Fakultas peternakan x Fakultas Hukum
Nyambung nggak jelas ngak Nyambung bangetkan, bau sapi sama tumpukan undang-undang, jelas tidak memiliki kesamaan sama sekali. Tapi bagaimana jika terjalin asmara di dalam perbedaan besar itu, seperti Calista Almaira dan Evan Galenio.
Si pawang sapi dan Arjuna hukum yang menjalin hubungan dengan dasar rasa tanggung jawab karena Evan adalah pelaku tabrak lari kucing kesayangan Calista.
Kamu sudah melakukan tindak kejahatan dan masih bertanya kenapa?" Calista sedikit memiringkan kepala menatap Evan dengan tidak percaya, laki-laki yang memakai kaos putih itu pun semakin bingung.
"Nggak usah ngomong macen-macem cuma buat narik perhatian gue, basi tau nggak!" Hardik Evan emosi.
"Buat apa narik perhatian pembunuhan kayak kamu!"
Beneran kamu bakal ngelakuin apapun?" Tanya Calista yang gamang dan ragu dengan ucapan Evan.
Evan mengangguk pasti.
"Hidupin joni lagi bisa?"
"Jangan gila Lu, gue bukan Tuhan!" sarkas Evan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada gue
Hening menyelimuti perjalanan mereka. Calista duduk diam di kursi penumpang, tangannya menggenggam ujung tas ranselnya dengan canggung. Sementara itu, Evan menggenggam setir erat, tatapannya fokus ke jalan di depan, meskipun raut wajahnya menunjukkan jelas bahwa pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.
"Lu serius cuma diem aja,Ca?"
Evan membuka pembicaraan, nadanya rendah, tapi ada kemarahan yang terpendam di dalamnya. Calista hanya menyengir memamerkan giginya.
"Gak usah senyum kalau nggak mau senyum, jelek."
Seketika bibir Calista berubah manyun.
"Kenapa gitu, mau gue iket bibir Lu dimonyong-monyongin gitu!"
"Ih, Epan kenapa sih marah-marah terus? Aku senyum salah, diem salah, bingung sama Epan!" ketus Calista sambil melipat tangannya.
"Elu emang salah Ca, Lu salah besar. Lu di kata-katain, dimaki kayak gitu sama cewek nggak jelas kenapa Lu diem aja! Gue tahu Lu nggak suka ribut, tapi diem gitu aja? Sampai Gaby ngomong seolah-olah Lu... Lu nggak ada harga diri," sarkas Evan dengan nada rendah, dia masih berusaha menahan emosinya.
Calista menghela napas panjang, menoleh sedikit ke arah Evan, namun pandangannya tertuju pada dashboard lebih tepatnya pada boneka kucing yang Calista letakkan kemarin.
"Aku tahu dia salah. Tapi aku nggak mau bikin masalah yang malah jadi panjang."
"Lu punya hak buat ngebela diri. Gue nggak terima dia ngerendahin Lu begitu," potong Evan cepat.
"Evan nggak akan ngerti," lirih Calista, ia membuang pandangannya ke luar jendela.
Tentu saja Calista ingin marah, dia sakit hati dia malu, dihina, direndahkan seperti itu di depan umum. Mati-matian Calista berusaha tenang dan tidak terbawa emosi, jka menurut hatinya calista bisa saja lagsung menampar mulut Gaby, menyiramnya dengan kuah bakso pedas yang sedang ia makan. Mati-matian calista menahan malu, menahan air matanya agar tidak jatuh. Jika saja Evan datang sedikit terlambat mungkin Calista sudah tidak bisa menahan air matanya.
Tapi semua yang ingin Calista lakukan hanya bisa ia tahan, karena jika da mengikuti hati dan egonya bukan logika, Calista bisa menghancurkan masa depannya sendiri. Dan tentu saja dia tidk ingin itu terjadi.
"Gue nggak akan ngerti kalau Lu nggak jelasin!" tukas Evan dengan kesal.
Calista mengambil nafas dalam, sebenarnya dia tidak ingin menceritakan ini pada Evan. Tapi jika dia tetap diam, maka Tuan Evan Galenio ini akan terus kesal. Evan adalah tipe orang yang ingin tahu masalah sampai ke akar, dia ingin semua jelas sejelas-jelasnya. Calista menoleh menatap kekasih sementaranya dengan tatapan peuh arti.
