Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
"Aku akan bertanggungjawab untuk anak itu. Bagaimana pun juga dia tetap anakku dan tidak mungkin kubiarkan hidup terlantar," ucap Alvian setelah beberapa saat terdiam.
"Lalu ibunya?"
"Aku akan berikan kompensasi dalam jumlah yang sangat besar. Jadi Ajela tidak perlu khawatir dengan masa depannya dan dia bisa melanjutkan hidupnya setelah ini."
Sembari menggelengkan kepala, Galih berdecak pelan. Sudah ia duga jawaban seperti itu yang akan keluar dari mulut Alvian. Terkadang lelaki memang sebrengsek itu. Egois dan mau enaknya saja. Alvian inilah salah satu contohnya.
"Enak ya mau ambil anak orang. Ajela tidak sebodoh itu sampai mau memberikan anaknya begitu saja. Meskipun kamu bapaknya."
Ya, tentu saja. Alvian pun sadar akan hal itu. Ajela bahkan pernah menyangkal dan mengatakan bahwa anak dalam kandungannya bukan benih Alvian. Namun, setelah merasakan ikatan batin yang kuat dengan sang bayi, tidak ada alasan bagi Alvian untuk meragukan. Bahkan baginya tak perlu melakukan tes DNA untuk bisa membuktikan siapa ayah biologis bayi itu.
"Tapi aku rasa Ajela tidak akan keberatan. Lagi pula dia tidak akan sanggup membesarkan anak itu sendirian dengan kehidupannya yang serba susah."
"Buktinya dia bisa mempertahankan anakmu dalam kandungannya sampai lahir." Galih menepuk bahunya. "Bro, kamu memang punya banyak uang.Tapi yang namanya anak tetap butuh kedua orang tuanya."
"Tapi aku dan Ajela tidak mungkin bisa bersama."
"Kalau bisa membuat anak bersama-sama, kenapa tidak bisa membesarkannya bersama-sama?"
Kalimat bermuatan ledekan itu membuat Alvian mendengkus kesal. Hatinya masih berbalut kecewa ketika Riana memberitahu bahwa Ajela hanyalah seorang wanita panggilan. Belum lagi kesaksian tetangga kontrakan Ajela beberapa waktu lalu yang jelas-jelas menyebut Ajela pergi dengan pria asing. Meskipun Alvian adalah laki-laki pertama yang menyentuhnya, Ajela tetaplah bekas laki-laki lain dan pantang bagi Alvian untuk makan sisa.
"Aku tidak mau punya istri bekas wanita panggilan!" Alvian membentak marah.
"Dari mana kamu tahu kalau dia seorang wanita panggilan padahal kamu sendiri yang perawanin? Lagi pula coba pikir Al, siapa yang mau jual diri dalam keadaan hamil." Lagi, kalimat frontal Galih berhasil membungkam Alvian. Tak pelak ucapan Galih sedikit membuka pikirannya.
Alvian menarik napas dalam, menghembuskan secara perlahan. Semua ucapan Galih memang benar adanya. Tetapi, sekarang bukan hanya perkara bertanggung jawab. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan Alvian.
Termasuk kehormatan keluarga Darmawan.
"Kamu memang benar. Tapi bagaimana dengan Oma dan mama? Mereka pasti akan marah besar kalau sampai tahu hal ini. Mungkin juga akan menolak anak itu."
Galih paham beban pikiran Alvian. Galih juga hafal benar bagaimana karakter Mama Veny dan oma. Hadirnya seorang anak di luar nikah sudah pasti mencoreng nama baik keluarga Darmawan.
"Jadi kamu akan menyembunyikan status anak itu?"
"Aku rasa itu yang terbaik untuk saat ini. Apalagi mama maunya aku menikah dengan Riana. Kamu tahu sendiri seperti apa kerasnya mama dan oma."
Galih mengangguk paham. Namun, detik berikutnya ia terkekeh.
