NovelToon NovelToon
Deepen The Role: Water Flow

Deepen The Role: Water Flow

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Spiritual / Vampir / Manusia Serigala / Mengubah Takdir / Keluarga
Popularitas:707
Nilai: 5
Nama Author: LIMS OFFICIAL

"Cahaya akan menuntun kita pulang"

Setelah berhasil berbagai masalah dengan para vampir, Benjamin justru dihadapkan kembali dengan masalah lainnya yang jauh lebih serius. Dia dan teman-temannya terus menerus tertimpa masalah tanpa henti. Apakah Benjamin dan yang lain bisa mengatasi semua ini?

Mari kita simak kembali, bagaimana kelanjutan kisah Benjamin dan yang lainnya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

History

"Esme?" gumam Benjamin ketika Esmeraldaa tiba-tiba diam setelah ia memegangi kepalanya. "Darahku sedang bekerja" ujar Jael segera.

Esmeralda berbalik, dan matanya berubah warna menjadi merah darah. Ia segera menarik Benjamin, dan Marella tentu terjatuh.

"Apa yang... terjadi?!" gumam Benjamin berusaha menahan Esmeralda yang mencoba mengigit lehernya. Marella segera bangkit.

"AGHK" teriaknya menahan sakit, ketika Jael mematahkan kaki kiri gadis itu. "Kau hanya perlu menonton kematiannya saja, sayang" ujar Jael tersenyum puas.

Ketika gigi Esmeralda sudah semakin dekat. "PANAS!" teriak gadis itu ketika ada sesuatu yang panas menempel di keningnya.

Joseph tiba tepat waktu. Ia menempelkan bawang putih di kening gadis itu. "Patrick! Cepat lakukan!" Patrick segera meraih tangan Esmeralda dan menggigit tangannya.

Esmeralda tampak mulai kejang-kejang. Jael yang melihat itu menyeret Marella. Sebuah kapal sudah terlihat dari kejauhan.

"Tidak, lepaskan aku!" Marella mulai memberontak. Ia mengeluarkan sebuah botol berisi air, lalu menyiramnya pada tangan Jael yang menyeretnya. "Kurang ajar!" Jael yang merasakan panas terbakar pada tangannya hendak meraih leher gadis itu.

Namun, "Tenanglah" Damian tiba tepat waktu bersama Morenthes dalam wujud serigala. "Bawa dia, Moren!" perintah Damian. Morenthes mengangguk dan membawa Marella yang menunggangi dirinya.

"Sialan kau!" Jael lebih dulu berhasil meraih leher Damian yang lengah. "Enyahlah kau!" Jael berusaha merobek leher Damian.

Namun, "Kembalilah ke neraka!" Benjamin tiba dan segera memutus leher Jael.

"Tuan muda diserang!" salah seorang pria yang melihat Jael terbunuh melapor. "Segera tepikan kapal!" perintah seorang yang lain.

"Hahaha, sepertinya tidak bisa" ujar seorang gadis bersama partnernya. Patricia dan Veronica tiba di sana. "Siapa kalian?!"

Patricia dan Veronica tersenyum. Setelahnya mereka menghilang. Lalu, kapal itu meledak.

"Akhirnya" gumam Benjamin sebelum akhirnya ia terjatuh dan mulai hilang kesadaran.

"Ben.."

"Ben, hey"

"Benjamin!"

......................

"Kau sudah sadar?" tanya seorang gadis pada Benjamin, ketika matanya mulai terbuka. "Kepalaku.. sakit" gumam Benjamin akhirnya benar-benar membuka matanya.

"Di mana aku?" tanya Benjamin menatap langit-langit. "Di rumahmu sendiri, Ben" jawab gadis itu yang ternyata adalah Mia.

Ia baru saja selesai membersihkan luka cakaran di pergelangan tangan Benjamin.

"Di mana-"

"Dia masih di rumah sakit, Garon sedang mengobati kakinya. Morenthes bilang, pria itu mematahkan kaki kekasihmu"

Benjamin menghela nafas. "Aku gagal melindunginya" gumam Benjamin lelah. "Dia lebih mengkhawatirkanmu, Ben. Esmeralda mencoba menghisap habis darahmu" jawab Mia segera.

"Oh iya, bagaimana keadaannya?" tanya Benjamin terheran. "Jessi menidurkannya lagi. Patrick berhasil menghisap habis darah beracun itu" jawab Joseph di pintu masuk.

