NovelToon NovelToon
Dion (2)

Dion (2)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Yatim Piatu / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Hantu
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.

Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?

Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Meyleen

Sudah hampir pukul tiga sore ketika Dion menuruni tangga kantornya dengan menjinjing tas duffle berisi pakaian dan sepatu yang akan ia gunakan untuk latihan di sasana tinju.

“Mau nge-gym, Dion?” tanya Mayleen yang keluar dari ruangannya.

Dion menghentikan langkah dan menoleh untuk menyahut. “Eh iya, Ibu. Hari ini aku ada latihan,” sahut Dion.

“Gym-nya di mana sih?” tanya Mayleen sambil menyusul Dion melangkah keluar dari kantor.

“Di daerah Mongonsidi. Agak macet jadi harus berangkat dari jam segini,” sahut Dion.

“Kalau ke sana naik apa?”

“Naik angkot dong, Bu!”

“Dion nebeng aku saja. Kebetulan mau ke daerah Sudirman,” Meyleen menawarkan bantuan.

“Asal tidak merepotkan Ibu saja,” Dion menerima penawaran itu.

Meyleen merupakan marketing manajer di kantor Dion. Berusia 27 tahun, seorang wanita lulusan salah satu universitas di Singapura yang diperbantukan sementara di kantor Dion oleh holding company, perusahaan induk yang merupakan investor surat kabar tempat Dion bekerja.

Di usia muda karirnya melonjak karena keberhasilannya menggaet kontrak-kontrak besar ke perusahaan induk yang bergerak di bidang shipping atau pengapalan barang internasional. Meyleen diberi tantangan baru di perusahaan surat kabar yang baru dibentuk untuk mengakselerasi perkembangan media cetak itu.

Meyleen memiliki paras cantik dan selalu tampil modis dengan pakaian yang memperkuat profil tubuh yang kerap membuat para pria salah tingkah.

Tapi statusnya sebagai manajer yang ditunjuk oleh holding company membuat pria di kantor Dion segan. Apalagi Meyleen dikenal tegas dan berdisiplin ketat membuatnya ditakuti oleh para bawahan di unit pemasaran.

Meyleen menyukai Dion yang dianggap cerdas dan selalu bersedia membantunya memahami dunia persuratkabaran dengan cepat. Selain itu, Meyleen juga menganggap Dion sebagai orang yang bisa dia ajak berdiskusi terutama mengenai estetika dari sebuah iklan.

Meyleen sempat frustasi pada bulan-bulan pertama di kantor itu. Dia sempat merasa bahwa pers adalah dunia para pria. Itu karena Meyleen harus berhadapan dengan tim redaksi yang sering konfrontatif dan dia anggap mau menang sendiri.

Tapi kehadiran Dion dalam setiap rapat gabungan memberikan rasa nyaman pada Meyleen karena pemuda itu selalu berhasil menjembatani Meyleen dengan unit lain. Apalagi Dion memiliki hubungan yang baik dengan semua unit di kantor itu.

Dion juga menempatkan beberapa desainer bawahannya yang mampu memenuhi ekspektasi Meyleen akan kualitas iklan yang ditayangkan setiap hari.

Diam-diam Meyleen sering memperhatikan Dion yang ramah meskipun cenderung pendiam. Meyleen tak pernah mendengar ada konflik atau masalah pada unit produksi yang dipimpin Dion. Hal itu menandakan Dion memiliki kemampuan memimpin dan komunikasi yang sangat baik.

Apalagi sosok Dion yang tampan, jangkung, atletis dan maskulin membuat Meyleen penasaran untuk mengenal pemuda itu lebih jauh, meskipun tahu bahwa Dion lebih muda darinya.

Meyleen menggunakan kesempatan berdua di mobil untuk mengenal Dion lebih dekat. Selama ini mereka hampir tak punya kesempatan berbincang di luar urusan kantor. Meyleen segera saja melontarkan beberapa pertanyaan mengenai kehidupan Dion.

Mulanya Dion merasa risih karena beberapa pertanyaan bersifat pribadi.

Menyadari kemungkinan Meyleen hanya ingin berteman atau sekadar berbasa-basi, Dion pun menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan sedikit candaan membuat Meyleen tertawa.

Kekaguman Mayleen pada Dion semakin bertambah ketika mengetahui pemuda itu juga paham bahasa Hokkien, meskipun terbata-bata.

“Kemampuan Hokkienku malah lebih buruk darimu. Aku hampir nggak bisa sama sekali. Lebih terbiasa dengan Mandarin karena ibuku orang Singapura,” ujar Mayleen, lalu menyipitkan mata penuh selidik. “Dari mana belajarnya? Jangan-jangan pernah punya pacar Tionghoa?”

