"Bagaimana rasanya jatuh cinta dengan wali yang ditugaskan oleh ayah saya?"
Amara yang muda dan cantik memiliki kehidupan yang bahagia dan sempurna; ia dicintai oleh orang tuanya, sukses dalam studinya, dan telah menjadi direktur perusahaan sejak usia sembilan belas tahun.
Namun, di balik permukaan yang di irikan semua orang itu, ada sesuatu yang membuatnya sedih. Melihat pria yang dikaguminya sejak kecil menikah dengan wanita lain, Amara yang sombong hampir tidak bisa menyembunyikan rasa sakit dan kesedihan di hatinya.
Di sisi lain, Akmal yang tahu dirinya tidak boleh jatuh cinta, namun tanpa sadar dirinya terus memperhatikan Amara. Saat melihat Amara bersama pria lain, ia peduli dan cemburu...
Akankah roda takdir menuntun keduanya untuk saling mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menunggu kabar
"Maaf mas merepotkan." Astrid menunjukkan wajahnya di depan Akmal.
"Tidak apa, yang penting dia sudah mendapat penanganan." Akmal menatap bayi berusia empat bulan yang terlelap dengan selang infus.
Astrid menatap putrinya dengan tatapan sendu, tanganya mengusap kening putrinya dengan lembut.
"Kalau tidak ada mas Akmal aku tidak tahu harus meminta tolong pada siapa," Astrid mengusap pipinya yang basah dan menatap Akmal dengan senyum sendunya. "Terima kasih untuk semuanya Mas, maafkan aku yang masih selalu bergantung dengan mas Akmal." Astrid berkata dengan tulus.
Akmal menghela napas, "Jangan sungkan, Kalea sudah aku anggap anakku sendiri."
Astrid yang mendengar hatinya merasa teriris, di saat anaknya tidak mendapat pengakuan dari ayah biologisnya, ada sosok pria yang mau mengakuinya sebagai anak meskipun dirinya sudah menyakiti pria itu. Astrid merasa malu dan juga menyesal dengan kebodohan yang dia lakukan.
"Kalau ada apa-apa hubungi aku, aku harus pulang." Ucap Akmal yang sejak tadi pikiranya sudah tidak tenang.
"Iya Mas, terima kasih untuk semuanya."
Akmal meninggalkan ruangan anak Astrid di rawat, pria itu melihat ponselnya yang sejak tadi ia abaikan. Karena panik dan khawatir dengan putri Astrid, membuatnya mengabaikan janjinya dengan Amara.
"Sial, pasti dia sudah menunggu." Gumam Akmal yang memilih langsung masuk mobil meninggalkan rumah sakit.
Tangan dan matanya fokus mengemudi, tapi pikiranya tertuju pada Amara yang pastinya kecewa karena menunggunya. Akmal melakukan panggilan melalui alat penghubung yang ia pasang di telinga, dan sejak tadi hanya ada suara operator provider yang menjawab.
Dengan kecepatan tinggi Akmal melajukan mobilnya, suasana malam cukup lenggang membuatnya tidak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman pak Hisyam.
Akmal keluar dari mobil langkahnya tergesa untuk segera sampai di pintu, menekan bel beberapa kali tidak ada sahutan ataupun tanda-tanda akan di bukakan pintu membuat Akmal mengusap wajahnya kasar.
"Amara maaf kan aku," Akmal mondar mandir diteras rumah pak Hisyam, beberapa kali melakukan panggilan tapi sama sekali tidak bisa tersambung.
"Ish, kemana mereka pergi." Gumamnya lagi dengan perasaan yang tak tenang.
Saat akan pergi tiba-tiba Astrid menelepon jika putrinya mengalami muntah hebat, Akmal yang khawatir dan cemas dengan keadaan anak Astrid pun memilih untuk membantu Astrid lebih dulu, karena biar bagaimanapun Astrid tidak memiliki siapapun, pria yang sudah membuatnya hamil lari dari kenyataan. Cukup berat kehidupan Astrid tapi Akmal selalu memberinya suport dan bahunya untuk wanita yang pernah ia cintai namun rasa itu sudah hilang bersama kekecewaan yang ia dapatkan.
"Amara maaf, aku minta maaf tidak bisa datang. Kamu kemana?"
Pesan yang Akmal kirim centang satu, membuat Akmal semakin resah.
*
*
Keesokannya...
Kedatangan keluarga jelas sangat ditunggu Arabella, kedua orang tuanya dan kakaknya Samuel beserta keluarganya kini datang berkumpul di rumahnya.
"Ibu, bapak." Arabella memeluk kedua orang tuanya bergantian, dua bulan tidak bertemu membuatnya merasakan rindu. "Ara kangen kalian." katanya dengan bibir tersenyum lebar.
"Kami juga nak," Pak Hisyam memeluk putrinya penuh hangat.
Tak lupa pada Samuel dan Diandra, mereka juga melakukan pelukan rindu sesama keluarga.
"Aku tidak bisa menenangkan Denada, coba lihat mereka." Diandra menujuk dengan dagunya.
Perhatian mereka tertuju pada tiga anak dengan satu berbeda generasi. Jika dia remaja berusia dua belas tahun, lain dengan Denada yang baru berusia tujuh tahun.
"Dia kesepian kak, makanya pengen kesini menyusul kakaknya." Ucap Arabella dengan tersenyum.
"Ck, masa iya dua anakku tidak ada yang betah di rumah, Rafael seperti lem pada Arjun, sedangkan Denada tidak bisa jauh-jauh dari kakaknya." keluh Diandra yang merasa sedih melihat dua anaknya yang seperti tidak betah berada di rumahnya.
"Kalau begitu bagaimana dengan progam ketiga, di ACC tidak." Samuel datang dan merangkul bahu istrinya.
Diandra mendelikkan matanya, "Abang tidak ingat saat hamil mereka, siapa yang tidak bisa makan sampai berat badan turun persis seperti penyakit busung lapar."
Samuel menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal, dengan tersenyum kaku.
"Nambah ngak papa, biar mereka berdua tinggal disini." Ledek Arabella.
"Ish, yang ada aku gak bisa tidur dan makan dengan enak." Gumam Diandra.
Di dalam hotel Amara baru saja merebahkan tubuhnya, gadis itu menatap langit kamar hotel yang bernuansa putih.
Sengaja Amara menginap di hotel, karena dirinya berniat memberikan surprise untuk kedua orangtuanya.
Tubuhnya yang lelah memilih untuk istirahat, melupakan ponselnya yang ia matikan sejak naik pesawat.
Padahal ada sosok pria yang sedang galau karena tidak mendapat kabar, sosok siapa kah itu????
Next update bab 😜
menunggu lama ternyata dpt bekas siapa tuh
akhirnya jika org yg berjuang tk mu menyerah maka kamu sendiri yg mengalami penyesalan