Ini adalah kisah antara Andrean Pratama putra dan Angel Luiana Crystalia.
kisah romance yang dipadukan dengan perwujudan impian Andrean yang selama ini ia inginkan,
bagaimana kelanjutan kisahnya apakah impian Andrean dan apakah akan ada benis benih cinta yang lahir dari keduanya?
Mari simak ceritanya, dan gas baca, jangan lupa like dan vote ya biar tambah semangat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumah pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10: Titik Balik di Antara Jarak
Paris, bulan kelima.
Hujan baru saja reda. Jalanan basah, pantulan lampu-lampu jalan tampak berkilauan di trotoar. Andrean duduk sendirian di sebuah bangku di tepi Jardin du Luxembourg. Di pangkuannya, ada laptop usang yang telah menemaninya menulis sejak di Jakarta. Tangannya bergerak pelan di atas keyboard, tapi pikirannya mengembara.
Sudah dua minggu sejak Angel pulang ke Indonesia. Dua minggu penuh keraguan, sepi, dan ketidakpastian. Andrean masih ingat kalimat terakhir Angel di bandara Charles de Gaulle sebelum boarding.
"Jangan berhenti nulis, Andrean. Aku bakal baca semua yang kamu tulis, meski dari jauh."
Tapi jarak bukan cuma soal kilometer. Kadang, jarak lebih dekat ketika kita diam, nggak tahu harus mulai bicara dari mana.
Drrttt…
Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi dari email masuk.
Dari: Julien Moreau - Éditions Lumière
Subjek: Re: Titik Temu - Manuskrip Review
Isi:
"Kami menyukai ending yang Anda revisi. Cerita ini punya kedalaman emosional yang kuat. Kami siap membicarakan kontrak resmi untuk penerbitan di Prancis dan beberapa negara Eropa lainnya."
Andrean terdiam. Tangannya menggenggam ponsel erat. Ini adalah hal yang selalu ia impikan. Novel yang ia tulis bersama Angel bakal diterbitkan secara internasional. Tapi kenapa sekarang rasanya nggak seutuh yang ia kira? Kenapa kabar ini nggak langsung membuatnya melonjak bahagia?
Ia menutup laptop, bangkit dari bangku taman, dan berjalan tanpa arah. Menyusuri lorong-lorong kota Paris yang terasa asing, meskipun sudah berbulan-bulan ia di sini. Dalam benaknya, hanya ada satu wajah. Angel.
---
Keesokan harinya, Andrean duduk di kafe yang biasa mereka kunjungi. Croissant di piring depannya sudah dingin. Ia mencoba mengetik pesan untuk Angel berkali-kali, tapi selalu ia hapus.
Akhirnya, ia memutuskan menelepon.
Tut… Tut… Tut…
"Hallo?" suara Angel terdengar dari seberang. Lelah, tapi masih punya nada yang hangat.
"Angel, kabar baik. Editor di sini setuju nerbitin novel kita."
Angel diam sejenak, lalu tertawa kecil. "Serius? Aku seneng banget, Andrean! Kita berhasil, ya?"
"Iya… Kita berhasil," jawab Andrean pelan.
Hening lagi. Angel seolah tahu ada yang belum Andrean katakan.
"Ada apa lagi?" tanya Angel.
Andrean menarik napas dalam-dalam. "Kamu kapan balik ke sini?"
Angel terdiam. Lama. "Aku nggak tahu, Dre. Kakekku butuh aku di sini. Mama juga. Aku nggak bisa pergi sekarang."
Andrean memejamkan mata. "Kita harus tanda tangan kontrak bareng. Ini novel kita."
"Aku percaya sama kamu, Andrean. Kamu wakilin aku di sana."
---
Hari penandatanganan kontrak.
Andrean duduk di ruang meeting Éditions Lumière bersama Julien Moreau, editor senior yang meyakini cerita mereka akan besar di Eropa. Ada secarik kertas kontrak di hadapannya. Mata Andrean terpaku pada dua kolom tanda tangan.
Satu milik dirinya.
Satu lagi seharusnya milik Angel.
"Apakah partner Anda tidak datang?" tanya Julien sopan.
Andrean tersenyum kaku. "Dia di Indonesia. Tapi dia percaya sama saya."
Dengan tangan gemetar, Andrean menandatangani kontrak itu. Nama Angel Luiana Clarista ia tulis perlahan, seakan memastikan dirinya tidak salah mengeja. Saat pulpen itu menorehkan titik terakhir, hatinya terasa campur aduk.
Setelahnya, Julien mengangkat gelas anggur. "Pour votre succès!"
Untuk kesuksesanmu.
Andrean tersenyum sopan, tapi batinnya kosong.
---
Bulan keenam.
Andrean kembali tenggelam dalam rutinitas. Ia mulai diundang ke berbagai acara sastra di Paris. Banyak yang mengapresiasi karyanya. Ia bertemu dengan penulis-penulis besar, bahkan diminta jadi pembicara di beberapa universitas.
Namun, setiap kali ia berdiri di podium, membaca potongan Titik Temu, ia merasa ada yang hilang.
Angel.
Ia tidak di sini.
Cerita mereka tidak lengkap.
---
Sementara itu, di Indonesia.
Angel duduk di tepi ranjang kakeknya di rumah sakit. Suara mesin monitor jantung berdetak pelan di sampingnya. Wajah kakeknya pucat, tubuhnya makin kurus. Tapi setiap kali membuka mata, beliau selalu bilang satu hal yang sama.
"Kamu harus bahagia, Angel."
Angel mencoba tersenyum. Tapi ia tahu, di dalam hatinya, ada kerinduan yang dalam. Kepada Andrean. Kepada Paris. Kepada mimpi yang pernah mereka rajut bersama.
