Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.
Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.
"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.
Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.
Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.
Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...
Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 9.
Saat Alina kembali dari menjemput Daffa di taman kanak-kanak, langkahnya terhenti di depan kontrakan. Ia mendapati barang-barangnya sudah ditumpuk rapi di teras, seolah dunia memutuskan untuk mengusirnya hari ini.
Pemilik kontrakan, Bu Eni, menyambut dengan wajah bersalah.
"Maaf, Mbak Alina. Ada yang menawar kontrakan ini dengan harga lebih tinggi dari yang Mbak bayarkan. Saya... saya tak bisa menolak."
Alina memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan denyut emosi yang mulai melonjak. "Ini terlalu mendadak, Bu Eni. Saya belum sempat mencari tempat tinggal lain."
"Saya akan beri kompensasi, satu bulan uang kontrakan. Setidaknya... bisa membantu sementara." Nada suara Bu Eni lirih, tapi tetap tak mengubah kenyataan.
"Tak perlu, Bu. Terima kasih." Jawaban Alina singkat dan tegas. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba tetap berdiri tegak meski dadanya bergemuruh.
Tiba-tiba suara berat yang sangat dikenalnya terdengar.
"Ada apa, Alina?"
Davin berdiri di sana, mengenakan kemeja putih bersih dan tatapan yang penuh maksud. Ia melangkah pelan menghampiri, lalu melihat ke arah tumpukan barang di teras.
“Kenapa semua ini ada di luar?” tanyanya dengan nada terkendali, meski matanya menyapu tajam ke sekitar.
“I-itu... kontrakan ini disewakan pada orang lain,” Alina menjawab singkat.
“Benar, saya sudah menyerahkan pada penyewa baru. Tempat ini akan dijadikan ruang usaha, jadi Mbak Alina harus segera pindah.”
Semua tampak seperti kebetulan yang menyakinkan. Davin tahu persis, orang-orangnya lah yang menyewa tempat itu dengan harga tinggi hanya agar Alina pergi sebelum Rama berhasil menemukannya.
Rama sudah mencium jejak keberadaan Alina, dan Davin tak mau kehilangan Alina. Belum saatnya, Alina bertemu kembali dengan Rama.
Davin takut... Alina kembali bersama Rama.
“Lin, aku tahu tempat yang bisa kamu sewa. Tenang saja, harganya masuk akal. Kamu bisa bayar sesuai kemampuanmu.”
Alina menatap Davin dengan ragu dan curiga. Tapi Daffa tampak sudah kehabisan tenaga, anak kecil itu seperti anak seusia lainnya, menguap dan merengek ingin tidur.
Menolak hanya memperpanjang rasa tak nyaman, jadi Alina memilih tenang dan mengangguk. “Baik. Maaf merepotkan mu... dan terima kasih.”
Tanpa membuat keributan, Alina mengemas sisa barang. Mobil pindahan datang tak lama setelah Davin mengangkat ponselnya. Semua sudah diatur. Semua orang di sekitarnya dari supir, pemilik rumah baru, hingga pemilik kontrakan lama adalah bagian dari satu skenario.
.
.
Sekitar satu jam kemudian, Alina berdiri terpaku di depan sebuah apartemen modern di pusat kota Jogja. Di sampingnya Daffa terlelap dalam gendongan Davin, kepala kecilnya bersandar tenang di pundak pria itu.
Alina menatap bangunan tinggi itu dengan ragu. "Apartemen ini... terlihat sangat eksklusif.“
Davin meliriknya sekilas, kemudian tersenyum samar. "Tenang saja, pemiliknya teman lamaku. Kamu tak perlu khawatir, semua bisa dinegosiasikan. Apalagi kamu... rasanya sudah ahli dalam urusan tawar-menawar.“
Alina hendak membalas, namun pintu unit di hadapan mereka terbuka. Seorang pria seumuran Davin muncul, wajahnya langsung berbinar saat melihat Davin.
Ia mengangguk sopan, sebelum menoleh pada Alina. "Ibu Alina, ya? Silakan masuk. Saya pemilik unit ini."
Alina menggenggam tali tasnya erat, ia masih ragu. Pendapatannya sebagai penulis lepas dan jika ada panggilan seminar mungkin hanya sekitar 15 juta rupiah per bulan, terlalu jauh untuk menyentuh Apartemen sekelas ini.
Seolah membaca keraguannya, si pemilik berbicara lebih tenang. "Soal biaya, kita bisa bicarakan, Bu. Saya dan istri akan pindah ke luar negeri selama lima tahun. Yang saya cari bukan sekadar penyewa... tapi seseorang yang bisa merawat tempat ini dengan baik." Orang itu berusaha meyakinkan Alina.
Davin tetap berdiri di belakang Alina, diam namun menyiratkan wibawa. Tatapannya tajam, cukup untuk membuat siapa pun berhati-hati dalam memilih kata.
Bagaimana orang itu tidak berusaha menyakinkan, jika Davin menatapnya dengan tatapan mengintimidasi?
Alina pun melangkah masuk dengan perlahan. Interior apartemen itu rapi dan modern, dengan pencahayaan hangat yang memantulkan suasana nyaman namun berkelas. Seperti dugaannya , Apartemen ini bukan tempat tinggal sembarangan.
“Saya mengerti keraguan Ibu, tapi saya yakin... ini bisa menjadi solusi yang baik bagi kedua pihak.” Kata sang pemilik sambil menutup pintu dengan sopan.