"Apa yang terjadi padanya?" tanya Benjamin terheran. "Pria itu memiliki darah vampir yang spesial. Dan darah itu membuat tubuh terangsang dan menimbulkan nafsu ingin membunuh siapapun. Dia menggunakan jarum yang sudah ia celupkan ke dalam darah miliknya"

Benjamin yang mendengarnya tertegun. "Jika Patrick tidak bergegas, tidak hanya kau yang mati tapi juga yang lain. Sejak awal dia sangat ganas, maka akibatnya membuat dia jauh lebih ganas"

Benjamin memandang lurus. "Aku merasa kasihan padanya, trauma, penderitaan mental, ketakutan. Semua menjadi satu" gumam Benjamin merasa iba pada Esmeralda.

"Masa lalunya juga tidak menyenangkan" ujar Mia terkekeh. "Hey, tidak bisakah kau memberitahu sedikit masa lalunya? Kau bisa melihatnya bukan?" tanya Benjamin tertawa kecil.

"Hahaha. Dasar. Mana ada orang sakit yang penasaran seperi ini" ledek Joseph segera.

"Aku tidak sakit, Josh"

"Keadaanmu ini ciri-ciri orang sakit, Ben"

Di sisi lain.

"Apa dia akan baik-baik saja?" tanya Patricia tampak khawatir. Patrick menyelimuti Esmeralda yang tertidur. Sharon memutuskan untuk menutup mata Esmeralda dengan kain hitam untuk sementara, sampai gadis itu kembali sadar.

"Dia akan segera membaik, tenanglah" Damian merangkul kekasihnya itu. "Aku hanya takut dia tidak lagi sama seperti pertama kali aku mengenalnya" gumam Patricia dengan tatapan tenang namun sedih.

"Mengapa Sharon menutup matanya dengan kain itu?" tanya Damian terheran. "Sebenarnya, hampir setiap hari dia akan terbangun di pagi hari namun keadaannya buruk. Dia berteriak, menangis, dan memukuli kepalanya. Bahkan jauh sebelum ada Marella, dia sudah seperti ini"

Damian yang mendengarnya tentu terkejut. "Halusinasi?" tanya Damian segera. "Begitulah. Malam sebelum tidur depresinya akan muncul, lalu ketika pagi hari bangun dia akan berhalusinasi" jawab Patrick membenarkan.

"Mungkin ini alasan dia tidak pernah tersenyum" gumam Damian akhirnya mengetahui penyebab wajah dingin dan murung gadis itu.

"Semua menderita di masa lalu. Tapi dia, dia sampai sekarang terus menderita karena masa lalunya" ujar Patricia mendekati Esmeralda dan mengusap pelan rambut adiknya itu.

"Ternyata kau begitu menyayanginya, walaupun dia menyebalkan" ledek Damian tertawa kecil. "Hahaha. Dia memang selalu menimbulkan api kemurkaan di dalam diriku, tapi aku tidak bisa membencinya" jawab Patricia.

Patrick yang mendengarnya tersenyum.

"Yah, sebaiknya kita biarkan dia beristirahat" saran Patrick keluar dari ruangan itu. Patricia dan Damian juga segera menyusul Patrick. Tidak lupa, gadis itu menutup pintu kamar.

Sorenya, Damian berpamitan pada mereka untuk segera kembali ke rumah. "Terimakasih sudah membantu kami" ujar Damian seraya mencium kening kekasihnya.

"Terimakasih kembali" jawab Patricia seraya tersenyum lembut. Damian mengacak pelan rambut kekasihnya itu lalu segera memasuki mobil. "Berhati-hatilah!" pesan Patricia seraya melambai. Damian membalas lambaian itu dan mobil akhirnya kembali melaju.

"Tampaknya semua sudah mulai kondusif" ujar Patrick menghampiri Patricia. "Begitulah, malam ini aku akan ke rumah sakit dan menjaga Marella" jawab Patricia berjalan memasuki rumah.

"Jangan lupa buat surat izin tidak hadir untuk Espe. Dia belum bisa masuk sekolah besok dengan keadaan seperti tadi" pesan Patrick.

"Ya" jawab gadis itu memasuki rumah. Patrick masih memandangi area hutan dan menikmati angin. "Apa yang kau lakukan di sini, sobat?" tanya Sharon berhasil memecahkan lamunan Patrick. "Tidak ada" jawabnya singkat.

