Medina panik ketika tiba-tiba dia dipanggil oleh pengurus pondok agar segera ke ndalem sang kyai karena keluarganya datang ke pesantren. Dia yang pernah mengatakan pada sang mama jika di pesantren sudah menemukan calon suami seperti kriteria yang ditentukan oleh papanya, kalang kabut sendiri karena kebohongan yang telanjur Medina buat.
Akankah Medina berkata jujur dan mengatakan yang sebenarnya pada orang tua, jika dia belum menemukan orang yang tepat?
Ataukah, Medina akan melakukan berbagai cara untuk melanjutkan kebohongan dengan memanfaatkan seorang pemuda yang diam-diam telah mencuri perhatiannya?
🌹🌹🌹
Ikuti terus kisah Medina, yah ...
Terima kasih buat kalian yang masih setia menantikan karyaku.
Jangan lupa subscribe dan tinggalkan jejak dengan memberi like dan komen terbaik 🥰🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merpati_Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Empat Belas
Pertanyaan Hamam terus terngiang-ngiang di telinga Medina hingga membuat gadis belia itu tak nyenyak tidur. Medina bahkan berkali-kali keluar dari kamar untuk sekadar menghirup udara segar di balkon, di lantai dua di mana kamarnya berada. Gadis itu merenung, mencoba meyakinkan perasaannya sendiri terhadap Hamam
"Apakah benar, aku sudah jatuh hati padanya?" tanya Medina pada diri sendiri karena wajah Hamam seolah tak mau pergi dari benaknya.
"Tapi, bagaimana jika ternyata dia tidak mencintaiku? Bagaimana jika Kang Hamam menikahiku hanya karena baktinya pada orang tua? Ya, meskipun dia tadi udah membuktikan keseriusannya dengan menerima tantangan dariku, sih? Tapi, tetap aja aku ragu. Ah, jawabannya tadi itu, loh, yang membuatku ragu," monolog Medina sembari menatap langit malam yang bertabur bintang.
Rupanya, gadis itu masih memikirkan obrolannya tadi dengan Hamam.
"Memangnya Kang Hamam sudah mencintai Dina? Sudah siap menjadi suami Dina?" tanya Medina.
"Kenapa bertanya seperti itu?" Bukannya menjawab, Hamam malah balik melontarkan pertanyaan.
"Ya, Dina pengin tahu aja. Karena dasar orang menikah itu 'kan, selain kesiapan hati, juga harus saling cinta."
"Enggak juga. Banyak, kok, yang menikah tanpa saling cinta sebelumnya."
"Tapi, akhirnya gagal di tengah jalan."
"Siapa bilang? Asal sama-sama pengertian, bisa tetap bertahan meski belum cinta."
"Tapi, tetap aja enggak asyik. Masak, tinggal serumah, tapi enggak ada cinta?"
"Bukan enggak ada, tapi belum?"
"Berarti, Kang Hamam belum cinta sama Dina?"
"Kenapa menyimpulkan seperti itu?"
"Ish, tinggal dijawab aja, sih! Kenapa malah balik nanya?"
"Menurutmu, bagaimana?"
"Ya, mana Dina tahu isi hati Akang! Dina 'kan bukan dukun!" jawab Medina, mulai kesal.
"Isi hati 'kan dapat terbaca melalui sikap, Dik."
"Sikap yang mana? Orang sikap Kang Hamam dingin kayak es balok gitu, kok!"
Hamam tersenyum. "Kembali ke pertanyaanku yang tadi, Dik. Aku tunggu jawaban kamu besok, bakda shubuh," kata Hamam, sebelum berlalu meninggalkan Medina yang nampak masih kesal.
"Kenapa enggak tidur, Dik?"
Pertanyaan Hamam, sukses membuat Medina yang tengah melamun, terkejut. Refleks, gadis itu pun menjawab; "Gara-gara mikirin Kang Hamam, lah. Siapa lagi?"
"Aku?" tunjuk Hamam, pada diri sendiri.
Medina langsung menutup mulutnya, setelah menyadari bahwa dia keceplosan bicara. "Eh, enggak-enggak! Dina enggak sedang mikirin siapa-siapa. Dina enggak bisa tidur karena banyak nyamuk di kamar."
Hamam menyipitkan mata, menatap Medina. Membuat gadis itu buru-buru ngeloyor pergi, setelah tersadar jika jawabannya barusan terdengar tak masuk akal. Mana ada nyamuk di kamarnya yang rapat dan berpendingin udara. Ah, gara-gara kehadiran Hamam yang tiba-tiba, membuat Medina jadi salah tingkah sendiri.
Pemuda itu pun tersenyum lalu berbalik untuk melanjutkan niatnya yang hendak mengambil minuman di dapur.
Sementara di dalam kamar, Medina merutuki kebodohannya. "Bisa-bisanya aku salting kayak tadi di hadapan dia. Hey, ke mana perginya si Dina yang penuh percaya diri?"
Medina mengamati wajahnya sendiri dari pantulan cermin besar di hadapan. Dia merasa, jika tidak ada yang salah dengan wajahnya. Tapi entah mengapa, kenapa kepercayaan dirinya seolah redup di hadapan putra bungsu sang kyai yang diam-diam telah mengambil tempat di hati Medina.
Gadis itu mengembuskan napas kasar lalu membanting tubuh lelahnya di atas pembaringan empuk. Tanpa melepas hijab bergo yang dia kenakan, Medina berniat memejamkan mata. Akan tetapi, baru sedetik matanya memejam, gadis itu beringsut lalu bangun.
"Iya, aku harus menemui Kang Hamam sekarang, dan memastikan sekali lagi sebelum aku memberikan jawaban," gumamnya sambil berlalu meninggalkan kamar.
Medina berjalan menuju dapur sambil celingak-celinguk, takut ada yang memergoki dirinya menyusul Hamam. Ya, tanpa bertanya Medina tahu tujuan Hamam karena pemuda itu membawa gelas kosong ketika bertemu dengannya tadi di balkon. Medina terus berjalan, masih sambil tolah-toleh hingga tak sengaja, gadis itu menabrak seseorang. Beruntung, orang tersebut sigap menangkap Medina, dan membawanya ke dalam dekapan.
"Duh, ini pasti Kang Hamam," gumam Medina yang masih berada dalam dekapan orang tersebut dengan jantung berdebar.
bersambung ...
ya salam
sesuai janjiku, di akhir bulan ini aku umumkan siapakah penghuni ranking pertama yang kasih dukungan pada kisah Medina-Hamam. Dan ... pendukung teratas adalah Kak Greenindya 🥰
Untuk pemenang, silakan chat aku, ya, untuk kirim alamat lengkap. Insyaallah novelnya aku kirim pertengahan bulan Juni, karena masih dalam proses cetak 🙏
Buat kalian yang pengin meluk aku, eh.. meluk novelku, bisa hub aku, yah, via chat di sini atau yg sudah save nmr wa ku bisa langsung japri.
mksh banyak untuk kalian semua. lope sekebon 😘😘