Dion tertawa pendek. “Mana ada cewek Tionghoa yang mau sama aku, Bu.”

Mayleen mengangkat alis, menunggu penjelasan.

“Di kampungku banyak juragan kapal beretnis Tionghoa. Waktu kecil, aku sering bantu-bantu bongkar muatan pas kapal mereka pulang melaut, cari uang tambahan. Anak-anak mereka juga sering main bareng. Karena terbiasa dengar, ya sedikit-sedikit paham,” jelas Dion.

“Maksudmu, nggak ada cewek Tionghoa yang mau sama kamu itu gimana? Rasis deh,” goda Mayleen.

Dion buru-buru mengibaskan tangan. “Bukan gitu, Bu! Mereka tuh cakep-cakep, elegan. Mana mungkin ada yang mau sama aku, miskin, kampungan, jelek begini.”

Mayleen tersenyum, entah karena terhibur atau justru semakin penasaran.

“Dion bisa aja.”

Bukannya mendapatkan jawaban, ia justru mendapati dirinya ingin tahu lebih banyak tentang pemuda ini.

“Hari ini workout plan-nya apa?”

“Ibu nge-gym juga?”

“Iya, tapi cuma cardio. Eh, kok malah nanya balik?”

“Oh, iya. Workout plan, ya? Hari ini bukan nge-gym sih, tapi latihan boxing.”

“Boxing? Maksudnya?”

“Tinju.”

Mayleen menatapnya dengan ekspresi tercengang. “Ha? Dion petinju?”

“Cuma hobi, buat ngisi waktu kosong. Kebetulan sasananya ada di basement gimnasium, jadi sekalian.”

“Jangan-jangan suka berantem?”

“Hampir nggak pernah berkelahi, kecuali di atas ring.”

“Terus itu?” Mayleen menunjuk ke pipinya sendiri, matanya mengarah ke bekas luka di atas pipi kiri Dion.

Sebenarnya, Dion enggan membahas luka itu. Tapi ia juga tak ingin Meyleen mendengar cerita dari orang lain, apalagi kebanyakan orang di kantornya sudah mengetahui kejadiannya.

“Oh, itu. Aku pernah jadi korban percobaan pembunuhan. Dikeroyok orang tak dikenal, pingsan dua hari, hampir mati,” jawab Dion pelan.

Meyleen tertegun. “Serius? Siapa pelakunya? Kenapa?” tanyanya sambil tetap fokus mengemudi.

Dion mengangkat bahu. “Nggak tahu. Sampai sekarang polisi juga belum menemukan pelakunya. Tapi aku sudah melupakannya. Biarlah yang lalu berlalu.”

Meyleen melirik Dion sejenak. “Somehow, I think you knew what actually happened. At least have a clue or something,” gumamnya dalam bahasa Inggris.

Dion tersenyum tipis. “Let's just say I have a prejudice.”

“Masalah percintaan?” tebak Meyleen.

Dion malah tertawa terbahak-bahak. “Semua orang menduga begitu. Tapi tanpa bukti, aku nggak mau berasumsi. Lagipula, seperti yang kubilang tadi, aku sudah memaafkan mereka, apa pun motifnya.”

Meyleen menghela napas. “Justru itu yang bikin aku semakin yakin kalau ini soal percintaan.”

Dion tak menanggapi.

“Atau jangan-jangan, gara-gara itu kamu jadi latihan tinju?”

“Nggak juga, Bu. Cuma penasaran. Atau mungkin karena tubuhku kebanyakan produksi testosteron,” candanya, membuat Meyleen tertawa.

Sejenak suasana kembali ringan. Lalu Meyleen memiringkan kepala, menatapnya sekilas. “Aku heran, di kantor kamu panggil perempuan yang lebih tua dari aku dengan ‘kakak’, laki-laki ‘abang’. Tapi kenapa aku malah dipanggil ‘ibu’?”

“Lha, Ibu Mei sendiri selalu memanggil orang lain dengan ‘ibu’ dan ‘bapak’. Jadi kupikir Bu Meyleen lebih suka dipanggil begitu.”

“Itu biar terdengar lebih profesional,” jelas Meyleen, sadar dirinya terjebak dalam kebiasaannya sendiri. Ia sebenarnya ingin Dion memanggilnya tanpa embel-embel formal, tapi di sisi lain ingin tetap menjaga citra profesional di kantor.

“Di dunia pers, terutama di Medan, pekerja pers terbiasa menggunakan panggilan ‘abang’, ‘kakak’, dan ‘adik’. Bahkan tak sedikit yang menggunakan bahasa Melayu: ‘abangda’, ‘kanda’, ‘dinda’,” jelas Dion.