"Ada sesuatu yang ingin kuberitahu padamu, selaku kau adalah 'anak tertua' di sini" ujar Sharon ketika ia sudah berada di samping Patrick.

"Mengenai?" tanya Patrick penasaran. "Masa lalu, yang banyak kaitannya" jawab Sharon segera.

"Maksudmu?" tanya Patrick tidak paham. "Sebenarnya ini tidak logis, tapi jika kau memahami alurnya kau akan paham" gumam Sharon menghela nafas.

Ia masih merasa ragu untuk menyampaikan informasi yang diketahuinya. "Aku sangat tidak suka kau yang mengulur waktu, Ednard" ujar Patrick tertawa kecil menahan kesal seraya menyebut nama panggilan Sharon di masa lalu.

"Hahaha. Tapi berjanjilah kau memahaminya terlebih dahulu, lalu menyimpannya sendiri untuk beberapa saat, Jov" ujar Sharon segera.

"Ya, maka katakanlah apa yang kau ketahui" perintah Patrick tidak sabar. Sharon menatap lurus dan ekspresinya berubah serius.

"Kita bukanlah target utama bangsawan, tapi salah satu anggota Canis" Patrick yang mendengarnya menunjukkan ekspresi ragu.

"Mereka berkali-kali menantang kita. Mulai dari Benjamin, lalu Espe, Joseph, Damian, bahkan Marella. Tidak mungkin bukan kita targetnya" Sharon tertawa kecil mendengarnya.

"Aku bahkan belum selesai menjelaskan maksud dari penjelasan pertamaku" gumam Sharon tertawa kecil. "Mereka mengincar salah satu anggota Canis, yang punya kemampuan spesial. Hanya dia yang memilikinya"

Patrick tertegun. Sejenak ia mencoba mengingat siapa yang dimaksud Sharon. "Mia?" nama itu timbul di benak kecil Patrick.

Sharon tersenyum santai. "Apa hubungannya dengan dia? Kenapa justru dia jadi target utama? Lalu kenapa kita yang lebih dulu diusik?" tanya Patrick terheran.

Sharon tertawa kecil dan sudah menduga pertanyaan itu. "Akan kujelaskan urutannya" gumam Sharon sejenak menunduk.

Ia kembali menatap lurus ke depan. "Mia punya kemampuan melihat masa lalu. Kemampuannya itu adalah warisan ayahnya. Rise Morgans manusia biasa yang bisa melihat masa lalu dan masa depan secara akurat. Namun Mia hanya menerima kemampuan melihat masa lalu dari ayahnya" Sharon mulai menjelaskan.

Patrick yang mendengarnya terkejut. "Itu adalah target utama serta alasan kenapa Mia menjadi target utama mereka. Fakta utama yang harus kau ketahui adalah, Esmeralda yang dulunya dipanggil Esperanda.. membunuh Rise Morgans, ayah dari Mia Rothrout"

Patrick yang mendengarnya melotot terkejut. "Sungguh?" gumam Patrick terkejut.

"Kemampuan milik Rise bisa membuat para vampir musnah. Rise adalah seorang koki kapal, yang tugasnya mencari bangsawan vampir. Esmeralda di masa lalu adalah boneka bangsawan, dia selalu melaksanakan setiap perintah mereka. Kemampuan yang dimilikinya itu digunakan untuk membunuh Rise"

"Jowell selaku kepala keluarga mengetahui hal itu dan mengganti nama belakang Mia lalu menyamakannya dengan Joseph serta kedua kakak perempuannya agar orang-orang mengira Mia bukanlah anak kandung Rise. Namun akhir-akhir ini, ada beberapa oknum mencurigakan memasuki yayasan katolik. Mereka pasti melakukannya dengan sengaja"

Penjelasan itu berhasil membuat Patrick tertegun. "Semuanya berkaitan" gumam Patrick kembali mengingat setiap kejadian yang sudah menimpa mereka.

"Mereka bermain dengan sangat rapi" gumam Sharon terkesan. "Lalu kondisi Espe? Apa yang harus kita lakukan padanya?" tanya Patrick lagi.

"Mustahil untuk menyembuhkannya, Patrick" jawaban itu membuat Patrick menatap Sharon terkejut. "Apa maksudmu?" tanya Patrick dengan ekspresi takut.

