Divi hampir menyerah saat pengajuan pinjamannya ditolak, dengan alasan Divi adalah karyawan baru dan pengajuan pinjamannya terlalu besar. Tapi Divi memang membutuhkannya untuk biaya operasi sang ibu juga untuk melunasi hutang Tantenya yang menjadikan Divi sebagai jaminan kepada rentenir. Dimana lagi dia harus mendapatkan uang?
Tiba-tiba saja CEO tempatnya bekerja mengajak Divi menikah! Tapi, itu bukan lamaran romantis, melainkan ada kesepakatan saling menguntungkan!
Kesepakatan apa yang membuat Arkael Harsa yakin seorang Divi dapat memberikan keuntungan padanya? Lantas, apakah Divi akan menerima tawaran dari CEO yang terkenal dengan sikapnya dingin dan sifatnya yang kejam tanpa toleransi itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kiky Mungil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chap 14. Tangis Dalam Pelukan
"Divi dimana?" tanya Arkael begitu kakinya melangkah masuk ke dalam rumah, Dar yang membukakan pintu, padahal dia sudah siap untuk mengecup pipi gadis itu, entah kenapa sejak dalam perjalanan pulang, mengingat bagaimana Divi menatapnya kesal tapi bibirnya tersenyum sungguh menyegarkan, rasanya menyenangkan membuat gadis itu kesal tapi tidak bisa berkutik.
"Nona di dalam kamar, Tuan."
"Jam berapa Divi ke rumah sakit tadi?"
"Sekitar jam setengah sembilan, setelah Nyonya Paulina datang."
Langkah Arkael terhenti. "Mama datang?"
"Benar, Tuan."
"Sendiri?"
"Dengan seorang gadis."
Arkael berdecak kesal. "Lalu bagaimana dengan istriku? Apa Mama menyakitinya?"
"Secara fisik, tidak, tapi saya rasa...ucapan Nyonya melukai perasaan Nona."
Arkael membuang napas kasar. Dia sungguh frustasi menghadapi mamanya, kenyataan dirinya sudah menikah tidak sedikit pun membuat niat mama untuk menjodohkan dirinya dengan gadis-gadis pilihannya surut, malah semakin menjadi-jadi.
"Apa Divi sudah makan malam?"
"Belum, Tuan. Nona bilang belum lapar sejak tadi."
"Oke, kalau gitu tolong bawa makan malam kami ke kamar, ya Bu."
"Baik Tuan, akan saya siapkan."
Arkael segera menuju kamarnya, terselip perasaan khawatir setelah mendengar cerita singkat versi Dar. Dia perlu mendengar versi Divi. Begitu membuka pintu kamar, dia tidak melihat siapa-siapa di dalam ruangan itu. Tempat tidur kosong, sofa kosong, kamar mandi kosong, walk in closet kosong, sampai terdengar suara bersin dari arah balkon.
Benar saja, dari arah pintu kaca yang menjadi pembatas antara bagian balkon dan bagian dalam, terlihat tubuh mungil Divi duduk di atas kursi yang ada disana, kakinya diangkat dan ditekuk, ia memeluk kedua kakinya.
Divi terlihat mengusap lengannya sesekali, udara dingin koto Bogor apalagi rumah Arkael yang memang dekat dengan gunung membuat udara semakin menggigit kala malam.
Arkael ambil sebuah selimut seraya berjalan menuju balkon, digesernya pintu kaca itu dan ditutupnya kembali.
"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanyanya, datar, tanpa intonasi, tanpa ekspresi, tapi tangannya mengulurkan selimut kepada Divi.
"Duduk." jawab Divi sambil menerima selimut yang diberikan Arkael, kemudian mengarungi sebagian tubuhnya dengan kain tebal yang hangat itu.
"Spesifik."
Divi menghela napas. "Saya hanya lagi merenungi nasib saya aja, Pak. Juga lagi mikirin kemana saya harus bawa ibu saya pergi nanti setelah kontrak saya jadi artis dadakan ini selesai."
"Memang kenapa kamu harus pergi?"
Divi menatap Arkael dengan tatapan tak percaya. Sepertinya, pria dihadapannya selain suka seenaknya sendiri juga minim empati.
Divi menghela napasnya dengan sabar selangit.
"Gini ya, Pak. Nanti setelah ini berakhir, akan ada orang-orang yang gelar syukuran, misalnya Nyonya Paulina, perempuan yang namanya Bella itu, dan penggemar Pak Kael garis keras."
Arkael mengernyitkan tipis dahinya mendengar kalimat terakhir Divi.
"Dan akan ada juga orang yang kecewa, misalnya Kak- eh, Tuan Argam, yah walaupun akan lebih banyak yang mencibir saya. Intinya saya harus bawa ibu saya pergi menjauh dari orang-orang, jauh dari jangkauan media. Karena perpisahan nanti bukan hanya berdampak ke saya aja, tapi juga ke ibu saya." kata Divi. Ia mengatakannya dengan tenang, tidak terlihat emosi sama sekali.
Arkael mengangguk mengerti. Ia kemudian menyandarkan pinggangnya pada pagar pembatas hingga kini berdiri bersandar menghadap Divi.
"Kamu pikir, apa saya nggak akan terkena dampak?"
"Nggak lah." jawab Divi cepat.
"Kenapa begitu?"
