📢📢📢WELCOME DI AREA BENGEK NGAKAK GULING-GULING 😂😂😂
Jesi yang sudah terbiasa dengan kehidupan bagai sultan, harus kehilangan semua fasilitas itu karena ayahnya yang ingin membuatnya menjadi mandiri. Dalam sekejap ia menjadi seorang mahasiswi magang, dan dihadapkan dengan team leader yang ganteng tapi sayangnya galak.
"kalo aja lo itu bukan pembimbing magang gue, ogah banget dah gue nurut gini. Ini namanya eksploitasi tenaga karyawan."
"Aku tau, aku itu cantik dan menarik. nggak usah segitunya ngeliatinnya. Ntar Bapak naksir." Jesika Mulia Rahayu.
"Cantik dan menarik emang iya, tapi otaknya nothing. Naksir sama bocah seperti kamu itu impossible." Ramadhan Darmawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Net Profit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ku anggap teman
Suara pintu terbuka membuat Naura dan Jesi yang sedang tertawa bungkam seketika, “ Wih aqua gelas udah bisa ketawa lagi yah sekarang.” teriak Raka sambil berjalan ke arah mereka.
“Jesi, kak!” ralatnya cepat.
“Iya-iya deh Neng Jesi. Fix udah normal ini mah kalo udah nggak terima di panggil aqua gelas.” Ujar Raka.
“Abis ini lo mau kemana?” imbuhnya.
“Pulang lah, Kak. Persiapan mental buat mulai kerjaan baru besok.” Jawab Jesi.
“Kakak anterin yuk mumpung lagi free nih. Ntar kakak tlaktir makan juga deh.” Ajak Raka.
“Nggak mau ah. Takut ntar aku kena semprot pacarnya kak Raka. Hari ini aku udah kena semprot sana-sini, cape!” keluh Jesi.
Naura tertawa, “Dia mah jomblo abadi, Jes. Kagak bakal ada yang marah. Udah sana jalan aja, lumayan buat ngobatin kesel lo hari ini.” Naura mendukung.
“Ya udah deh boleh. Dari pada aku naik ojeg. Lumayan ngirit ongkos.” Ucap Jesi jujur di akhiri dengan tawa.
“Sip lah yuk jalan. Kakak rela kok jadi kang ojeg buat kamu. Kalo perlu besok kakak ganti deh itu mobil pake motor aja biar kita makin sweet. Ntar pegangannya peluk dari belakang yah.” Gombalan ala Raka langsung terjun bebas.
“Heh Jas Jus saya belum mengijinkan kamu pulang. Sekarang ikut saya meninjau pemasaran produk.” Larang Rama yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan pintu.
“Jangan ngada-ngada deh lo, Wan. Tadi kan lo bilang dia mulai kerja besok.” Protes Raka.
“Mulai sekarang aja. Pemanasan.” Jawab Rama.
“Ayo berangkat!” imbuhnya pada Jesi.
“Kak Raka sorry lain kali aja yah.” Ucap Jesi kemudian berlari menyusul Rama yang sudah lebih dulu pergi.
“Dasar posesif! Sama bocah yang bukan apa-apanya aja udah posesif. Nggak kebayang itu orang seposesif apa sama istrinya kelak. Katanya impossible suka sama si aqua gelas, nyatanya gue baru mau ngajak tuh bocah jalan, eh udah di tikung duluan!” gerutu Raka.
Melihat ekspresi kesal Raka membuat Naura tertawa, “Anda belum beruntung. Coba lagi!” ejeknya.
Sementara itu Jesi yang mengikuti Rama bingung harus berbuat apa. Berdua saja dengan Rama membuatnya sedikit kikuk, secara kan biasanya ada Raka yang ikut serta mencairkan suasana.
"Anu Pak... kak eh itu..." Bibirnya mendadak kelu, mau ngomong aja jadi belibet. Susah emang kalo bareng orang pendiem tuh, mau ikutan diem nggak betah. Mau ngajak ngobrol juga bingung. Secara baru aja kena ceramah panjang lebar, takut di tambah lagi ceramahnya.
"Ana anu itu apaan? Ngomong yang bener kenapa mendadak gagap gitu kamu!" Jawab Rama datar seperti biasa.
"Ini aku bingung mesti manggil apa? Mau panggil bapak nggak enak soalnya belum bapak-bapak, mau aku panggil Kakak takut dikira nggak sopan."
"Emang selama ini kamu sopan? cuma kamu anak magang yang manggil saya karam. Ckck." Rama berdecak sambil melihat sekilas Jesi yang menunduk. Ternyata menggemaskan ini bocah kalo lagi di posisi bingung.
"Kamu boleh panggil saya dengan sebutan kakak, kalo kita hanya berdua. Atau berempat dengan Raka dan Naura, selain itu harus panggil dengan sebutan formal." Lanjutnya.
"Asiap Karam." Jawab Jesi segera, rasa canggungnya langsung menguap seketika.
"Aku ke keuangan dulu yah, Kak? Tas sama barang-barang aku masih di sana."
"Ya. Saya tunggu di depan." Jawab Rama irit.
Sebenarnya Jesi sangat malas untuk kembali ke ruangan itu, tapi mau bagaimana lagi barang-barangnya masih di sana. Tak ada sapaan ceria seperti biasanya saat dia masuk, semua mendiamkannya.