Raut wajah Sharon seketika berubah. Kesal, marah, sedih, takut, semua pikiran negatif menjadi satu di wajah itu.

"Orang yang mengubahnya menjadi vampir ialah Arnold. Itulah kenapa nafsu membunuhnya di masa lalu sangat kuat. Arnold mencuci pikirannya, merusak mentalnya, dan memberikan ilusi ancaman. Sel sarafnya juga sudah terlalu rusak akibat racun"

Patrick menggenggam tangannya menahan kesal mengetahui hal itu.

"Tidak bisakah aku-"

"Tidak, Patrick. Arnold menyuntikkannya langsung ke otak Esmeralda. Racun yang diracik Arnold, hanya segelintir orang yang bisa mengatasinya. Ayah dan Jowell salah satunya"

Patrick mengacak rambutnya. "Apalagi dia sudah menjadi vampir. Obat tidak bisa bekerja pada tubuhnya, karena semuanya mati"

Patrick menghela nafas lelah. "Nafsu membunuhnya sudah hilang. Tapi depresi akut dan halusinasi itu akan terus menggerogoti pikirannya" gumam Sharon menatap lurus.

"Teruslah menggali informasi, Sharon. Pasti ada jalan untuk bisa menyembuhkannya" ujar Patrick pantang menyerah.

Sharon tersenyum. "Aku akan selalu berusaha mengggali semua informasi. Termasuk apapun tentangnya" jawab Sharon meyakinkan.

......................

"Apa kau sudah merasa lebih baik, nak?" tanya Jessi menyadari keberadaan Esmeralda. "Lumayan" jawab Esmeralda seraya meraba dan berjalan perlahan mencari tempat duduk.

Tentu saja ia kesulitan untuk berjalan tanpa bantuan apapun, matanya secara sengaja ditutup oleh kain hitam.

"Semuanya gelap" ujar Esmeralda memilih untuk berdiri. Ia menyerah untuk mencari keberadaan kursi. "Kau tidak takut?" tanya Jessi terkejut.

"Tidak. Ini pasti kain milik Sharon, aku mencium jejaknya" jawab Esmeralda santai. Jessi tertawa kecil seraya menggeleng-geleng pelan.

"Di mana Marella? Aku tidak mencium aromanya" Jessi terdiam. Ia menghentikan acara memasak makan malam, yang kebetulan untuk Marella.

Jessi menghela nafas lelah. Bingung bagaimana menjelaskan keadaan gadis itu.

"Katakan yang sejujurnya, bu"

Jessi menatapnya terkejut. "Kakinya patah, nak. Dan sepertinya Garon memutuskan untuk melakukan operasi"

Seperti biasa, Esmeralda tampak menunjukkan ekspresi datar namun tenang.

"Apa aku menyakitinya lagi?"

"Hahaha. Tidak, nak. Pria itu yang melakukannya"

Esmeralda menghela nafas merasa lelah. "Bunuh saja aku. Aku terlalu lelah untuk tetap hidup"

Jessi kembali menghentikan aktivitasnya. Patricia yang bahkan baru saja tiba di dapur menghentikan langkahnya.

"Esmeralda? Apa yang kau pikirkan, nak?" tanya Jessi menahan air matanya. "Aku sering menyakiti kalian, merepotkan kalian. Kalian berusaha mengobatiku, dan mustahil untuk menyembuhkan aku yang sudah lama menjadi vampir. 304 tahun aku hidup, semuanya hanya penderitaan yang menyiksaku"

Patricia segera menghampiri saudarinya dan ia segera memeluknya. "Bahkan iblis sepertiku juga ingin menikmati ketenangan tanpa harus tersiksa oleh sakit penyakit"

Air mata Patricia mulai turun membasahi pipinya. "Jika aku mati, aku harap aku bisa bereinkarnasi, lalu aku akan menjadi manusia biasa dan hidup bersama keluarga kecilku yang berharga"

Di sisi lain. "Ben, waktunya makan. Aku sudah memasak sesuatu untukmu" ujar Jennifer malam itu menjaga Benjamin.

"Apa yang kau masak?" tanya Benjamin menuruni anak tangga. "Sup biasa. Cuaca hari ini terasa dingin" jawab Jennifer mencoba mencicipi sedikit sup yang sedang diaduknya, untuk memastikan rasa dari masakannya itu.