"Ya karena Bapak tuh... Apa ya, punya kuasa. Nggak mungkin media dan netizen mencibir Bapak. Yang akan menjadi sasaran udah pasti pihak saya. Dimana-mana pasti begitu." Jelas Divi.
"Lalu, sudah punya tujuan kemana kamu akan pergi?"
Divi menggeleng.
"Nanti akan saya bantu."
"Eh? Bantu apa?"
"Supaya media tidak mengganggumu, begitu pun juga dengan orang-orang."
"Tapi kenapa, Pak?"
Arkael mengedikkan bahu, "Permintaan maaf saya ke Ibu kamu."
Senyum Divi terbit, tidak lebar, tapi senyuman itu terlukis sangat tulus. Dan itu cukup membuat sesuatu menyentuh lembut hati Arkael.
"Dar bilang, Mama datang?"
Divi mengangguk. "Iya, berdua sama Bella. Calon mantu pilihannya."
Arkael berdecak, ia mengalihkan wajahnya, matanya menatap kosong pemandangan di depan matanya yang dinaungi langit malam
"Padahal pilihan Nyonya Paulina sangat cantik lho, Pak, kenapa nggak Bapak terima aja sih?"
"Kalau saya terima, Ibumu besok belum bisa dioperasi." Sindir Arkael.
"Ah, ya benar juga ya." Divi mengangguk.
"Apa yang dikatakan Mama ke kamu?"
"Banyak. Intinya sih, Nyonya sangat ingin mendepak saya sebagai mantunya."
"Dia pasti mengucapkan kata-kata yang menyakitkan."
"Ya gitu deh, tapi kan saya memang dibayar untuk menghadapi Nyonya sampai beliau menyerah kan?"
"Ya, salah satunya itu."
"Oh, berarti ada salah lainnya?"
Arkael kembali menatap Divi dengan tatapan datarnya. "Lakukan saja peranmu sebaik mungkin."
"Oke. Jangan lupa akhir bulan nanti, Pak Kael bayar gaji saya, plus bonus dan plus denda 50%"
Arkael berdecak, "Apa hanya ada uang dalam otakmu itu?"
"Iya." jawab Divi tanpa ragu. "Saya harus mengumpulkan modal dari sekarang untuk memulai hidup baru sebagai janda nantinya."
Arkael mendengkus. Entah kenapa terbesit rasa tidak suka mendengar Divi bicara seperti itu. Seperti ada sesuatu yang tercubit di dalam dadanya.
"Oh ya, omong-omong soal modal hidup, saya berpikir untuk mengubah isi poin yang saya tulis kemarin."
"Apa lagi yang diubah?"
"Saya terpikir bagaimana kalau denda harus disesuaikan dengan jumlah sentuhan yang Pak Kael lakukan?"
"Kamu mau menguras tabungan saya?"
"Kan memang itu tugas seorang istri, menguras tabungan suami. Hehehehe."
Seharusnya Arkael marah, dan normalnya pasti Arkael marah, bisa-bisa dia memerintahkan Bimo untuk membuat hidup Divi sengsara karena terang-terangan ingin menguras tabungan Arkael, tapi yang terjadi malah bibirnya melengkung, ia tersenyum. Bukan karena lelucon yang dibuat gadis itu, melainkan karena melihat Divi tertawa.
Lewat tengah malam, Arkael terbangun, ia biasa terbangun karena panggilan alam, setelah keluar dari kamar mandi, dia baru menyadari sofa dimana Divi tidur tadi telah kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan gadis itu di kamar, begitu pun di balkon.
"Kemana dia?"
Ia ingin mengabaikan, tapi rasa perduli yang dia bungkus dengan alasan penasaran membawa kakinya melangkah ke luar kamar. Saat itu juga, ia melihat lampu di ruang tengah menyala, dan suara lantunan ayat suci terdengar. Hatinya terkesiap. Ia hampir tidak pernah mendengar lantunan ayat suci sedekat ini. Lantunan itu terdengar sangat merdu dan menenangkan.
Pelan-pelan Arkael melangkah, menuruni tangga dan melihat Divi disana, duduk pada salah satu sofa dengan kitab suci di atas pangkuannya. Arkael mendengarkan dalam diam ayat yang dibaca Divi, tapi lama-lama suara Divi bergetar, seperti orang yang menahan tangis, hingga terdengar isak dalam suaranya.
"Divi..."
"Eh..." Divi segera menyudahi kegiatannya. Dia menutup kitab suci itu dan mengecup sampulnya sebelum diletakkannya perlahan di atas meja.
"Maaf, apa sa- apa aku membangunkan kamu?" tanya Divi, nyaris dia lupa kalau dirinya sedang berada di luar kamar, meski kemungkinan Dar tidak mungkin memata-matai mereka saat ini.
"Padahal aku sengaja ngaji disini supaya nggak..." Kalimat Divi berhenti ketika tangan Arkael mengusap lembut pipi Divi yang basah.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Arkael. Sangat lembut, sampai rasanya Divi ingin menangis lebih kencang.
"Aku nggak apa-apa." jawab Divi sambil memaksakan seulas senyum.
"No, you're not." Seiring dengan balasan itu, Arkael menarik Divi dalam pelukannya. Saat itu juga tangis Divi pecah.
"Aku takut. Besok, ibu akan baik-baik saja, kan? Karena aku nggak punya siapa-siapa lagi..."
"Kamu nggak sendirian..."
Divi menggeleng.
Kamu punya... saya?
.
.
.
Bersambung ~