“Wartawan juga sering panggil wali kota dengan ‘abang’,” tambahnya.

“Mungkin Ibu Mey harus coba pakai panggilan itu di kantor. Biar lebih akrab dan nggak kaku,” usul Dion.

Meyleen tiba-tiba menepikan mobilnya, seolah ingin lebih serius membahas hal ini. Ia memang ingin hubungannya dengan unit lain, terutama redaksi, jadi lebih cair.

“Kenapa kamu nggak pernah cerita soal ini?”

“Lha, ini juga lagi cerita, kan?”

Keseriusan Meyleen terlihat jelas. Ia benar-benar mempertimbangkan saran Dion.

“Dulu aku juga formal, panggil ‘bapak’ dan ‘ibu’. Tapi mereka malah nyindir, ‘aku bukan bapakmu’, ‘aku bukan ibumu’. Sejak itu aku ikut-ikutan pakai ‘abang’ dan ‘kakak’,” tutur Dion.

“Tapi kalau dipanggil abang atau kakak, gimana kalau ada yang protes, ‘aku bukan saudaramu’?” tanya Meyleen.

Dion tersenyum. “Salah. Mereka justru bakal jawab, ‘aku saudaramu, dari ibu dan bapak yang berlainan’.”

Meyleen tertawa. “Aku sih kurang paham kultur di Medan. Papa memang orang sini, tapi aku lahir dan besar di Singapura.”

“Nggak apa-apa, Bu Mey. Seiring waktu pasti terbiasa. Wartawan dan redaksi di kantor kita sebenarnya baik-baik. Mereka juga sangat peduli sama rekan kerja. Nggak akan sulit mendekatkan diri.”

“Tapi kenapa kamu masih manggil aku ‘Ibu’?” tanya Meyleen, menatapnya sejenak sebelum kembali fokus ke jalan.

“Mau kupanggil kakak saja?”

“Nggak usah. Aku malah lebih suka dipanggil nama,” sanggah Meyleen.

“Bakal butuh effort buat biasain diri. Rasanya kurang sopan gitu.”

“Dion, bagaimana sih? Just give it a try!” Meyleen tersenyum menantang.

Dion menarik napas, lalu mencoba, “Meyleen. Oke, baiklah. Aku cuma nurut, lho, Meyleen.”

Meyleen tertawa puas. Ia kembali menjalankan mobil yang tadi sempat ia tepikan. “Terdengar lebih akrab, kan?”

Dion mengernyit. “Hmmm… malah kedengaran mesra.” Ia menggaruk kepala, membuat Meyleen kembali tergelak.

“Gimana kalau ‘Kak Meyleen’ dan ‘Dik Dion’? Jadi lebih akrab dan mesra. Seolah nggak ada batasan,” usul Dion.

Meyleen tersenyum samar. “You still don’t get it, do you?” batinnya.

“Malah jadi terdengar formal dan bikin aku terasa lebih tua. Panggil nama aja. Toh usia kita nggak jauh-jauh amat, kan?”

Dion akhirnya mengangguk pasrah. “Baiklah, Meyleen.”

Namun, setelah mengucapkannya, ia bergumam, “Tapi kok rasanya kayak teman kuliah, ya?”

Meyleen tertawa kecil. “Memang itu tujuanku. Sounds friendlier, right?”

Dion mendesah pelan, lalu berkata, “Meyleen.”

Meyleen melirik sekilas. “What?”

“Nothing. Just getting used to it,” sahut Dion membuat Meyleen menggelengkan kepala sebelum akhirnya tersenyum.

“Aku turun di sini aja, biar ibu.., eh, Meyleen nggak perlu mutar jauh ke Jalan Sudirman,” ujar Dion saat mobil mendekati bundaran kawasan Juanda.

Namun, Meyleen seakan tak mendengar. Ia tetap melajukan mobilnya, langsung membelok ke arah Mongonsidi tanpa ragu.

“Tuh, di depan. Itu gym-nya. Sasana tinju ada di basement,” Dion memberi isyarat agar Meyleen menepikan mobil.

Alih-alih berhenti di tepi jalan, Meyleen justru memasuki pelataran samping gedung dan memarkir mobilnya.

“Aku penasaran. Mau lihat tempat latihanmu,” ujarnya sebelum Dion sempat protes.

Dion menatapnya ragu lalu mewanti-wanti Meyleen. “Aku nggak yakin tempat ini cocok buatmu. Ini tempat latihan cowok semua, banyak yang topless, bau keringat, dan suasananya jauh dari kata nyaman.”