Suatu malam, setelah memastikan kakeknya tidur, Angel keluar ke balkon rumah sakit. Ia membuka laptop, lalu membaca ulang draft Titik Temu yang dikirim Andrean setelah revisi final.
Tangannya bergetar. Air matanya jatuh, menodai keyboard. Cerita mereka akhirnya selesai. Tapi perjalanan mereka belum.
Angel mengetik email baru.
To: Andrean Pratama Putra
Subject: Tentang Kita
Isi:
"Andrean, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku nggak mau kita berhenti di sini. Boleh aku ke Paris lagi?"
---
Bulan ketujuh.
Pagi itu, Andrean duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang mulai cerah. Di tangannya, ada ponsel dengan satu notifikasi email baru dari Angel.
Matanya membesar membaca isi email itu. Tanpa pikir panjang, ia langsung menelepon Angel.
"Lo beneran mau ke sini lagi?" tanyanya cepat.
Angel tertawa di seberang. "Aku udah beli tiket. Dua minggu lagi aku di sana."
Andrean tersenyum lebar, senyum yang sudah lama nggak ia tunjukkan.
---
Dua minggu kemudian.
Bandara Charles de Gaulle lagi-lagi jadi saksi pertemuan mereka. Angel keluar dari pintu kedatangan, sama seperti dulu. Tapi kali ini, mereka nggak saling canggung. Begitu Angel mendekat, Andrean langsung memeluknya erat.
"Selamat datang kembali," bisiknya.
Angel membalas pelukan itu. "Aku kangen."
---
Malam itu, mereka kembali ke apartemen Andrean. Di meja ruang tamu, draft novel Titik Temu terbuka, lengkap dengan catatan-catatan baru. Ada rencana besar di depan mereka: peluncuran buku di Paris, lalu di Jakarta.
Angel menatap Andrean dengan tatapan penuh makna. "Kita udah sampai sejauh ini, Dre. Apa lo siap buat langkah berikutnya?"
Andrean mengangguk. "Kita mulai lagi dari sini. Dari Paris, untuk dunia."
Angel menghela napas pelan. "Dan untuk kita juga?"
Andrean tersenyum tipis. "Dan untuk kita."
Mereka berdua kemudian duduk berhadapan, menyalakan lilin kecil di atas meja. Angel mengambil pena, menulis satu kalimat di halaman kosong terakhir novel mereka.
"Akhir hanyalah awal dari kisah yang baru."
---
Bulan kedelapan.
Peluncuran novel Titik Temu diadakan di sebuah galeri seni di kawasan Le Marais. Tamu-tamu datang dari berbagai penjuru Eropa, media Prancis, hingga perwakilan komunitas sastra Indonesia.
Andrean dan Angel duduk di depan ruangan, menjawab pertanyaan dari moderator. Tapi satu pertanyaan dari seorang jurnalis membuat suasana berubah.
"Apakah kisah dalam novel ini benar-benar berdasarkan kisah nyata kalian berdua?"
Andrean menatap Angel, lalu mengangguk pelan.
"Iya," jawab Angel. "Ini cerita tentang kita. Tentang bagaimana kami saling menemukan, kehilangan, lalu menemukan lagi."
Para hadirin bertepuk tangan. Suasana menjadi haru.
---
Malam setelah acara peluncuran, mereka berjalan di sepanjang Sungai Seine. Lampu-lampu kota Paris berpendar di air, seperti bintang yang jatuh.
Andrean menggenggam tangan Angel erat. "Kita udah sampai di sini. Apa selanjutnya?"
Angel tersenyum, lalu menyandarkan kepala di bahu Andrean. "Selanjutnya? Kita nulis cerita baru."
Andrean menatapnya. "Cerita tentang apa?"
Angel tertawa kecil. "Tentang hidup. Tentang cinta. Tentang apapun yang kita mau."
Andrean menghela napas lega. "Asal kita nulisnya bareng."
Angel mengangguk. "Selalu."
Mereka berhenti di jembatan Pont Alexandre III. Angel merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah gembok kecil. Ia menulis inisial mereka berdua di sana, lalu mengaitkannya di pagar jembatan.
"Untuk mimpi yang sudah kita kunci bersama," kata Angel.
Andrean menatapnya lama. "Dan kunci yang nggak akan pernah kita buka lagi."
---
Bulan kesembilan.
Setelah tur peluncuran di Eropa, mereka kembali ke Indonesia untuk peluncuran di Jakarta. Andrean berdiri di hadapan ratusan penggemar di Gramedia Grand Indonesia. Ia memperkenalkan Angel, dan bercerita tentang perjalanan mereka.
Setelah acara, Angel berbisik pada Andrean. "Aku nggak nyangka, ya. Dulu kamu cuma cowok SMA miskin yang duduk di pojok kelas, nulis di buku lusuh."
Andrean tertawa. "Dan lo cewek cantik blasteran yang bikin semua cowok di sekolah gila."
Angel nyengir. "Tapi lo yang bikin aku jatuh cinta."
Andrean mencubit pipinya pelan. "Dan lo yang bikin aku punya alasan buat nulis sampai sekarang."
---
Setahun kemudian.
Mereka sudah tinggal di Paris, menulis novel-novel baru, kadang diundang jadi pembicara di berbagai negara. Tapi mereka nggak pernah lupa asal mereka. Andrean sering pulang ke Banyuwangi, Angel selalu ikut.
Mereka buka program beasiswa buat penulis muda di Indonesia. Nama program itu? Titik Temu Foundation.
Mereka sadar, perjalanan mereka baru dimulai. Dan setiap cerita yang mereka tulis adalah janji, bahwa mimpi nggak pernah sia-sia. Bahwa cinta, pada akhirnya, selalu menemukan jalannya pulang.
---
BERSAMBUNG...