"Bagaimana kepalamu? Apa masih terasa sakit?" tanya Jennifer memastikan keadaan sepupunya itu. "Tidak lagi" jawab Benjamin memilih untuk duduk di kursi meja makan.

"Hey, Jen. Mengapa kau sama sekali tidak takut ketika berhadapan dengan vampir di malam Damian diculik?" tanya Benjamin penasaran.

Jennifer terdiam. "Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?" tanya Jennifer terheran. "Aku penasaran. Kau bahkan langsung menelpon Abigail, kau juga tahu Lathesa berbeda sendiri di keluarganya" Jennifer tertawa kecil mendengar itu. "Karena ayah seorang pemburu"

Benjamin memiringkan kepalanya terheran. "Maksudmu? Pemburu hewan?" tanya Benjamin lagi. "Ya, dia banyak pengalaman menghadapi sesuatu semacam kejadian kemarin. Dan, dia juga sudah banyak bekerja sama dengan kepolisian di Sitka ini"

Benjamin tentu terkejut mengetahui hal itu. "Jadi selama ini, para polisi juga sudah tahu sesuatu seputar vampir dan.. Canis?" tanya Benjamin lagi.

"Tentu saja. Keturunan mereka tersebar di seluruh penjuru dunia. Tergantung kepercayaan orang-orang saja dalam menanggapinya" jawab Jennifer membenarkan.

Gadis itu menyajikan sup untuk Benjamin. "Arnest dan Ange kapan kembali? Sebenarnya mereka ke mana?" tanya Benjamin penasaran. Siapa mereka? Jennifer adalah sepupu Benjamin. Dia anak bungsu, dan memilih kakak laki-laki yang kembar.

"Mereka kuliah di New York, mereka baru akan kembali ketika musim salju" jawab Jennifer duduk di seberang Benjamin.

"Kau berkencan dengan Marella sudah cukup lama bukan? Seharusnya dia pernah bercerita saudarinya itu pernah hampir dikeluarkan dari sekolah" Benjamin tentu menghentikan acara menikmati makan malam itu.

"Siapa? Dia punya dua kakak perempuan" jawab Benjamin segera. "Esmeralda" Benjamin tentu terkejut mendengarnya.

"Apa yang dilakukannya? Marella tidak banyak menceritakan keadaan keluarganya sebelum kami bertemu" Benjamin tentu penasaran.

"Kau ingat saat aku menarikmu untuk melihat surat dari Laura di mading bukan? Itu bukan kali pertama Marella diperlakukan seperti itu. Biasanya aku memanggil Patrick. Terakhir kali, dia yang mengetahuinya dan dia berhasil membuat koma seorang laki-laki"

Benjamin bergidik ngeri mendengarnya. "Jadi kau berkencan dengannya bukan karena kau takut dengan Esmeralda bukan?" tanya Jennifer memastikan kembali.

"Yang benar saja, dari mana kau bisa berpikir hal seperti itu? Aku mengencaninya karena aku mencintainya" jawab Benjamin tertawa kecil seraya menggeleng-geleng pelan memaklumi.

"Tapi berjagalah, Ben pada mereka. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya" pesan Jennifer seraya menyantap sup buatannya. "Pasti" gumam Benjamin tersenyum.

"Apa kau sudah punya pacar?"

"Pertanyaan macam apa itu?"

Benjamin tertawa kecil mendengarnya. "Aku hanya ingin memastikan apakah sepupuku sudah menemukan pujaan hatinya" gumam Benjamin.

1
Leon I
terrimakasih banyak, yah! stay tune untuk Dear Dream🫵
palupi
padahal sempat geregetan jg sama jemma, eh taunya nyambung season 3.
lanjut deh thor... semangat 🙏👍💐
palupi
ok...
selamat berjuang /Good/
palupi
suka sama cerita model gini karena pertemanan mereka.
saling peduli, saling melindungi, saling berbagi.
setia kawan 👍❤️
Leon I
hehehe siap! terimakasih yah, nanti dibuatkan visual protagonis dan antagonisnya
palupi
tambah banyak tokohnya yg muncul.
sampe bingung mana kawan mana lwwan 🤭
semangat terus ya thor...❤
palupi
tambah seru...
lanjut thor 🙏❤️
Leon I
baik segera dilaksanakan tuan!!
palupi
luar biasa 👍
palupi
up lagi thor 🙏💕
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!