"Aku cuma mau ambil tas sama barang-barang aku aja. Maaf kalo selama ini aku selalu jadi beban buat kalian. Mulai besok aku udah nggak kerja di sini lagi kok." Ucapnya seraya mengambil tas dan cangkir kesayangannya. Tak lupa berkas revisi dari Dina pun ikut serta ia bawa.
"Mba-mba semuanya aku pamit. Dini, makasih udah bantu aku selama ini." Imbuhnya kemudian pergi tanpa menunggu jawaban dari semuanya. Toh mereka semua terlihat baik-baik saja tanpa dirinya. Sepertinya mereka justru senang melihat Jesi meninggalkan divisi keuangan.
Berjalan sendiri menuju lobi Jesi sadar jika semua mata yang ia lewati mengamati dirinya, memandangnya seraya mencibir lirih. Gosip baru sudah tentu lah, segala sesuatu yang bernilai negatif selalu lebih cepat menyebar.
Memilih cuek Jesi tetap tersenyum seolah tak terjadi apapun, sudah terbiasa jadi buah bibir oleh mulut-mulut yang kurang kerjaan.
Bahkan dengan polosnya saat dia berdiri paling belakang di lift dan mendengar karyawan lain membicarakannya, Jesi malah ikut nimbrung.
"Eh gimana-gimana? Jesi yang magang di divisi keuangan yah? Jesi aku bukan sih?" Ucapnya keras yang langsung membuat tiga perempuan yang tak sadar akan keberadaan Jesi menoleh dan bungkam seketika.
"Silahkan di lanjut aja mba-mba gosipnya... Aku turun di sini... Dadah bye bye!" Ucap Jesi kemudian meninggalkan lift.
Tiba di lobi Jesi celingak celinguk seperti anak ayam yang mencari induknya. Matanya menyapu ke setiap sudut ruangan tapi tak menemukan orang yang ia cari.
"Kemana sih Karam katanya nunggu di bawah tapi kagak ada!" Gerutunya.
Dengan malas Jesi mengambil ponsel di dalam tas saat benda itu menimbulkan getaran, panggilan masuk dari nomor tak di kenal. Jesi pun mengabaikannya. Namun berulang kali panggilan itu masuk kembali.
"Euh... Ngeselin banget dah ini orang!"
"Ya halo. Mohon maaf salah sambung, saya tidak berminat membeli asuransi!" Cerocosnya langsung begitu mengangkat panggilan tanpa menunggu jawaban dari seberang sana, Jesi langsung mengakhiri panggilan.
Rama yang sejak tadi menunggu di dalam mobil mulai jengah. Katanya hanya mengambil tas sebentar, nyatanya sudah dua puluh menit asisten gadungannya itu belum juga nampak. Yang lebih menyebalkan lagi saat dihubungi dirinya malah dibentak dikira sales asuransi.
"Bener-bener nggak ada akhlak ini bocah. Gue dikira sales, main bentak aja!" Gerutu Rama yang kemudian turun dari mobil dan masuk kembali ke lobi.
"Gue nunggu sampe jamuran itu bocah malah duduk santai." Ucap Rama lirih. Dia berjalan menghampiri Jesi.
"Enak yah lo malah santai-santai disini!"
"Eh Karam." Jesi langsung berdiri.
"Gue ... Eh aku maksudnya. Aku nyariin Karam dari tadi nggak ketemu, katanya ditungguin di bawah. Ya udah aku duduk aja di sini." Tutur Jesi.
"Dasar! Udah berangkat sekarang ayo." Ajak Rama.
Jesi mengangguk dam mengikuti Rama. Saat mereka masuk ke dalam mobil Jesi memilih duduk di belakang sementara Rama duduk di balik kemudi.
Rama berdecak kesal melihat Jesi yang duduk di bangku belakang. Dengan tatapan tajam Rama menoleh pada Jesi yang sudah duduk nyaman.
"Duduk di depan! Saya bukan supir kamu."
"Iya-iya. Galak amat." Gumam Jesi.
"Ngomong apa kamu?" Sentak Rama.
"Nggak ngomong apa-apa kok." Balas Jesi.
"Saya nggak budeg yah Jas Jus. Saya masih bisa denger kamu ngomong apa!"
"Ya kalo bisa denger ngapain nanya." Timpal Jesi tak mau kalah dan keluar kemudian berpindah duduk di samping Rama.
"Udah nih. Cus ngeng lah nggak pake lama, Karam!" Ucapnya dengan santai.
"Kok jadi kamu yang nyuruh-nyuruh saya sih!" Kesal Rama tapi dia tetap menjalankan mobilnya.
"Maaf Kak. Katanya kan tadi aku nggak usah sungkan-sungkan kecuali kalo di depan orang harus formal. Ya udah mulai sekarang Karam aku anggap temen aja. Biar lebih nyaman. Biar bisa curhat juga akunya. Tapi kalo lagi kerja aku tetep profesional kok, aku usahain. Nggak apa-apa kan? Nggak keberatan kan?" Tanyanya.
"Ya nggak lah, masa keberatan sih." Jesi tersenyum puas menjawab pertanyaannya sendiri.
Rama hanya melihat Jesi sekilas kemudian menggelengkan kepala, "Bocah edan. Nanya sendiri dijawab sendiri. Sepertinya menempatkan dia di sisiku hanya akan membuat pekerjaan ku makin berat. Lama-lama panas ini telinga ngedengerin dia yang ngoceh terus kayak beo." Batin Rama.