Dara

"Pilihannya hanya dua. Kita menjual Seruni grub atau Ibra harus menceraikan Cantika! Aku benar kan, menantuku?"

Deg

Cantika membeku mendengar Papa mertuanya mengatakan hal itu, "D-darimana Papa tahu hal ini? Apa Dara yang memberitahunya?"

"Apa maksud Papa?" tanya Indira pada suaminya

"Seperti yang kau tahu. Seruni sudah tamat. Dan jalan satu - satunya adalah menjualnya. Dan kau pikir kembalinya Dara ditengah kita untuk apa jika tidak merusak rumah tangga Ibra dan Cantika"

Ibra bungkam tanpa kata, "Berpisah atau tidak, Papa yakin bukan Ibra tujuan Dara sebenarnya. Dia hanya ingin melihat kalian hancur"

"Aku rasa Papa tidak bisa menilai Dara seperti itu. Papa tidak mengenalnya" bela Ibra

Cantika tertawa, "Lihatlah putra Papa. Sejak kembalinya Dara, Ibra selalu saja membela perempuan itu"

"Mau membela seperti apapun, Dara tidak akan pernah mau kembali lagi pada Ibra. Dia bukan wanita bodoh yang mau kembali dengan masa lalu yang sudah menyakitinya"

"Jangan berdebat lagi" ucap Indira saat melihat Ibra hanya terdiam, "Sebaiknya kita pikirkan dimana kita akan bermalam malam ini. Sampai saat ini kita belum menemukan tempat tinggal"

"Bukankah suamiku ini masih memiliki apartemen pribadi? Aku rasa kita bisa tinggal disana sementara" usul Cantika

Ibra menghela nafas, bukannya tidak mau. Namun, apartemen itu adalah apartemen kenangannya bersama Dara. Banyak foto - foto mereka disana yang sengaja belum ia bereskan. Ibra memang tak pernah mengunjungi apartemen itu sejak hubungannya bersama Dara kandas, namun ia selalu rutin menyuruh orang membersihkannya seminggu sekali.

"Benar itu, Nak?" tanya Indira memastikan

"Benar. Tapi..."

"Ya sudah, kita kesana saja" putus Indra

Ibra hanya bisa pasrah jika nanti Papa dan istrinya marah melihat suasana didalam apartemennya.

Akhirnya mereka berangkat menuju apartemen Ibra. Perjalanan kesana hanya memerlukan waktu empat puluh lima menit.

Setibanya di apartemen, mereka segera menuju ke unit milik Ibra.

Klik

Begitu lampu di nyalakan, pemandangan pertama yang ditangkap semua mata adalah foto - foto Ibra dan Dara.

"Wah, jadi ini tempat rahasiamu menyembunyikan kenangan tentang Dara? Pantas saja kau tak menjualnya! Sungguh hebat kau Ibra!" cibir Cantika

"Kalian bisa istirahat didalam kamar. Ada dua kamar disini, Papa dan Mama bisa istirahat di kamar bawah"

Tak mau ambil pusing dengan foto - foto masa lalu, Indra langsung mengajak sang istri beristirahat.

"Biar aku yang membereskan semuanya!"

Ibra menatap istrinya sekilas, "Aku saja"

"Kalau kau yang membereskannya, aku tidak yakin kau akan membuangnya. Jadi, aku saja!"

Ibra pergi ke belakang, dia mengambil kotak box yang berukuran cukup besar

"Bereskan saja. Aku mau beristirahat" Ibra menyerahkan box tersebut pada istrinya

Cantika langsung mengambil foto - foto suaminya bersama Dara lalu membuangnya ke dalam box.

"Nyatanya kebahagiaan kalian tidak berakhir bersama. Menyedihkan!"

Usai membuang semua kenangan masa lalu suaminya, Cantika menyusul suaminya ke kamar. Dilihatnya Ibra sudah terlelap. Wajahnya terlihat begitu lelah dan jujur saja, Cantika merasa iba melihatnya. Ia menatap wajah suaminya dengan lamat, "Sampai kapanpun, aku tidak akan melepaskanmu, Ibra. Aku memang egois, tapi aku tidak mau kehilanganmu! Kalau aku tidak bisa bersamamu, maka Dara pun tak boleh bersamamu!"

🌿🌿🌿

Selain bangkrut, kini baik Indra maupun Ibra sama - sama belum mendapatkan pekerjaan. Menghubungi rekan - rekan dan teman - temannya dulu, tidak ada satupun yang bisa membantu. Hal ini membuat Indra putus asa. Berbeda dengan Ibra, pria itu sama sekali tidak putus asa. Ibra bahkan datang melamar langsung ke perusahaan - perusahaan tanpa malu. Prinsipnya, selama ia tidak mencuri tidak perlu malu.

"Maaf, tidak ada lowongan di perusahaan ini"

Kalimat ini sudah ke delapan kalinya Ibra dengar. Meski demikian, ia sama sekali tak menyerah. Ibra tersenyum, "Terima kasih"

Ibra pergi meninggalkan perusahaan lalu mendatangi perusahaan lainnya. Lelah memang, tapi jika tidak mencoba, ia tak akan tahu hasilnya. Setidaknya ia sudah berusaha maksimal. Perkara hasil akhirnya seperti apa, Ibra serahkan pada yang di atas.

"Kemana lagi aku harus pergi? Semuanya menolak"

Ibra bertumpu pada setir mobilnya, ia memejamkan mata sejenak.

Tok Tok Tok

Ibra menoleh mendengar kaca mobilnya di ketuk dari luar, "Dara?"

Ibra keluar dari mobil lalu menatap Dara. Wanita cantik itu tersenyum, "Kau butuh pekerjaan? Aku bisa memberikannya"

"Aku tidak mau"

Dara terkekeh, "Kau masih memiliki harga diri yang tinggi, Tuan Ibra"

Ibra bungkam, "Ada posisi yang cocok untukmu di perusahaanku. Kalau kau mau, aku bisa bekerja mulai besok"

"Apa sebenarnya tujuanmu?"

Dara menatap Ibra dengan tatapan datar, "Tentu saja memajukan perusahaan. Kau orang yang kompeten, tidak ada salahnya mempekerjakanmu. Aku cukup kasihan melihatmu mengalami musibah. Lagipula, tidak ada salahnya membantu teman lama"

"Aku tidak butuh belas kasihanmu"

"Haha, jangan jual mahal. Sejak tadi, semua perusahaan yang kau datangi menolakmu. Jika ada tawaran di depan mata, kenapa harus di sia - siakan. Kau tidak sedang takut pada istrimu kan?"

Ibra menghela nafas, "Bukan urusanmu"

"Baiklah. Pikirkan baik - baik tawaranku. Kalau kau berubah pikiran, hubungi aku" Dara memberikan kartu namanya pada Ibra. Gadis itu hendak pergi, namun perkataan Ibra mampu menahan langkahnya

"Aku menerima tawaranmu"