Neo terbiasa hidup dalam kekacauan.
Berantem, balapan liar, tawuran semuanya seperti rutinitas yang sulit ia hentikan. Bukan karena dia menikmatinya, tapi karena itu satu-satunya cara untuk melampiaskan amarah yang selalu membara di dalam dirinya. Dia tahu dirinya hancur, dan yang lebih parahnya lagi, dia tidak peduli.
Setidaknya, itulah yang dia pikirkan sebelum seorang gadis bernama Sienna Ivy masuk ke hidupnya.
Bagi Neo, Sienna adalah kekacauan yang berbeda. Sebuah kekacauan yang membuatnya ingin berubah.
Dan kini, dia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya akan dikirim ke Swiss jauh dari Sienna, jauh dari satu-satunya alasan yang masih membuatnya merasa hidup.
Sienna tidak terima. "Biar aku yang atur strateginya. Kamu nggak boleh pergi, Neo!"
Neo hanya bisa tersenyum kecil melihat gadis itu begitu gigih memperjuangkannya.
Tapi, bisakah mereka benar-benar melawan takdir?
Yuk, kawal Neo-Siennaꉂ(ˊᗜˋ*)♡
Update tiap jam 14.59 WIB
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CYTT(Part 23) Ketika Semua Mulai Berubah
Happy Reading (。•̀ᴗ-)✧
⋇⋆✦⋆⋇
Keesokan harinya...
Pagi menyapa tanpa kehangatan seperti biasanya. Sienna terbangun dengan mata berat dan kepala yang masih penuh dengan pikiran semalam. Meski tidurnya cukup, tubuhnya terasa lelah. Tapi dia tahu, hidup tetap berjalan, dan sekolah menantinya seperti biasa.
Seperti rutinitas setiap pagi, Sienna melangkah menuju ruang makan untuk sarapan. Namun kali ini, langkahnya terasa ragu. Dia masih enggan berhadapan dengan kedua orang tuanya, terutama setelah insiden semalam yang belum sepenuhnya reda di hatinya.
Begitu tiba di ruang makan, matanya langsung menyapu sekeliling, mencari sosok Papa Satya dan Mama Sonia. Tapi yang dia temukan hanyalah meja makan kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka.
“Kemana mereka?” batinnya bertanya, sedikit bingung.
Tak lama kemudian, Bik Lastri muncul dari arah dapur, membawa nampan berisi makanan. Menyadari ekspresi Sienna yang kebingungan, Bik Lastri segera menjelaskan,
“Papa dan Mama kamu sudah berangkat keluar kota sejak subuh tadi, Nona. Katanya ada urusan penting di perusahaan.”
Sienna hanya mengangguk pelan. Ada sedikit rasa lega karena tidak perlu bertatap muka pagi ini, tapi juga ada sedikit kekosongan yang tidak bisa dia jelaskan. Dia lalu duduk dan mulai menyentuh sarapannya, meski tanpa selera.
Dalam diam, pikirannya masih melayang pada percakapan semalam, pada perasaannya sendiri, dan pada satu nama yang terus berputar dalam kepalanya—Neo.
Setelah sarapan yang hambar, Sienna bersiap berangkat ke sekolah. Sepanjang perjalanan, dia hanya menatap kosong ke luar jendela mobil. Hatinya masih terasa berat, pikirannya masih diselimuti kabut. Tapi dia memaksa dirinya untuk tetap tenang, mencoba menjalani hari seolah semuanya baik-baik saja.
Setibanya di gerbang sekolah, riuh rendah suara siswa yang saling menyapa dan tertawa tak benar-benar menyentuhnya. Dunia di sekitarnya terasa begitu jauh, seakan dia berjalan di tengah keramaian tapi tak benar-benar hadir di sana.
Langkahnya menyusuri koridor yang sudah dia kenal luar kepala. Dinding yang dulu terasa akrab, kini seolah asing. Beberapa teman menyapanya dengan senyum dan sapaan ringan, tapi dia hanya membalas dengan anggukan kecil atau senyum tipis—sekadar formalitas.
Saat sampai di kelas, Sienna langsung mendudukkan dirinya di bangku. Pandangannya kosong, pikirannya mengembara entah ke mana. Baru saat itu dia menyadari… betapa sepinya hidupnya belakangan ini.
Di tengah lamunannya, suara getar ponsel memecah keheningan. Sienna melirik layar. Nama yang terpampang membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Mr. Neo🌹.
Notifikasi pesan baru tertera di sana. Namun sebelum sempat dia membuka, sebuah panggilan masuk—masih dari nama yang sama.
