Ethan, cowok pendiam yang lebih suka ngabisin waktu sendirian dan menikmati ketenangan, gak pernah nyangka hidupnya bakal berubah total saat dia ketemu sama Zoe, cewek super extrovert yang ceria dan gemar banget nongkrong. Perbedaan mereka jelas banget Ethan lebih suka baca buku sambil ngopi di kafe, sementara Zoe selalu jadi pusat perhatian di tiap pesta dan acara sosial.
Awalnya, Ethan merasa risih sama Zoe yang selalu rame dan gak pernah kehabisan bahan obrolan. Tapi, lama-lama dia mulai ngeh kalau di balik keceriaan Zoe, ada sesuatu yang dia sembunyikan. Begitu juga Zoe, yang makin penasaran sama sifat tertutup Ethan, ngerasa ada sesuatu yang bikin dia ingin deketin Ethan lebih lagi dan ngenal siapa dia sebenarnya.
Mereka akhirnya sadar kalau, meskipun beda banget, mereka bisa saling ngelengkapin. Pertanyaannya, bisa gak Ethan keluar dari "tempurung"-nya buat Zoe? Dan, siap gak Zoe untuk ngelambat dikit dan ngertiin Ethan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Papa Koala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehangatan di Tengah Keramaian
Setelah berjam-jam menjelajah pasar lokal, Ethan dan Zoe kembali ke vila mereka, beristirahat sejenak di teras depan sambil menikmati semilir angin sore. Ethan menyesap jus kelapa segar yang baru dibelinya tadi di pasar, sementara Zoe memegang sebuah gelang anyaman yang ia dapatkan dari salah satu pedagang. Dia memutar-mutar gelang itu di tangannya, senyum kecil menghiasi wajahnya.
"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Ethan, menoleh ke arahnya sambil meletakkan gelas jusnya di meja.
Zoe mengangkat bahu. "Nggak tau. Cuma mikir, tadi itu hari yang menyenangkan. Sederhana, tapi menyenangkan."
Ethan mengangguk setuju. "Iya, nggak ada yang terlalu ribet. Tapi kadang, hal-hal yang sederhana emang yang paling ngena."
Zoe menatap Ethan sejenak, terdiam. "Aku setuju banget. Kita suka lupa kalau kebahagiaan itu bisa datang dari hal-hal kecil. Hari ini tuh kayak reminder buat aku, Eth."
Ethan terdiam sesaat, merenung. Zoe memang punya cara untuk membuatnya melihat kehidupan dengan cara yang berbeda. Di mata Zoe, hal-hal yang biasa saja bisa berubah jadi petualangan yang seru. Sementara dia, terlalu sering merasa perlu memikirkan segala sesuatu dengan perhitungan yang matang.
"Habis ini mau ngapain?" tanya Ethan akhirnya, mencoba mengalihkan percakapan.
Zoe melirik jam tangannya dan tersenyum lebar. "Aku mau masak malam ini. Kamu tau nggak? Di pasar tadi, aku ketemu bahan-bahan lokal yang unik banget. Aku penasaran mau eksperimen masak."
Ethan menatapnya dengan ekspresi skeptis. "Kamu? Masak? Seriusan?"
Zoe cemberut sambil memukul lengannya pelan. "Ih, jangan meremehkan gitu dong! Aku bisa masak, tahu! Aku nggak cuma jago ngomong aja."
Ethan tertawa kecil. "Oke, oke. Aku nggak sabar buat nyoba masakan kamu, Chef Zoe."
Dengan semangat, Zoe segera masuk ke dapur vila mereka, meninggalkan Ethan yang masih tersenyum sendiri di teras. Dia bisa mendengar Zoe sibuk di dapur, memotong sayuran dan mengocok sesuatu di mangkuk. Suara Zoe yang bersenandung pelan membuat suasana vila jadi lebih hidup. Ethan kemudian memutuskan untuk ikut membantu, meskipun dia tahu Zoe mungkin tidak akan benar-benar memerlukan bantuannya.
Ketika Ethan masuk ke dapur, Zoe sudah sibuk di depan kompor, menggoreng beberapa bahan di wajan. Asap tipis mengepul dari minyak panas, menyebarkan aroma yang mengundang.
"Wow, bau enak nih," Ethan berkomentar sambil mendekat.
Zoe menoleh dengan senyum bangga. "Tentu dong! Ini resep spesial. Nggak ada di buku masak manapun."
Ethan mengernyit. "Spesial gimana maksudnya?"
Zoe mengangkat alis dengan gaya misterius. "Ini hasil eksperimen total. Aku ambil sedikit dari sana-sini, improvisasi dikit, terus voila!"
Ethan tertawa pelan, merasa terhibur dengan semangat Zoe. "Kamu beneran nggak pake resep, Zo?"
Zoe menggeleng sambil tetap fokus menggoreng. "Resep itu overrated. Masak tuh soal intuisi. Kamu harus berani bereksperimen!"
