**"Siapa sangka perempuan yang begitu anggun, patuh, dan manis di depan Arga, sang suami, ternyata menyimpan sisi gelap yang tak pernah ia duga. Di balik senyumnya yang lembut, istrinya adalah sosok yang liar, licik, dan manipulatif. Arga, yang begitu percaya dan mencintainya, perlahan mulai membuka tabir rahasia sang istri.
Akankah Arga bertahan ketika semua topeng itu jatuh? Ataukah ia akan menghancurkan rumah tangganya sendiri demi mencari kebenaran?"**
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menahan
Arga memilih menahan emosinya, tak ingin mengumbar apa yang ia tahu kepada Alya saat itu. Ia sadar, jika dia langsung mengungkapkan semuanya, Alya pasti akan membela diri dengan berbagai alasan. Jadi, ia memutuskan untuk bermain tenang.
“Alya, aku mau kita bicara serius nanti malam,” katanya dengan nada datar, tanpa menunjukkan emosi apa pun. "Sekarang, aku ada pekerjaan yang harus kuselesaikan."
Alya hanya mengangguk, meski raut wajahnya menunjukkan kebingungan. Dia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan suaminya. Namun, dia memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut.
Setelah meninggalkan Alya, Arga segera menuju ruang kerja. Di sana, ia membuka ponselnya dan memutar ulang rekaman serta foto-foto yang ia dapatkan dari Mentari dan Rian. Hatinya panas, tapi ia tahu bahwa langkah selanjutnya harus diambil dengan perhitungan matang.
Arga lalu menghubungi Rian. “Semua bukti sudah lengkap. Tapi aku nggak mau langsung meledak di depan Alya. Aku akan kasih waktu sampai malam, biar dia mengakui semuanya dulu.”
Rian di seberang telepon mengangguk, meskipun Arga tak bisa melihatnya. “Kalau dia nggak ngaku?” tanyanya.
“Kalau dia nggak ngaku,” jawab Arga sambil menghela napas panjang, “Aku akan ungkap semuanya di depan wajahnya. Tapi aku mau tahu, seberapa jauh dia akan bohong untuk menutupi kesalahannya.”
Rian setuju dengan rencana itu, lalu menawarkan bantuan jika Arga membutuhkannya nanti malam. Namun, Arga hanya meminta Rian untuk tetap standby, berjaga-jaga jika situasi menjadi lebih rumit dari yang ia perkirakan.
Malam itu, setelah makan malam, Arga memanggil Alya ke ruang tamu. Suasana tegang terasa menyelimuti ruangan, meskipun Alya berusaha bersikap santai. Dia duduk di sofa, menatap Arga dengan sedikit canggung.
“Ada apa, Mas? Kamu kelihatan serius sekali,” tanya Alya sambil tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana.
Arga memandangi Alya dengan mata yang tajam, lalu berkata, “Alya, aku mau tanya sesuatu, dan aku minta kamu jawab dengan jujur.”
Alya mengangguk pelan. “Tentu, Mas. Tanya saja.”
“Selama ini, ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?”
Pertanyaan itu membuat Alya sedikit tegang, meski ia berusaha menutupi kegugupannya. “Enggak, Mas. Aku nggak sembunyikan apa-apa. Kenapa tanya seperti itu?”
Arga tersenyum tipis, lalu mengeluarkan ponselnya. Dia meletakkannya di atas meja, tetapi tidak langsung memperlihatkan bukti-bukti yang ia miliki. “Kamu yakin? Nggak ada yang mau kamu akui?”
Alya menelan ludah, gugup. Namun, dia tetap berusaha mempertahankan senyumnya. “Mas, kamu aneh deh. Aku benar-benar nggak tahu apa yang kamu maksud.”
Arga mengangguk pelan, lalu memutar video di ponselnya. Suara tawa Alya dan Reza terdengar jelas dari rekaman itu, membuat wajah Alya seketika memucat.
“Mas... Aku bisa jelasin...” Alya tergagap, panik.
“Cukup, Alya.” Arga memotong dengan suara dingin. “Aku kasih kamu waktu. Katakan semuanya, atau aku akan pastikan kamu keluar dari rumah ini malam ini juga.”
Arga menghela napas panjang, menahan gejolak amarah yang terus berusaha ia tekan. Meski semua bukti sudah di depan mata, Alya terus saja mengelak dengan berbagai alasan. Dia memutuskan untuk tidak memaksa malam itu.
"Baik," ujar Arga dengan nada dingin, memandangi Alya yang tampak gelisah di hadapannya. "Kalau kamu tidak mau jujur sekarang, aku tidak akan memaksamu. Tapi ingat, Alya, jika suatu hari kamu berani membawa Reza ke rumah ini, aku tidak akan tinggal diam lagi. Aku akan membongkar semuanya di depan matamu tanpa ampun."
