NovelToon NovelToon
JANGAN MADU AKU GUS

JANGAN MADU AKU GUS

Status: tamat
Genre:Tamat / Poligami / Dijodohkan Orang Tua / Penyesalan Suami / Pihak Ketiga
Popularitas:1.1M
Nilai: 4.8
Nama Author: HANA ADACHI

🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳

Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏

Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.

Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.

Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.

Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?

Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14. Kedatangan Gus Ihsan

Pagi ini, Ponpes Darul Quran kedatangan tamu penting. Tamunya adalah kelompok organisasi Pemuda dan Pemudi Islam atau PPI, yang anggotanya merupakan putra dan putri dari para kyai di seluruh Indonesia.

Organisasi tersebut bertujuan membimbing para santri di pondok pesantren untuk belajar menjadi pengusaha di bidang yang mereka minati masing-masing.

Hafsa tidak menduga jika kedatangan kelompok organisasi tersebut akan membuatnya bertemu dengan seseorang.

"Gus Ihsan?" Hafsa terbelalak melihat laki-laki yang ia kenal berada di antara para anggota.

"Assalamu'alaikum Ning Hafsa," Gus Ihsan menyapa sembari tersenyum lebar.

"Wa.. waalaikumsalam Gus.." Hafsa menjawab patah-patah, masih merasa terkejut.

"Loh? kalian saling kenal?" Umi Zahra bertanya heran. "Bukannya kamu baru pulang dari Turki ya San?"

"Njeh Bu Nyai, dulunya Hafsa ini adik tingkat saya waktu kuliah S1,"

"Oalah, tidak menyangka bisa bertemu disini ya Nduk?" Abah Baharuddin menoleh pada Hafsa yang hanya mengangguk mengiyakan.

"Jadi, kami berencana memberikan bimbingan selama empat puluh hari kepada para santri disini. Sebelumnya, kami akan kelompokkan para santri sesuai dengan bakat dan minat masing-masing. Setelah itu, barulah mereka akan dibantu untuk meningkatkan skill mereka, dan diajarkan bagaimana cara untuk membuka usaha dibidang tersebut,"

Abah Baharuddin mengangguk-angguk mendengar penjelasan Gus Ihsan. Hafsa tersenyum melihat semangat Gus Ihsan yang tampak meluap-luap. Ah, melihat Gus Ihsan yang berbicara dengan nada menggebu-gebu membuatnya teringat akan masa kuliahnya dulu.

Gus Sahil yang duduk di samping Hafsa diam-diam memperhatikan gerak gerik istrinya.

"EHEM!" Ia sengaja berdehem keras-keras untuk membuat perhatian sang istri teralih kepadanya. Namun bukan hanya Hafsa, suara tersebut malah membuat mata semua orang tertuju padanya. Gus Sahil tersenyum meringis, salah tingkah.

"Haus Gus?" Hafsa memberikan segelas air minum pada Gus Sahil. Gus Sahil menerimanya dan minum dengan terburu-buru

"Terimakasih untuk kerjasamanya Yai," Gus Ihsan menyalami Abah Baharuddin dengan takzim setelah selesai menjelaskan. "Saya sudah tidak sabar untuk segera melaksanakan program kami,"

"Iya Gus, Abah juga berterimakasih. Jarang sekali ada anak muda zaman sekarang yang mau repot-repot meluangkan waktu, tenaga dan uangnya untuk membantu para santri. Semoga berkah ya,"

"Aamin..Yai, Aamin.."

"Kalau begitu, kita akan mulai sosialisasinya Yai,"

"Silahkan, silahkan," Abah Baharuddin menemani para anggota PPI untuk menuju aula. Para santri sudah dihimbau untuk berkumpul di sana sebelumnya.

"Kamu sejak kapan kenal sama Gus Ihsan?" Gus Sahil bertanya penuh selidik saat Abah dan para anggota PPI sudah pergi ke aula.

"Sejak kuliah Gus, kan tadi njenengan dengar sendiri,"

"Kok kamu nggak pernah cerita?"

"Memang njenengan tanya?"

"Ya.. Kan aku pengen tahu juga,"

Hafsa menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa pertanyaan Gus Sahil sama sekali tidak penting. Kemudian ia membantu mbak santri membawa gelas bekas air minum tamu ke tempat cuci piring.

...----------------...

Gus Sahil ikut mendampingi para anggota PPI yang sedang bersosialisasi. Tampak Gus Ihsan menjadi pembicara diantara para anggota. Cara bicaranya juga sangat menarik. Gayanya santun, tegas, tapi juga mudah dimengerti. Beberapa kali para santri tertawa dengan lelucon yang ia buat.

Setelah selesai sosialisasi, anggota yang lain kemudian membagikan formulir kepada para santri. Sementara Abah Baharuddin, Gus Sahil dan Gus Ihsan pergi mengecek lokasi.

"Nanti untuk tempat usahanya kami buatkan stand stand kecil di sini," Gus Ihsan menunjuk tanah lapang yang berada di belakang asrama. "Kami akan berupaya membantu memberikan biaya modalnya,"

"Terus darimana keuntungannya Gus?" Gus Sahil bertanya-tanya. "Apa ndak rugi kalau diberikan cuma-cuma?"

"Kami menerapkan sistem bagi hasil untuk usaha yang akan dibangun nanti," Gus Ihsan menjelaskan. "Bisa dibilang, kami adalah investor untuk para pengusaha. Jadi, nantinya keuntungan yang didapat dari usaha tersebut akan masuk ke organisasi kami,"

Gus Sahil mengangguk-anggukan kepalanya, ia akui Gus Ihsan sangat pintar menjawab berbagai pertanyaan. Perlahan-lahan, kepercayaan diri Gus Sahil agak menciut ketika berhadapan dengan laki-laki itu.