"Aku kuliah di sini pakai beasiswa penuh. Kalau sampai aku ikut emosi atau balas dia terus bikin ribut, semua akan berimbas pada beasiswaku, dan aku nggak mau itu terjadi ," Calista akhirnya bicara dengan nada pelan, namun tegas.
Evan memperlambat laju mobilnya, menatap Calista sekilas dengan ekspresi sulit diterjemahkan.
"Beasiswa? Jadi, lu milih tahan diri cuma karena itu?" dahi Evan mengerut tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
Calista menatap Evan balik, suaranya sedikit bergetar. "Bagi aku, lebih baik diam daripada ngomong hal-hal yang nantinya bikin aku nyesel. Aku tahu aku bawel, tapi bukan berarti aku nggak tahu kapan harus berhenti."
Evan menghela napas, melepaskan genggaman kuatnya dari setir, tangannya bergerak untuk menyalakan lampu sein, menepi ke sisi jalan yang sepi. Mobil berhenti, tapi keheningan di antara mereka terus menggantung.
Evan menoleh, matanya menatap Calista dalam.
"Dengerin gue, Ca. Lu punya hak buat berdiri dan bilang kalau kamu nggak salah. Gue nggak mau Lu diem, apalagi kalau itu ngerugiin Lu sendiri. Gue bisa jagain Lu, apa pun yang terjadi. Dan soal beasiswa, kalau sampai ada apa-apa, gue bakal bantu. Tapi gue nggak mau Lu ngalah kayak tadi. Semua di Nolite setara, kita punya hak dan kedudukan yang sama. jangan buat diri Lu rendah di mata lain, paham.
Calista terdiam, merasakan nada tulus dalam suara Evan. Ia mengangguk kecil, meski raut wajahnya masih ragu.
"Diam bukan berarti kita rendah Epan. Epan pernah dengar nggak diam adalah emas, Aku mau jadi emas. Ya kadang capek juga bawel terus kayak gini sesekali diem juga asik kok, buat variasi biar nggak bosen."
Calista berusaha mencairkan suasana agar tidak terlalu tegang, jujur saja dia sudah sedikit merasa takut melihat wajah pacarnya yang sedah kaku seperti kanebo kering. Walaupun biasanya juga nggak lempeng, tapi ini terlalu tegang.
"Gue nggak lagi bercanda Caca! jangan mengalihkan permbicaraan!" tegas Evan dengan tatapan dingin.
"Kaku amat," lirih Calista dengan bibir yang manyun lagi.
"Calista!"
"Iya, iya janji lain kali nggak gitu lagi." Calista mengangkat jari berbentuk V ke udara.
Evan menghela nafas, sorot matanya melembut menatap Calista lekat.
"Nggak ada lain kali. Gue nggak mau kejadian hari ini keulang lagi. Dan inget satu hal, gue di sini buat Lu. Lu bebas ngelakuin apa aja Lu bener."
Calista tertegun mendengar kata-kata Evan, apalagi sentuhan tangan Evan membuat jantung Calista maraton dadakan. Sesaat kemudian, ia mengangguk lagi, kali ini dengan senyuman kecil yang mulai mengembang di wajahnya.
"Ok, Epanku."
Hem.
Evan kembali menghidupkan mesin, melajukan mobilnya perlahan, namun atmosfer di antara mereka terasa lebih ringan. Di balik semua kejadian itu, Calista tahu satu hal pasti. Evan benar-benar ada untuknya, dan itu membuatnya merasa lebih kuat dari sebelumnya, meski dia tidak tahu sampai kapan.
Calista tidak tahu seberapa marahnya Evan saat ini. Dia sedang berusaha menahan diri agar tidak kelepasan lebih jauh. Hati Evan merasa tercubit saat mendengar orang lain merendahkan gadisnya seperti tadi.
Mobil melaju pelan, jalanan yang cukup ramai berbeda dengan suasana di dalam mobil yang hening. Calista duduk di samping Evan, matanya menatap jalanan, tapi ada rasa canggung yang menggelayuti suasana. Evan menatap lurus ke depan, wajahnya serius, tapi ia tahu Calista pasti lagi memikirkan sesuatu.
"Lagi mikirin apa lagi ? kenapa diem?" Tanya Evan memecah keheningan diantara mereka.
"Mau belajar jadi cewek kalem," celetuk Calista.
