Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 14 - Kafilah Cinta
~💠💠💠~
Ruangan pendisiplinan di pesantren tidaklah besar, tapi cukup luas untuk menampung beberapa santri yang bermasalah.
Dindingnya dipenuhi rak buku berisi kitab-kitab, dan ada meja panjang di bagian depan tempat para ustadzah dan pembimbing duduk.
Miska dan Zoya kini berdiri di tengah ruangan, sementara Ustadzah Siti, Ustadzah Lina, dan Ustadzah Laila duduk berhadapan dengan mereka.
Miska menyilangkan tangannya di dada, seolah berusaha menahan kekesalannya. Sementara Zoya terlihat lebih tenang, meski senyum sinis masih menghiasi wajahnya.
"Kalian berdua tahu kenapa kalian dipanggil ke sini?," tanya Ustadzah Siti yang terdengar tegas.
"Tahu, Ustadzah," jawab Zoya santai, sementara Miska hanya diam saja.
"Kalau tahu, lalu kenapa masih melakukan hal seperti itu di masjid? Kalian sadar ini tempat ibadah? Kalian sadar kalau perilaku kalian tidak mencerminkan akhlak santri?," lanjut Ustadzah Lina.
"Astaghfirullah, apa jadinya kalau santri lain meniru kalian? Kalian berdua bertengkar, hampir baku hantam, dan itu terjadi di dalam rumah Allah!," tambah ustadzah Laila dengan nada kecewa.
Zoya langsung menunduk, lalu dengan suara lembut yang dibuat-buat, ia berkata, "Ustadzah, saya cuma bercanda. Saya sama sekali nggak ada niatan untuk menghina Miska. Tapi dia yang tiba-tiba tersinggung dan marah-marah..."
Mendengar itu, Miska langsung menoleh tajam ke arah Zoya. "Oh, jadi mau main bersih, ya?," batin Miska.
"Jadi maksudmu, Miska yang salah dalam hal ini?," tanya Ustadzah Siti dengan lebih serius.
Zoya menghela napas panjang, seolah sedang berusaha sabar. "Saya nggak bilang begitu, Ustadzah. Tapi saya benar-benar nggak bermaksud buruk. Saya cuma heran karena baru kali ini melihat Miska ada di masjid, jadi saya bilang begitu. Ternyata dia tersinggung dan langsung marah-marah."
Miska merasa kesal dan mengepalkan tangannya. Gadis itu benar-benar ingin membalas perkataan Zoya, ingin membuktikan kalau gadis itu memang sengaja menyindirnya.
Namun, tiba-tiba saja, sebuah ide muncul di kepalanya.
Mungkin aku nggak perlu membela diri... Pikirnya. Hingga Miska pun hanya berdiam diri.
"Mungkin kalau gue terus berulah dan dicap sebagai santri bermasalah, mereka akan semakin yakin kalau gue nggak cocok di sini... Dan akhirnya, mereka akan mengeluarkan gue dari pesantren ini!," ujar Miska dalam hati.
Pikiran itu terus berputar di kepalanya, dan perlahan, amarah yang tadinya membuncah kini mulai mereda.
"Kenapa diam, Miska?," tanya Ustadzah Lina.
Miska hanya mengangkat bahu lalu menjawab, "Nggak ada gunanya kan membela diri, Ustadzah. Kalau mereka percaya sama Zoya, ya udah."
"Jadi maksudmu, kamu merasa tidak bersalah?," tanya ustadzah Siti seraya menatapnya tajam.
"Hufth! Aku nggak bilang aku nggak salah. Tapi kalau di jelaskan pun, pasti nggak ada yang percaya, kan?," balas Miska.
Adapun Zoya, ia tersenyum puas melihat respon Miska dan mengira jika Miska sudah menyerah.
Sementara itu, Ustadzah Laila tampak berpikir. Ia mengamati ekspresi Miska, seakan menyadari ada sesuatu yang tidak beres dari sikap gadis itu.
"Baik," kata Ustadzah Siti akhirnya. "Kami akan memberikan kalian peringatan keras. Ini pertama dan terakhir kalinya kalian berbuat onar seperti ini. Jika terjadi lagi, kalian akan mendapat hukuman yang lebih berat."
"Baik, Ustadzah," jawab Zoya dengan nada di buat semanis mungkin.
Sementara, Miska hanya mengangguk malas.
"Kalian juga harus meminta maaf satu sama lain, di sini, sekarang," lanjut ustadzah Siti.
Demi mencari muka, Zoya langsung berbalik ke arah Miska lalu berkata dengan datar. "Maaf," katanya singkat, tanpa sedikit pun rasa bersalah.
"Iya, sama-sama," jawab Miska enteng seraya tersenyum miring.
Melihat cara mereka saling meminta maaf, Ustadzah Laila hanya menghela napas sambil mengelus dada, tapi ia memilih tidak memperpanjang masalah.
"Baik. Kalian boleh kembali ke kelas. Jangan sampai hal seperti ini terjadi lagi," ujar Ustadzah Laila.