Ethan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. "Ya, selama nggak bikin dapur kebakaran, aku setuju-setuju aja."
Beberapa menit kemudian, Zoe akhirnya selesai memasak. Dia menyajikan dua piring penuh dengan hidangan yang tidak bisa Ethan kenali, tapi aromanya cukup menggoda. Warna-warni sayuran, rempah-rempah, dan daging yang disajikan terlihat sangat menarik. Zoe meletakkan piring itu di meja makan dengan bangga, lalu menatap Ethan sambil berkacak pinggang.
"Silakan, Tuan Ethan. Cicipi karya kuliner terbaik dari Chef Zoe!"
Ethan memandang makanannya dengan sedikit was-was, tapi akhirnya mengambil garpu dan mulai mencicipi. Saat gigitan pertama masuk ke mulutnya, dia merasakan kombinasi rasa yang unik—sedikit manis, sedikit pedas, dengan sentuhan rempah yang kuat. Dia terdiam sejenak, mencoba menilai.
Zoe menatapnya penuh harap. "Gimana? Enak, kan?"
Ethan mengangguk perlahan. "Ini... nggak seperti yang aku duga. Tapi enak! Serius, Zo, aku nggak nyangka kamu bisa masak kayak gini."
Zoe tersenyum bangga, duduk di sebelah Ethan dan mulai makan juga. "Tuh kan! Aku bilang juga apa. Kamu terlalu sering ngeremehin aku, Eth."
Ethan tertawa kecil. "Bukan ngeremehin, Zo. Aku cuma belum pernah liat kamu masak sebelumnya."
Mereka berdua melanjutkan makan dengan suasana yang lebih santai. Obrolan kecil tentang hari-hari mereka di Bali, tentang rencana perjalanan berikutnya, dan tentang pengalaman-pengalaman kecil yang membuat mereka tertawa menjadi topik pembicaraan malam itu.
Setelah selesai makan, Zoe berdiri dan membawa piring-piring ke wastafel. "Aku cuci piringnya ya. Kamu duduk aja, nikmatin malam."
Ethan tersenyum. "Boleh juga. Jarang-jarang kan aku dimanjain kayak gini."
Zoe tertawa, menoleh sambil menjulurkan lidah. "Iya dong! Sekali-sekali giliranku buat manja kamu."
Sambil Zoe mencuci piring, Ethan memandang ke luar jendela. Langit Bali yang penuh bintang terasa begitu indah malam itu. Dia merasa damai, sesuatu yang jarang dia rasakan. Bersama Zoe, segalanya selalu terasa hidup, penuh warna, dan tak terduga. Bahkan momen yang sederhana seperti makan malam bisa berubah menjadi sesuatu yang berkesan.
Setelah selesai mencuci piring, Zoe berjalan kembali ke Ethan dengan senyum lebar. "Gimana kalau kita jalan-jalan sebentar di pantai? Kayaknya bagus banget buat liat bintang."
Ethan mengangguk setuju. "Sounds good."
Mereka keluar dari vila, berjalan santai menuju pantai yang hanya beberapa langkah dari tempat mereka menginap. Pasir putih yang dingin di bawah kaki mereka, suara ombak yang tenang, dan angin laut yang sejuk menemani mereka berjalan berdua.
"Ini keren banget," kata Zoe, memandang langit yang penuh bintang. "Kapan lagi kita bisa kayak gini?"
Ethan tersenyum, menoleh ke Zoe. "Ya, bener. Kadang aku lupa kalau hidup nggak cuma soal kerjaan dan rutinitas. Kadang kita butuh momen kayak gini, yang bikin kita berhenti sejenak dan nikmatin semuanya."
Zoe menatap Ethan dengan pandangan yang lebih lembut. "Itu dia. Makanya aku selalu pengen kamu bisa keluar dari zona nyaman kamu, Eth. Karena di luar sana, banyak banget hal yang bisa bikin kita bahagia."
Ethan mengangguk pelan, merenungi kata-kata Zoe. Dia merasa beruntung bisa bertemu dengan seseorang seperti Zoe, yang selalu membawa kegembiraan dan semangat dalam hidupnya. Tanpa Zoe, mungkin dia akan tetap terjebak dalam rutinitas yang monoton.
"Thanks, Zo," kata Ethan pelan. "Buat semuanya."
Zoe tersenyum hangat. "Aku yang harusnya bilang terima kasih, Eth. Kamu selalu ada buat aku, bahkan ketika aku bikin hal-hal yang aneh dan nggak jelas."
Mereka tertawa kecil bersama, lalu kembali menikmati malam itu dalam keheningan yang nyaman. Di antara obrolan ringan, suara ombak, dan gemerlap bintang di atas kepala mereka, Ethan dan Zoe menyadari bahwa perjalanan mereka masih panjang, tapi selama mereka bersama, setiap langkah akan selalu terasa penuh warna dan cerita yang seru.