"Nggak cocok," sahut Evan yang membuat bibir Calista semakin manyun.
"Epan capek nggak sama aku? aku kan sering ngerepotin Epan, bawel lagi," Calista tiba-tiba bertanya dengan nada serius, wajah yang biasanya manis kini terlihat tegas.
Evan menoleh ke Calista, tatapannya agak bingung. "Kenapa tiba-tiba tanya gitu?"
"Ih ... Aku tanya itu di jawab Epan bukan malah tanya balik. Kita nggak lagi main kuis lempar tanya BTW," gadis itu memberengut kesal dengan bibir yang melengkung ke bawah.
Evan terkekeh pelan, meskipun ia masih merasa sedikit bingung dengan emosi Calista yang bisa berubah dalam hitungan detik.
"Lu nggak pernah nyusahin, Ca. Gue pernah bilangkan, gunain gue sebagai pacar Lu dengan baik dan gue serius soal itu."
Calista mengerutkan kening, tidak terima. "Serius? Epan pasti ngomong gitu biar aku seneng kan? cuma kata-kata penenang. Tapi maaf aku bukan tipe cewek yang gampang kebawa-bawa kata-kata manis, Epan!"
"Emang sikap gue selama ini kurang kelihatan," kata Evan, tetap dengan nada serius, tapi sedikit tertawa.
"Ya enggak sih," sahut Calista dengan canggung.
Selama tiga minggu ini Evan selalu memperlakukannya dengan baik, walau kadang ketus tapi Evan selalu menjaga dan memperhatikan Calista dengan baik, komunikasi mereka pun terjalin dengan sangat baik.
Evan selalu meminta izin apa dan dengan siapa dia melakukan kegiatan, dia juga tidak pernah absen memberi ucapan selamat pagi dan selamat tidur pada Calista walau kadang Calista yang tidak membalas pesan Evan karena sudah molor duluan. Evan hanya membatasi sentuhan fisik mereka, sampai sekarang mereka tidak pernah berpelukan atau sekedar bergandengan tangan, mereka juga tidak pernah sleep call bukan karena Evan tidak mau, tapi Calista yang selalu menolak.
"Tapikan aku cuma pacar sementara Epan, bukan pacar permanen. lagian juga kita cuma pacaran tiga bulan."
"Nggak ada bedanya Ca. mau pacar sementara atau nggak, mau lama atau sebentar, Lu tetep pacar gue. Gue yang setuju menjalani hubungan ini sama Lu, jadi gue bertanggung jawab menjalani hubungan ini dengan sebaik-baiknya. Mungkin kita nggak sesaling terbuka pasangan lain yang beneran pacaran karena saling suka, tapi gue selalu bakal usahain yang terbaik yang gue bisa lakuin buat Lu. Jadi Lu nggak usah sungkan buat ngerepotin gue. Paham, Ca. Lu juga harus tahu, gue bakal ada buat Lu, apapun yang terjadi. Jadi nggak usah mikir terlalu banyak."
Calista mendengus sedikit, dengan bibir yang mengulum masuk. Kenapa pacar sementaranya ini sangat manis, bahaya banget kalau sampai Calista bener-bener jatuh cinta.
"Ya udah deh, aku paham, tapi setelah ini Epan nggak boleh ngeluh, liat aja aku bakal bikin Epan repot sampai kewalahan, sampai Epan pusing!"
Evan tertawa, senang melihat Calista mulai kembali dengan sikapnya yang bawel. "Di tunggu kerepotannya dengan senang hati, Tuan putri."
Pipi calista semerah tomat, dengan cepat ia memalingkan wajahnya ke arah jendela.
"Cie Salting ya pipinya sampai merah gitu!' Goda Evan yang membuat pipi Calista semakin merah.
"Liat jalan Epan, fokus!"
Evan tertawa, keheningan yang sempat canggung kini digantikan oleh keakraban yang semakin terasa. Dalam perjalanan yang masih jauh, mereka tahu satu hal mereka bisa menghadapi apa pun, selama mereka tetap bersama.
kan jadinya kehilangan jejaknya Caca
fix sih Evan sama Calista gaakan cuma hubungan sementara 2bulan tapi lanjooot terus wkwk
cukup dengan memberi makan kucing saja Caca udah bahagia banget
semoga kebahagiaan cepat menghampiri kamu