Mereka berdua pun keluar dari ruangan pendisiplinan. Begitu sampai di luar, Zoya melirik Miska dengan senyum mengejek.
"Hebat juga tadi. Nggak nyangka kamu bisa tahan buat nggak marah lagi," katanya.
"Santai aja. Gue punya cara lain buat keluar dari pesantren ini," jawab Miska seraya menyeringai.
"Maksud kamu?."
"Gue bakal bikin mereka sendiri yang minta gue pergi dari sini," jawab Miska santai lalu berjalan mendahului Zoya.
"Lo pikir gue bakal tunduk sama tempat ini? Salah besar!."
**
Sejak insiden di ruang pendisiplinan, nama Miska mulai jadi bahan perbincangan di pesantren. Bukan karena prestasi atau kebaikannya, melainkan karena ia kini dicap sebagai santri pembangkang.
Setiap kali Miska lewat di koridor atau halaman pesantren, santri-santri lain akan berbisik-bisik di belakangnya.
“Itu tuh Miska, santri baru yang bikin ribut di masjid.”
“Katanya dia nyari gara-gara sama Zoya kemarin.”
“Pantas aja, dari awal masuk udah beda sendiri.”
“Santri macam apa tuh? Pantesnya sih nggak di sini.”
Miska mendengar semuanya. Tapi alih-alih merasa tertekan, ia justru tersenyum.
"Bagus. Kalau semua orang makin muak sama gue, pasti mereka bakal dorong Ustadzah buat ngeluarin gue dari sini."
Namun, ada satu hal yang sedikit mengusik hatinya.
Hana dan Fatin.
Dua teman sekamarnya yang sebelumnya cukup ramah padanya, kini mulai menjaga jarak.
Mereka tidak terang-terangan menghindar, tapi jelas sikap mereka berubah. Biasanya, saat di kamar, mereka akan mengobrol ringan sebelum tidur. Tapi sekarang, suasana kamar terasa dingin.
Kalau Salsabila jangan di tanya lagi. Ia tidak pernah bertanya ataupun bertegur sapa lagi semenjak kejadian waktu itu.
Suatu sore, setelah selesai kelas hafalan, Miska kembali ke kamar lebih awal. Ia masuk dengan santai, melepas kerudung dan duduk di kasurnya sambil memainkan jemarinya di atas selimut.
Hana dan Fatin yang sedang duduk di lantai mengerjakan tugas tiba-tiba terdiam ketika melihatnya masuk.
Miska mengangkat alisnya dan menyadari perubahan sikap mereka.
“Kalian kenapa? Kok kayak liat hantu?,” tanya Miska santai.
Alih-alih menjawab, Hana malah menunduk dan pura-pura sibuk dengan buku catatannya. Sedangkan Fatin hanya melirik sekilas lalu kembali fokus pada tugasnya.
"😅😅😅 Oh, jadi kalian sekarang ikutan ngejauhin aku juga?,” ujar Miska.
“Miska... bukan gitu. Cuma, kami nggak mau kena masalah," kata Hana yang terlihat cemas.
“Masalah?,” tanya Miska menyeringai. “Maksudnya kayak kemarin? Kena imbas gara-gara satu kamar sama gue?.”
“Kami di sini bukan buat cari masalah, Miska. Kami di sini buat belajar, buat ibadah. Kami cuma nggak mau... ikut terlibat dalam hal yang bisa bikin kami kena teguran," tegas Fatin.
"Huh! Santai saja. Gue nggak bakal nyeret kalian ke masalah gue kok.”
“Tapi, Miska... kenapa kamu nggak coba berubah? Kamu tahu kan, semua orang di sini berharap kamu berubah jadi lebih baik?,” tanya Fatin.
Miska tertegun sejenak, lalu tertawa sinis. “Berubah? Buat apa? Supaya bisa diterima di tempat ini? Please, aku nggak tertarik.”
“Kamu tahu nggak, Ustadzah Lina tadi bilang, kalau kamu terus begini, kamu bisa dikeluarkan?,” kata Hana kecewa.
Mendengar hal itu, mata Miska sedikit berbinar, tapi ia segera menyembunyikannya. "Bagus. Berarti rencana gue berjalan lancar." batinnya.
“Miska, kalaupun kamu nggak mau tetap di sini, setidaknya jangan sampai keluar dengan cara yang buruk," kata Fatin seraya menatapnya penuh harap.
Miska tertegun. Ada sesuatu dalam kata-kata Fatin yang menusuk hatinya.
Tapi ia segera mengabaikannya.
“Lihat saja,” kata Miska dingin. “Aku bakal keluar dari sini lebih cepat dari yang kalian pikirkan.”
Lalu, ia berbaring di kasurnya, menarik selimut, menutup mata, dan mengabaikan segalanya.
Sementara Hana dan Fatin saling bertatapan, keduanya sadar, jika Miska mungkin tersenyum di luar, tapi ada sesuatu yang tersimpan di balik sikapnya yang keras.
Akankah Miska keluar dari pesantren secepat itu??
BERSAMBUNG...