"Ngomong-ngomong anak kamu pintar juga mengacaukan pertunangan papanya. Pas bener hari lahirnya."
Alvian tersenyum. Sekarang ia mulai sadar dengan beberapa keanehan yang terjadi padanya beberapa bulan belakangan. Misalnya saja mengalami gejala ngidam persis seperti wanita hamil pada umumnya, dan juga sering memimpikan Ajela menggendong bayi laki-laki.
Tatapan Alvian kembali tertuju pada putranya yang sedang berjuang untuk bertahan hidup. Ia merasakan hatinya seperti diremas. Bayi-bayi lain di ruangan itu memakai selimut dan topi. Sedangkan bayinya hanya menggunakan selimut kecil pemberian dokter tadi. Bahkan ia tak memiliki pakaian selembarpun.
"Oh ya, temani aku ke toko perlengkapan bayi. Tadi dokternya minta aku menyiapkan perlengkapan bayi."
Galih melirik jam tangannya.
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. "Ya ampun, ini sudah malam. Semua toko pasti sudah mau tutup."
"Aku tidak mau tahu! Paksa mereka buka tokonya, kalau perlu beli tokonya sekalian!"
Galih hanya dapat berdecak. Membuka sosial media untuk mencari nomor telepon salah satu toko perlengkapan bayi terdekat, segera menghubungi dan meminta menunggu. Berbekal nama besar keluarga Setyo Darmawan, sudah pasti semua urusan terasa mudah.
Tetapi, urusan Galih tidak selesai di situ. Pasalnya setelah memborong hampir seisi toko, Alvian memintanya membawa pakaian dan selimut ke laundry untuk dicuci.
"Aku tidak mau anakku memakai pakaian yang tidak habis dicuci. Dia bisa kena bakteri dan kulitnya akan gatal!"
"Huftt belum juga diakui sebagai bapak posesifnya sudah di level setan," gerutu Galih.
Beruntung ada laundry 24 jam dengan layanan cuci kilat 2 jam. Sehingga urusan perlengkapan bayi selesai hanya dalam beberapa jam saja.
*
*
Malam semakin larut ketika Alvian masuk ke kamar perawatan Ajela . Wanita itu belum juga tersadar dari pengaruh obat bius.
Di tubuhnya terpasang banyak alat medis. Ada beberapa luka memar di sekitar wajah akibat terjatuh dari eskalator di hotel tadi.
Satu hal yang tidak dipahami oleh Alvian, setiap kali memandangi wajah Ajela ada perasaan sakit yang menjalar ke hati. Masih segar dalam ingatannya ketika Ajela pertama kali datang padanya dengan tubuh penuh lebam membiru. Matanya yang sembab memancarkan luka yang sedemikian perih.
Dan tanpa belas kasih Alvian malah menjadikannya pelampiasan nafsu. Meninggalkan bibit kehidupan baru dalam rahimnya. Entah seberat apa kehidupan yang dijalani Ajela setelah malam itu. Apakah benar ia menjalani kehidupan gelap seperti kata Riana. Atau justru sebaliknya. Lalu ke mana uang satu miliar yang ia berikan malam itu.
Tersadar dari lamunan, Alvian mengeluarkan ponsel dan menghubungi Bara. Anak buahnya itu mungkin kesal karena sang bos selalu saja menghubunginya di tengah malam buta.
"Aku ingin kamu cari informasi tentang Ajela ," perintah Alvian setelah panggilan terhubung.
"Informasi seperti apa yang Anda butuhkan, Tuan?"
"Mungkin kamu bisa mulai dari Tuan Rizal. Cari tahu dari mana dia mendapatkan Ajela dan siapa yang menjualnya."
"Baik, Tuan. Saya akan mulai cari tahu secepatnya."
"Aku mau informasi yang lengkap. Jangan sepotong-sepotong seperti kemarin. Nanti akan kuberi bonus kalau kamu dapat informasinya."