“Terus terang…” Alina membuka suara dengan tenang, namun matanya tetap mengamati ruangan. “Saya tidak ingin mengambil keputusan tergesa-gesa. Harga, lokasi dan komitmen jangka panjang, semua harus saya pertimbangkan secara matang.”
Pemilik apartemen mengangguk, menghargai ketegasan Alina. “Tidak masalah, Ibu. Saya bukan tipe yang memaksa. Jika Ibu butuh waktu untuk berpikir, saya akan menunggu. Tapi kalau boleh jujur, saya merasa tempat ini akan cocok untuk Ibu dan putra Ibu.”
Davin yang sedari tadi diam, akhirnya membuka suara sambil mengayun pelan tubuh Daffa yang masih tertidur di gendongannya.
“Alina tidak butuh dikasihani atau dimudahkan. Yang dia perlukan hanya kesempatan yang adil, jadi... kalau memang bisa dinegosiasikan, pastikan semua transparan dan profesional.”
Alina menoleh cepat ke arah Davin, antara terkejut dan jengah. Namun pria itu tetap tenang seperti biasa, seolah ucapannya barusan hanya fakta yang harus diutarakan, bukan bentuk pembelaan.
“Tenang saja, Tuan. Saya sudah siapkan rincian kontrak dan perhitungan sewanya. Ibu Alina bisa membaca dengan tenang dan menyesuaikannya dengan kebutuhan.”
Alina mengangguk pelan. “Baik, kalau begitu kirimkan ke email saya. Saya akan mempertimbangkan dengan serius, setelah saya cek semuanya.”
“Tentu.“ Akhirnya pemilik itu bisa bernafas dengan lega.
“Pertimbangkan untuk tinggal di sini sementara waktu, Daffa tampaknya butuh tempat yang layak untuk beristirahat. Misalnya... ranjang.” Suara Davin terdengar datar namun berwibawa.
Ia menoleh pada pria yang mengaku sebagai pemilik apartemen. “Apakah tempat ini sudah dilengkapi perabotan?”
“Lengkap, Tuan. Termasuk seprai baru dan ranjang bisa langsung digunakan.”
“Antarkan saya ke kamar.” Davin menyampaikan perintah itu tanpa sedikit pun keraguan.
“Tunggu! Aku belum menyetujui untuk tinggal di sini__” Alina menahan langkah Davin.
“Pikirkan kenyamanan Daffa terlebih dahulu.” Potongan kalimat itu meluncur cepat dari bibir Davin. Tegas, tanpa memberi ruang untuk berdebat. Ia tidak sedang meminta persetujuan, ia sedang memastikan Alina tidak menolak.
Alina terdiam, tidak ada argumen lain yang bisa ia sampaikan saat Davin benar-benar melangkah masuk sambil menggendong Daffa menuju kamar yang tersedia.
Sementara itu, Alina hanya bisa menghela napas pelan. Tangannya membuka ponsel dan memeriksa email dari pihak penyewaan apartemen.
.
.
.
Di dalam kamar hotel yang remang-remang, Rama berdiri membelakangi jendela besar. Tirai berkibar perlahan oleh angin dari ventilasi, tapi udara di dalam ruangan justru terasa panas… menyesakkan.
Wajah Rama menegang, rahangnya mengeras saat sedang mendengar laporan dari orang suruhannya.
“Mohon maaf, Tuan…” suara sang informan terdengar berat, nyaris tak berani menatap Rama. “Saya terlambat sampai di lokasi, tempat kontrakan yang diduga menjadi tempat tinggal Nyonya Alina kini kosong. Ia telah pergi… dan tak seorang pun tahu ke mana.”
Rama membalikkan tubuh dengan cepat, bola matanya menajam seperti pisau. “Apa maksudmu pergi? Pergi ke mana?!”
Orang suruhan nya itu menelan ludah, lalu menambahkan dengan gugup. “Menurut pemilik kontrakan… seorang pria mengenakan jas mahal datang dan membawa Nyonya Alina pergi.”
Dentuman keheningan langsung meledak di kepala Rama.
Mata pria itu menajam, seakan menyayat udara. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan ritme tak teratur. Api cemburu menyambar tanpa ampun.
“Pria berjas mahal? Itu pasti bukan Zidan! Dia sudah menikah! Tidak mungkin dia, Zidan tak akan berani mengganggu Alina lagi setelah aku memukuulinya tanpa ampun!“ Rama menggertakkan giginya.
Tangan Rama mengepal, gerahamnya bergemeletuk seolah menahan badai yang siap meledak dari dalam dadanya. Bayangan Alina bersama pria lain berkelebat di pikirannya, membakar ketenangan yang selama ini ia pertahankan.
“Terus cari tahu dan kali ini... jangan sampai gagal lagi!” ucap Rama pelan, tapi dengan nada beracun yang dingin dan menusuk.
Begitu orang suruhannya berlalu, Rama melangkah cepat hampir memburu ke arah meja. Tangannya gemetar saat meraih botol kaca yang tinggal setengah berisi alkohol, lalu tanpa pikir panjang ia menyambar tutupnya dan meneguk langsung dari mulut botol.
Rasa pahit membakar tenggorokannya, tapi tak sebanding dengan perih yang mengoyaak dadanya.
Sejak Alina pergi, hanya alkohol yang bisa memeluknya dalam diam. Hanya itu yang mampu menenangkan badai yang mengamuk dalam jiwanya.
Jadi gugatan cerai tetap berjalan sesuai keinginan Galang. Tapi sekarang bukan kelegaan yang Galang dapatkan, hanya penyesalan yang dia raih.