***

"Saya dulu selalu kagum dengan istri njenengan," ucap Gus Ihsan saat mereka berdua berjalan kembali ke ndalem. "Semangat belajarnya jauh lebih besar dari kebanyakan orang,"

Gus Sahil tidak berkomentar. Lebih tepatnya, dia bingung mau menjawab apa karena tiba-tiba Gus Ihsan membahas tentang Hafsa.

"Istri njenengan cerita tidak, kalau dia dulu juara lomba puisi nasional?"

Gus Sahil menggeleng. Dia bahkan tidak tahu apa-apa soal istrinya.

"Dari dulu, istri njenengan itu orangnya memang tidak banyak bicara," Gus Ihsan tersenyum lebar. "Waktu tahu istri njenengan menang lomba itu, saya sebagai ketua BEM langsung minta ke pihak kampus untuk memasang banner ucapan selamat,"

Tatapan Gus Sahil kini benar-benar tertuju pada Gus Ihsan.

"Istri njenengan sampai terkaget-kaget. Ngotot minta diturunkan bannernya. Tentu saja saya menolak. Bagaimanapun, prestasi seseorang itu harus diapresiasi,"

Kata-kata Gus Sahil sudah tertelan di dalam kerongkongan. Kenapa lelaki ini bicara seolah mengenal Hafsa begitu banyak?

"Gus," Hafsa, orang yang sedang dibicarakan tiba-tiba muncul di belakang mereka, membuat kedua lelaki itu menoleh bersamaan. "Makan siang sudah siap. Silahkan didahar dulu,"

(Didahar: dimakan)

Gus Ihsan tersenyum lebar. "Masakan njenengan ya Ning?"

"Ah, bukan Gus, masakan para santri. Saya cuma membantu saja," jawab Hafsa dengan tersenyum pula.

Gus Sahil melihat pemandangan itu dengan kepala panas, seolah ada api yang membakar kepalanya. Ia kemudian beranjak ke ruang makan lebih dulu, menoleh pada Hafsa yang berdiri di depan pintu ruang makan.

"Ayo istriku, kita masuk,"

Kedua alis Hafsa bertaut. Istriku? Panggilan apa Pula itu? Meski terheran-heran, ia mengikuti saja Gus Sahil yang pergi ke ruang makan.

Karena meja makan tidak punya kursi yang cukup untuk para anggota, tempat makan pun akhirnya dipindahkan di balkon lantai dua. Balkon tempat Abah Baharuddin menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca buku itu memang punya ruangan yang luas, dengan pemandangan yang langsung menghadap ke asrama. Memperlihatkan kegiatan mengaji para santri.

Hafsa sendiri juga ikut duduk di sana, bersandingan dengan Gus Sahil, dan Gus Ihsan di depan mereka.

"Jadi kalian sudah kenal lama?" Abah Baharuddin kembali membahas hubungan pertemanan Hafsa dengan Gus Ihsan. "Sudah sering ketemu juga dari dulu?"

"Kalau ketemu sih jarang Bah," Hafsa yang menjawab. "Gus Ihsan ini dulu waktu di kampus aktif sekali berorganisasi. Hampir nggak pernah ada waktu luang. Kalau Hafsa kan mahasiswa kupu-kupu. Datang ke kampus, masuk kelas, terus pulang,"

"Tapi karena aktif organisasi itu saya jadi sekelas dengan Ning Hafsa Yai," Gus Ihsan menyambung. "Karena saya jarang masuk kelas, saya dapat nilai D. Saya harus mengulang lagi mata kuliah sebelumnya. Makanya saya beberapa kali bisa satu kelas dengan Ning Hafsa,"

"Iya, njenengan bahkan pernah ngulang kelas tiga kali kan Gus?" Hafsa bertanya meledek.

"Ah, jangan diomongin disini Ning, saya jadi malu sama Pak Yai dan Bu Nyai," Gus Ihsan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, pura-pura malu.

Sontak, Abah Baharuddin, Umi Zahra dan Hafsa tertawa. Gus Sahil sendiri tidak ikut tertawa, sibuk mengunyah daging ayam yang entah kenapa terasa alot hari ini.

Entah kenapa pula, Gus Sahil merasa dadanya panas, seperti ada sesuatu yang terbakar di dalam sana.

1
Murci Sukmana
Luar biasa
Arin
/Heart/
Anita Candra Dewi
klo ak lgsg tak ganti yg serupa😅
bibuk duo nan
😭😭😭😭
ALNAZTRA ILMU
sini aku tak tahan🥺🥺🥺
ALNAZTRA ILMU
knp tidak dari dulu buat program hamil.. tapi terburu2 carikan suaminya isteri baru sok kuat
ALNAZTRA ILMU
ini agak biadab ya.. sepatutnya, jangan suka ganggu
ALNAZTRA ILMU
🤣🤣🤣wahhh
ALNAZTRA ILMU
🤣🤣🤣
ALNAZTRA ILMU
berat ya ujian nya
ALNAZTRA ILMU
mundur saja
Izza Nabila
Luar biasa
PURPLEDEE ( ig: _deepurple )
hafsa kasian bnget😭
PURPLEDEE ( ig: _deepurple )
hai kak maaf bru mampir🤗
May Keisya
kamu nikah lagi karna nafsu dan mendzolimi istri...paham agama yg ky gmn Gus???
May Keisya
dia tambah setress gesrek egois😂
May Keisya
dia udah mulai ketar ketir...tapi maaf ya Gus aku udah kesel bin kurang suka km dr awal cerita🙄
May Keisya
😂😂😂...bagus ih jujurnya
May Keisya
km knp Gus? kepanasan...syukurin
May Keisya
😭...si Agus emg sableng,dia berilmu tapi tidak beradab...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!