"Baik, Tuan. Segera."
Alvian memutus panggilan setelahnya. Selama ini ia tidak begitu tertarik untuk tahu tentang kehidupan Ajela di masa lalu.
Namun, kelahiran putranya membuat Alvian ingin tahu apapun tentang ibu dari anaknya itu hingga bagian terkecil sekalipun.
*
*
Pagi-pagi sekali Alvian sudah berada di ruang bayi. Tengah memeluk dan membaringkan baby boy di dada polosnya. Bayi kecil itu sudah memakai selimut dan topi berwarna biru yang semalam dibeli Alvian. Terlihat sangat nyaman dalam dekapan sang papa.
Pagi ini dokter memberi kabar baik. Kondisi si kecil menunjukkan banyak kemajuan, seperti berat badan bertambah dan juga pernapasannya yang berangsur normal. Ia membaik jauh lebih cepat dari perkiraan. Sepertinya sentuhan sang papa membawa energi positif dalam dirinya. Lihatlah, betapa ia sedang bersandar dengan manja di dada papanya.
"Kamu harus kuat ya, Nak. Setelah ini papa yang akan menjaga kamu. Kamu tidak akan pernah kekurangan apa-apa lagi karena papa akan memberikan semua yang kamu butuhkan." Telapak tangan Alvian bergerak naik turun mengelus punggung.
Sesekali ia menciumi puncak kepala putranya.
Tetapi, hangatnya kebersamaan itu harus berakhir dengan kedatangan Galih. Alvian hampir lupa bahwa hari ini ada rapat di kantor yang tidak bisa diwakili.
Alvian menciumi pipi putranya, memeluknya sebentar, lalu menyerahkan kepada seorang perawat untuk dibaringkan kembali ke dalam inkubator.Kemudian memakai kemeja dan keluar dari ruang bayi.
*
*
Suasana hati Riana benar-benar buruk sejak tiba di kantor. Semalam ia menghabiskan waktu berjam-jam menangis di kamar hingga membuat matanya sembab dan merah. Belum lagi suasana kantor yang menguras emosi. Riana yakin sudah menjadi bahan olok-olok staf lain karena pertunangannya dengan sang bos yang semalam gagal.
"Argh! Sial!" Riana menghempas gagang telepon dengan kesal.
Sudah puluhan rumah sakit ia hubungi untuk mencari tahu ke mana Alvian membawa Ajela . Namun, hingga kini pencarian itu belum membuahkan hasil. Tak ada pasien atas nama Ajela di semua rumah sakit itu. Tanpa sepengetahuan Riana, sebelumnya Alvian telah meminta secara khusus kepada pihak rumah sakit untuk tidak membocorkan data pasien atas nama Ajela .
Riana masih menggerutu kesal ketika pintu lift terbuka dan memunculkan sosok Alvian. Riana langsung berdiri untuk menyambut lelaki itu. Namun, ia harus kembali menelan kecewa karena Alvian memilih masuk ke ruangannya tanpa menoleh sedikit pun.
"Alvian, tunggu! Aku mau bicara!" sentak Riana, berlari-lari kecil mengekor di belakang punggung Alvian.
Alvian membalikkan tubuhnya. Tanpa kata. Namun, ia dapat melihat emosi dalam diri Riana yang meledak-ledak.
"Tega-teganya kamu meninggalkan aku semalam. Apa kamu tidak memikirkan perasaan aku? Aku benar-benar malu dan sekarang semua orang sedang menertawakan aku!" Riana terisak-isak di hadapan Alvian.
"Maaf, Riana. Aku harus mengatakan ini." Alvian menjeda ucapannya dengan tarikan napas. "
Aku tidak bisa melanjutkan pertunangan kita. Sebagai gantinya aku akan berikan apapun yang kamu inginkan." Ucapan Alvian layaknya sambaran petir bagi Riana. Bagaimana mungkin ia sesantai itu memutuskan pertunangan secara sepihak.