Sienna menatap layar itu lama, jari-jarinya menggantung di udara. Mungkin… ini saatnya. Mungkin, cukup sudah dia membiarkan Neo menunggu dan bertanya-tanya tanpa jawaban.
Perlahan, dia mengangkat ponselnya. Kali ini, tidak ada lagi alasan untuk diam.
Begitu panggilan diangkat, wajah lelah Neo langsung muncul di layar ponsel Sienna. Rambutnya tampak sedikit berantakan, dan lingkaran gelap di bawah matanya cukup jelas terlihat.
Seketika, rasa bersalah menyelimuti hati Sienna—dia sadar telah membiarkan Neo terombang-ambing dalam diam tanpa penjelasan apa pun.
"Hai," sapa Neo dari seberang, suaranya terdengar lembut namun sarat kelelahan.
Sienna menggigit bibirnya pelan, menunduk sesaat sebelum akhirnya membalas, "Hai..."
Beberapa detik keheningan menyela di antara mereka, namun bukan keheningan yang canggung. Justru, terasa penuh dengan hal-hal yang belum sempat terucapkan.
"Aku... maaf," ucap Sienna akhirnya, suaranya pelan tapi penuh ketulusan. "Aku tahu aku diam tanpa alasan. Aku cuma... butuh waktu."
Neo mengangguk kecil. Senyum tipis namun hangat muncul di wajahnya. "Aku mengerti. Aku cuma ingin tahu kalau kamu baik-baik saja."
Sienna terdiam sejenak, menatap wajah Neo yang terpampang di layar. Hatinya terasa hangat, meski masih diliputi rasa bersalah.
"Aku nggak bermaksud ninggalin kamu dalam kebingungan. Aku cuma takut ngomong sesuatu yang aku sendiri belum yakin," tuturnya jujur.
Neo menarik napas dalam. "Kamu nggak harus buru-buru. Aku di sini... untuk dengar kamu, kapan pun kamu siap."
Sienna mengangguk pelan. Dan untuk pertama kalinya sejak pagi, senyum kecil akhirnya kembali menghiasi wajahnya.
“Aku harap kamu ada di sini,” ucap Sienna tiba-tiba, suaranya nyaris berbisik.
Neo langsung memicingkan mata, menatap wajah Sienna melalui layar. “Kenapa? Ada masalah?”
Sienna menggeleng pelan. Gerakannya tampak ringan, tapi Neo tahu—ada sesuatu yang dia sembunyikan.
“Are you sure?” tanya Neo lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut, memberi ruang jika Sienna ingin jujur.
Namun alih-alih menjawab, Sienna justru berucap pelan, “Kangen kamu…”
Neo terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. Dia mengerti bahwa kadang rindu lebih sulit diakui daripada luka.
“Kalau begitu, susul aku ke sini. Aku rasa kamu bakal suka suasana disini,” jawab Neo akhirnya, memilih mengikuti arus hati Sienna, dan membiarkannya menghindari topik yang belum siap dia bagi.
Kadang, memahami adalah bentuk paling tulus dari mencintai—dan Neo memilih itu.
Sienna terdiam mendengar ucapannya. Tatapannya menurun, namun sorot matanya berubah. Seolah kata-kata Neo menyentuh bagian terdalam dalam dirinya, menawarkan sebuah jalan keluar dari kekalutan yang selama ini ia pendam sendiri.
Mungkin terdengar sederhana, tapi ajakan itu terasa seperti secercah cahaya di tengah awan mendung.
“Tidak ada salahnya mencoba…” gumamnya dalam hati.
Sienna menarik napas pelan, lalu tersenyum tipis. Dalam diam, pikirannya mulai menyusun rencana—rencana kecil yang bisa saja menjadi titik balik dari segalanya.
Suara bel sekolah yang nyaring menandai dimulainya jam pelajaran, menyadarkan Sienna dari lamunannya. Ia mengedipkan mata beberapa kali, lalu menatap layar ponselnya—wajah tampan Neo masih terpampang di sana, dengan ekspresi lembut yang membuat hatinya menghangat.
“Um... sepertinya di sana masih tengah malam, ya?” ucap Sienna sambil melirik jam tangannya. “Kamu sebaiknya lanjut tidur.”
Nada suaranya lembut, seperti berusaha menenangkan, meski jelas ada bagian dari dirinya yang enggan mengakhiri percakapan itu. Tapi ia tahu, Neo juga butuh istirahat.
Di ujung sana, Neo tersenyum tipis, matanya mulai tampak berat karena lelah. “Iya, kamu juga jaga diri di sekolah, oke?”