Alya tampak tegang, namun dia tetap berusaha mempertahankan wajah polosnya. "Mas, aku nggak tahu kenapa kamu berpikiran seperti ini. Aku benar-benar nggak melakukan apa-apa..."
Arga mengangkat tangannya, meminta Alya berhenti berbicara. "Cukup. Aku tidak ingin mendengar kebohonganmu lagi. Pergi ke kamar, Alya. Aku butuh waktu sendiri."
Dengan langkah ragu, Alya akhirnya meninggalkan ruangan. Sesampainya di kamar, dia duduk di tepi ranjang, merasa cemas namun tetap berpikir keras untuk mencari cara agar dapat membalikkan situasi ini.
Di ruang tamu, Arga meremas tangannya dengan kesal. Hatinya penuh amarah dan kekecewaan, tapi dia tahu bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk bertindak gegabah. Dia harus bermain dengan cerdas agar dapat memastikan Alya tidak punya celah untuk berbohong lagi.
Sambil mengamati ponselnya, Arga memutuskan untuk menghubungi Mentari. "Besok aku ingin kamu tetap awasi Alya. Kalau dia bertemu Reza lagi atau membawa dia ke rumah, laporkan segera."
Mentari, yang sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk, menjawab tegas, "Baik, Pak. Saya akan pastikan semuanya berjalan sesuai rencana."
Setelah panggilan itu berakhir, Arga merasa sedikit lebih tenang. Dia tahu, meskipun Alya terus mengelak, kebohongannya tidak akan bertahan selamanya. Dan saat waktu itu tiba, Arga akan memastikan Alya tidak memiliki alasan lagi untuk menyembunyikan kebenaran.
Mentari tertegun, tubuhnya menegang saat melihat Alya tiba-tiba masuk dengan ekspresi penuh amarah. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres.
"Ada apa ini, mbak?" tanya Mentari dengan suara gemetar, mencoba menjaga ketenangannya meskipun hatinya mulai diliputi ketakutan.
Alya menatap Mentari tajam, matanya menyiratkan kemarahan yang sulit ia sembunyikan. "Jadi ini ulahmu, ya? Kamu yang melaporkan aku ke Arga?" desis Alya dengan nada rendah namun penuh ancaman.
Mentari menggelengkan kepala dengan cepat, mencoba membela diri. "Saya tidak tahu apa yang mbak maksud. Saya hanya menjalankan pekerjaan saya," jawabnya, suaranya hampir berbisik.
Alya mendekat, membuat jarak di antara mereka semakin kecil. "Jangan pura-pura bodoh, Mentari. Hanya kamu yang tahu soal Reza, dan sekarang Arga curiga padaku. Kalau aku sampai terpojok, kamu juga tidak akan selamat!"
Mentari mundur selangkah, punggungnya menempel pada dinding. Wajahnya pucat, tapi dia mencoba untuk tetap tenang. "mbak alya salah paham. Saya tidak mengatakan apa pun ke Pak Arga. Tapi kalau Ibu merasa bersalah, mungkin itu karena ada sesuatu yang Ibu sembunyikan," kata Mentari, suaranya terdengar lebih tegas daripada yang dia bayangkan.
Perkataan itu membuat Alya semakin emosi. Dengan gerakan cepat, dia mencengkeram lengan Mentari, mengguncangnya dengan keras. "Jangan bermain-main denganku! Kalau kamu terus ikut campur, aku pastikan kamu tidak akan pernah tenang di rumah ini!"
Mentari menahan air matanya yang hampir jatuh, namun dia tetap berusaha bersikap tenang. "mbak bisa marah sesuka hati, tapi saya tidak melakukan apa pun yang salah. Kalau mbak merasa takut, itu urusan mbak, bukan saya."
Alya mendengus, lalu melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Dia menatap Mentari dengan penuh kebencian sebelum akhirnya berkata, "Kamu pikir kamu pintar? Lihat saja nanti, Mentari. Aku tidak akan membiarkan kamu menghancurkan hidupku."
Setelah itu, Alya membuka kunci pintu dan keluar dari kamar dengan langkah cepat, meninggalkan Mentari yang masih berdiri terpaku di tempatnya. Saat pintu tertutup, tubuh Mentari langsung lemas, dia terduduk di lantai sambil memegangi lengannya yang sakit akibat cengkeraman Alya.
Dalam hati, Mentari tahu bahwa situasi ini akan semakin rumit. Namun, dia juga sadar bahwa dia tidak bisa mundur sekarang. Dia harus tetap kuat, terutama untuk membantu Arga mengungkap kebenaran.
semangat Thor