"Apa? Tidak bisa melanjutkan ?" Ia mendorong lengan Alvian." Kamu pikir aku mainan? Pokoknya aku tidak mau pertunangan kita batal. Aku akan bicara dengan Mama Veny dan meminta pertunangan ulang!"
Sikap Riana yang selalu memaksa membuat Alvian gerah. Alvian benci dipaksa dan diatur seperti ini.
"Terserah! Lakukan apapun yang kamu inginkan!" ucap Alvian, lalu keluar begitu saja meninggalkan ruangannya menuju ruang rapat.
Tinggallah Riana seorang diri merenungi nasib. Ia keluar dari ruangan dan menghempas tubuhnya di kursi. Menyalahkan Ajela atas semua kegagalan yang terjadi kepadanya.Ya, semua ini karena Ajela . Apapun yang dilakukan Riana untuk memisahkannya dengan Alvian, justru membuat mereka semakin dekat.
"Apa jangan-jangan Alvian sudah tahu kalau anak yang dikandung Ajela itu anaknya?"
Riana masih terisak-isak ketika menyadari beberapa staf wanita sedang melirik ke arahnya.Seperti sedang mencemooh.
"Apa kalian lihat-lihat? Sana kembali kerja!" bentak Riana.
Namun, para wanita itu hanya terkekeh dan beranjak pergi.
"Makanya jangan sok ngebos.
Ditinggal Pak Alvian baru tahu rasa," ucap salah satu dari mereka.
**
**
Hari bergerak siang ketika Alvian masih disibukkan dengan pekerjaan. Bahkan jam makan siang sudah dilewatkan begitu saja. Ia ingin cepat menyelesaikan pekerjaan dan pergi ke rumah sakit. Tak ingin melewatkan sedikitpun perkembangan putranya.Suara ketukan pintu
membuyarkan konsentrasi Alvian. Pintu terbuka dan memunculkan Bara.
"Kamu bawa informasi apa?"tanya Alvian dengan tatapan masih terfokus dengan laptop.
"Tidak banyak. Tapi sepertinya ini penting." Laki-laki berperawakan tinggi besar itu duduk tepat di hadapan sang bos. " Saya baru saja menemui Tuan Rizal dan dia memberi sedikit informasi tentang Nona Ajela ."
Alvian menghentikan pekerjaannya sekilas dan menatap Bara serius. "Apa itu?"
"Menurut pengakuannya, malam itu dia menghubungi Mami Viola untuk mencarikan seorang gadis seperti permintaan Anda. Dari Mami Viola lah dia mendapatkan informasi tentang Nona Ajela ."
"Lalu?" tanya Alvian semakin penasaran.
"Anda mungkin tidak akan percaya. Katanya, yang menjual Nona Ajela adalah ibunya sendiri."
Alvian terhenyak. Hampir tak percaya mendengar ucapan Bara.
Bagaimana mungkin seorang ibu tega menjual anaknya sendiri untuk dijadikan pemuas ranjang.
"Ibunya sendiri? Ibu kandung ?"
"Saya baru akan mencari tahu.
Tuan Rizal tidak memberi informasi lengkap karena tidak mengenal wanita itu. Tapi ini ada foto lama dari Mami Viola. Katanya ibunya Ajela adalah teman lamanya dan pernah bekerja di tempat hiburan malam milik Mami Viola."
Bara menggeser ponselnya ke hadapan sang bos. Alvian menyambar cepat meraih ponsel milik Bara.
Kelopak mata Alvian menyipit.Meneliti wanita di dalam foto.Raut wajah Alvian yang tadi biasa saja kini terlihat geram.Melihat reaksi Alvian yang tak biasa membuat Bara menatap penuh tanya.
"Anda mengenal wanita di dalam foto itu?"
Bersambung ~