Sienna mengangguk pelan, lalu mematikan panggilan dengan perasaan yang sedikit lebih ringan dari sebelumnya. Entah kenapa, meski hanya sebentar, percakapan barusan memberinya kekuatan baru untuk menjalani hari.
Dengan sedikit semangat yang mulai tumbuh, Sienna melanjutkan harinya. Untung saja Neo menelepon pagi ini—setidaknya, itu cukup untuk membuat perasaannya sedikit lebih baik.
Saat pelajaran pertama dimulai, Sienna mencoba fokus, mencatat setiap penjelasan guru dan menatap papan tulis dengan serius. Namun, di sela-sela itu, pikirannya tak bisa sepenuhnya tenang.
Sesekali, bayangan wajah Neo muncul di benaknya, diiringi satu pertanyaan yang berulang-ulang muncul: Bagaimana caranya agar dia bisa menyusul Neo ke Swiss?
Meskipun tubuhnya berada di dalam kelas, sebagian pikiran Sienna telah melayang jauh—menyusun rencana, mencari cara agar dia bisa menyusul Neo ke Swiss. Dia bahkan tidak menyadari waktu telah berlalu begitu cepat, hingga suara bel istirahat membuyarkan lamunannya.
Dengan langkah enggan, Sienna bangkit dari kursi. Dia tidak terlalu bersemangat, tapi rasa haus membuatnya memutuskan untuk keluar kelas dan menuju kantin.
Begitu tiba di kantin, pemandangan khas saat istirahat langsung menyambutnya—ramai, padat, penuh suara tawa dan antrean panjang. Sienna menghela napas pelan, mencoba mencari celah di kerumunan.
Sienna baru saja hendak melangkah ke antrean ketika seseorang berdiri di sampingnya. Dia menoleh—dan mendapati Raven di sana, mengenakan seragam dengan kancing atas yang dibiarkan terbuka.
“Penuh banget, ya,” ucap Raven ringan, membuka percakapan.
Sienna mengangguk singkat, berusaha bersikap biasa. “Iya… seperti biasa.”
Beberapa detik berlalu dalam keheningan sebelum akhirnya Raven menoleh ke arahnya, menatap Sienna dengan pandangan yang sulit ditebak.
“Lo kelihatan lebih tenang dari semalem,” ucapnya datar, tapi nggak ada nada nyinyir seperti biasanya.
Sienna sedikit kaget. “Jadi lo nyadar?” tanyanya pelan.
“Jelas lah,” jawab Raven. “Lo kelihatan kayak pengen kabur dari ruangan itu.”
Sienna tarik napas panjang. “Gue nggak tahu harus gimana… semuanya terlalu tiba-tiba.”
Raven angguk pelan. “Gue juga. Gue baru dikasih tahu pagi itu, langsung disuruh ikut makan malam.”
Sienna menatapnya, dan untuk pertama kalinya, melihat sisi Raven yang lebih manusiawi—bukan sekadar cowok sarkastis yang sering menggodanya di kelas. “Jadi lo juga nggak setuju?”
Raven angkat bahu. “Bukan soal setuju atau nggak. Kadang kita cuma dikasih peran, terus disuruh jalanin.”
Sienna terdiam. Entah kenapa, kata-kata itu terasa begitu tepat menggambarkan perasaannya saat ini.
Antrean maju, dan mereka sama-sama melangkah tanpa bicara. Setelah memesan minuman, Raven menoleh kembali padanya.
"Gue nggak bakal maksa lo ikut arus. Tapi kalau kita harus pura-pura untuk sementara, demi ngulur waktu… gue bisa bantu.”
Sienna menatapnya, sedikit bingung dengan perubahan sikapnya. “Lo kenapa tiba-tiba jadi baik?”
Raven tersenyum kecil. “Nggak tahu. Mungkin karena kita udah ‘resmi’ dikenalin. Jadi gue pikir… udah saatnya berhenti bersikap kayak musuh.”
Sienna tidak bisa menahan tawa kecilnya. “Lo tetep nyebelin.”
“Dan lo tetep keras kepala,” balas Raven cepat, membuat keduanya saling tersenyum singkat di tengah keramaian kantin.
Meski banyak hal belum terjawab, setidaknya sekarang—untuk pertama kalinya—mereka berdiri di sisi yang sama.
Dan siapa tahu, mungkin dari sinilah semuanya mulai berubah.
»»——⍟——««
Hallo semua✨
Sebelum makasih udh mampir🐾
Buat yg suka cerita aku mohon dukungannya ya, biar aku semangat updatenya💐
Dan jangan lupa follow akun ig aku @nuna.leo_ atau akun tiktok aku @im.bambigirls. Karena disana aku bakal post visual dan beberapa cuplikan.
Oke see you semua!(◠‿◕)