang Leora.
“Gue cuma ngecek lo masih hidup apa enggak,” sahut Davin santai, lalu mengambil tas di kursi. “Lo semalam hampir beku kayak es krim, tau.”
“Alasan. Lo cuma gak mau ngaku kalo sebenernya panik.”
Davin menoleh dengan senyum miring. “Lo halu ya?”
“Enggak! Lo sendiri yang bilang ‘Leora, lo gila!’ semalem. Itu bukti lo panik.”
Davin memutar bola matanya. “Gue bilang gitu karena lo peluk gue tanpa izin.”
“VIN!” Leora menjerit pelan, wajahnya merah seketika. Ia langsung menutup kepala dengan bantal. “Gue sumpah bakal lempar sendal kalo lo bahas itu lagi!”
Davin tertawa kecil, lalu melangkah ke depan cermin, merapikan rambutnya. “Santai aja, gue gak bakal bahas. Tapi... kalau lo terus malu gitu, nanti gue pikir lo bener-bener suka gue.”
“Ngimpi!”
“Yaudah, jangan GR berarti,” katanya santai “Bilang aja semalem nyaman kan meluk gue?”
“Davin!”
Tawa kecil keluar dari bibir cowok itu sebelum ia melangkah ke pintu. “Santai, gue cuma bercanda. Hari ini gue berangkat duluan. Kalo hujan turun lagi, jangan lupa kabarin.”
Leora menggigit bibir bawahnya, menahan malu sekaligus kesal. “Pergi gih. Semoga tim lo kalah.”
“Kalimat pembuka di pagi hari dari istri tercinta,” balas Davin dengan senyum nakal.
Leora melempar bantal, tapi pintu sudah tertutup.
Begitu suara langkahnya menghilang, Leora menatap ke arah jendela dan mendesah panjang.
“Davin aneh banget. Mau maunya lo nurutin semua perintah bokap gue, hadeh.”
Setelah Davin pergi, Leora beranjak dari kasurnya. Jam masih menunjukkan pukul enam, terlalu pagi untuknya bersiap.
Namun, dengan tiba tiba, ia teringat akan janji Rey kemarin sore.
"Gawat! Gue lupa"
Ia segera mencari ponselnya, ponsel itu tak ada di sana. Ia keluar dari kamar, dan menemui Davin tengah sarapan.
"Kenapa, lagi? Masih kangen?" seloroh Davin, dengan santai.
"Gue gak ada waktu, Vin. Dimana hape gue?"
Davin meneguk segelas air di depannya, lalu berjalan mendekati perempuan itu.
"Dari banyaknya hal, cuma hape yang lo pikirin?"
"Please. Gue gak lagi becanda. Gue butuh hape gue sekarang juga."
Davin tak menjawab, hanya tersenyum santai di depannya.
"Lo bisu?"
"Kalo lo ngomong terus, gue gak bakal kasih tau hape lo!"
“Lo nyebelin banget sih, Vin!” Leora nyaris meloncat saking kesalnya. Rambutnya masih berantakan, kaus kebesaran yang ia kenakan membuatnya terlihat… terlalu santai untuk marah.
Davin malah nyengir. “Yaudah, bilang dulu ‘please’.”
“Please, pant4t lo!” seru Leora, menatapnya sengit.
Cowok itu terkekeh kecil, menyandarkan tubuh ke meja makan. “Tuh kan, masih galak. Padahal semalem lo yang bilang ‘please jangan pergi’.”
“DAVIN!” jerit Leora, refleks melempar serbet ke wajahnya.
Davin menahan tawa sambil mengangkat tangan. “Oke-oke, bercanda. Nih—”
Ia mengeluarkan ponsel Leora dari saku celananya, tapi alih-alih memberikannya, ia malah mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Ambil sendiri kalo bisa.”
“Vin, sumpah, jangan bikin gue naik pitam pagi-pagi begini.”
“Lo pendek, Le. Lo gak bakal nyampe,” godanya santai.
Leora mendengus, lalu mendekat. “Oke. Lo yang mulai, jangan nyesel.”
Tanpa basa-basi, ia menapak ke kursi dan melompat kecil, mencoba meraih ponselnya. Davin spontan mundur setengah langkah, tapi Leora dengan gesit menarik kerah kausnya. Keseimbangan keduanya hilang seketika—
Bruk!
Davin jatuh terduduk di lantai, dan Leora ikut menimpa dadanya. Napas mereka bertabrakan, jarak wajah cuma sejengkal.
Leora menahan napas. “...Lo gak apa-apa?”
“Lo pikir dada gue terbuat dari baja?” keluh Davin pelan, tapi tatapannya tak lepas dari wajah Leora yang kini memerah.
Beberapa detik hening. Hanya terdengar detak jam dinding dan napas mereka yang belum stabil.
Leora buru-buru bangkit, merebut ponselnya, lalu menatap Davin dengan wajah panas.
“Dasar cowok ngeselin! Gue cuma mau hape, bukan drama telenovela pagi-pagi!”
"Tapi lo akhirnya dapet, kan?”
“Udah sana, pergi! Lo telat bakal telat turnamen basket!”
Davin menatap jam di dinding. “Masih sempet, kok. Tapi kalo lo ngusir gue terus gini, gue bisa batalin tandingnya, nemenin lo aja di rumah.”
“Ngimpi. Gue malah doain tim lo kalah sekalian.”
Cowok itu justru tertawa kecil, lalu memungut jaketnya di kursi. “Kalimat manis di pagi hari. Yaudah kalo gitu, gue pergi dulu, Ny. Davin.”
Leora cuma bisa menatap punggungnya yang menjauh. Bibirnya bergerak pelan, nyaris tak terdengar,
“Jaga diri lo, orang aneh.”
*kenapa di novel2 pernikahan paksa dan sang suami masih punya pacar, maka kalian tegas anggap itu selingkuh, dan pacar suami kalian anggap wanita murahana, dan suami kalian anggap melakukan kesalahan paling fatal karena tidak menghargai pernikahan dan tidak menghargai istrinya, kalian akan buat suami dapat karma, menyesal, dan mengemis maaf, istri kalian buat tegas pergi dan tidak mudah memaafkan, dan satu lagi kalian pasti hadirkan lelaki lain yang jadi pahlawan bagi sang istri
*tapi sangat berbanding terbalik dengan novel2 pernikahan paksa tapi sang istri yang masih punya pacar, kalian bukan anggap itu selingkuh, pacar istri kalian anggap korban yang harus diperlakukan sangat2 lembut, kalian membenarkan kelakuan istri dan anggap itu bukan kesalahan serius, nanti semudah itu dimaafkan dan sang suami kalian buat kayak budak cinta dan kayak boneka yang Terima saja diperlakukan kayak gitu oleh istrinya, dan dia akan nerima begitu saja dan mudah sekali memaafkan, dan kalian tidak akan berani hadirkan wanita lain yang baik dan bak pahlawan bagi suami kalau pun kalian hadirkan tetap saja kalian perlakuan kayak pelakor dan wanita murahan, dan yang paling parah di novel2 kayak gini ada yang malah memutar balik fakta jadi suami yang salah karena tidak sabar dan tidak bisa mengerti perasaan istri yang masih mencintai pria lain
tolong Thor tanggapan dan jawaban?