Meyleen tak memedulikan kata-kata Dion. Dia malah sudah keluar dari sedan birunya. Dion tidak punya pilihan selain mengajak wanita cantik itu mengikutinya memasuki sasana.

Kehadiran Meyleen di tempat itu membuat heboh. Para petinju yang menghentikan latihannya memandangi wanita yang menyertai Dion. Sebagian dari mereka bahkan bersuitan.

“Cantik, Bang!” seru Harris dengan suara rendah tapi masih terdengar oleh telinga Meyleen.

“Huss! Ini bosku di kantor. Ibu cuma ingin lihat orang latihan,” Dion seolah memberi peringatan agar rekan-rekannya menaruh hormat pada wanita itu.

“Meyleen, di lantai atas ada kafetaria. Mereka juga menjual minuman atau jus. Aku mau ganti pakaian dulu,” ujar Dion sembari menuju ruang ganti.

Meyleen menuruti saran Dion. Dia pergi ke lantai atas yang merupakan area gimnasium. Setelah menerima pesanannya berupa jus yang disajikan dalam gelas plastik, buru-buru Meyleen kembali ke tempat latihan Dion.

Ia mendapati Dion sedang melakukan lompat tali. Meyleen harus menelan ludahnya sendiri menyaksikan Dion yang melakukan pemanasan tanpa mengenakan baju. Bukan saja berotot, tapi tubuh kekar Dion juga tampak proporsional mengingat pemuda itu cukup jangkung.

Sekilas Dion melihat Meyleen yang tampak fokus memperhatikannya. “Biarlah, paling-paling sebentar lagi dia bosan dan pamit duluan,” pikirnya sambil terus melakukan lompat tali.

Setelah 10 menit, Dion kemudian meletakkan tali skipping dan memulai latihan pemanasan berikutnya, shadowboxing, gerakan-gerakan bertinju seolah bertarung melawan bayangan sendiri.

Gerakan-gerakan Dion yang memukul dengan kedua tangan disertai dengan gerakan bahu, kepala dan langkah kaki itu bukannya membuat Meyleen bosan. Wanita itu malah menikmatinya karena di matanya Dion seolah-olah sedang menari. Tarian maskulin!

“Selamat sore! Temannya Dion, ya?” Tohap menyapa Meyleen. Pelatih Dion itu sedang mengenakan punching pad di tangannya.

“Selamat sore! Iya, Pak! Boleh melihat-lihat, ya?” Meyleen balik menyapa.

“Silakan saja, Bu! Tapi harap maklum tempatnya berantakan,” sahut Tohap ramah.

Tohap kemudian mendekati Dion dan meminta pemuda itu berhenti dan bersiap melakukan latihan berikut yakni focus mitt boxing, latihan memukul target yang dipandu oleh Tohap.

Dion pun berhenti. Lalu mengambil handuk, pembalut tangan dan boxing gloves atau sarung tinju dari dalam tas duffle-nya.

Sambil menyeka keringat di dahinya ia mendekati Meyleen. “Nggak bosan melihat orang latihan begini?”

Meyleen hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Latihannya melelahkan, ya?”

“Latihan hari ini tergolong ringan. Mungkin karena sudah terbiasa juga,” jelas Dion yang mulai mengenakan handwrap atau pembalut tangan.

Dion yang berdiri sangat dekat dengannya membuat dada Meyleen berdebar. Ia bisa melihat dengan jelas tubuh berotot Dion dari jarak dekat. Ditambah cucuran keringat yang bercampur dengan aroma deodoran membuat Meyleen kembali menelan air ludah.

Di tempat fitness-nya ia sering melihat pria berotot dan berkeringat seperti Dion saat itu. Tapi mengingat Dion sedang berlatih beladiri bertelanjang dada membuat suasana terasa berbeda bagi Meyleen.

“Give me a hand, will you!” suara Dion memecah lamunan Meyleen. Dion memintanya untuk memegangi tali sarung tinju yang sedang diikatkan.

“Aku akan latihan memukul. Kalau sudah bosan Meyleen tinggalkan saja, nggak apa-apa kok. Tapi kalau mau menunggu, ntar aku traktir,” cetus Dion membuat hati Meyleen girang. Ia memang menginginkan kesempatan untuk lebih dekat dengan pemuda itu.

“Duh, lupa minum dulu sebelum pakai sarung tinju. Tolong dong, ambilin botol itu,” ujar Dion lagi sembari menunjuk ke arah botol minuman yang berada di dalam tas Dion.

Meyleen mengambil botol minuman itu, membuka penutup lalu menyodorkannya ke mulut Dion. Aksi keduanya mendapat perhatian dari beberapa petinju yang juga sedang mengenakan sarung tinjunya.

“Masih sore Dion! Tunggu sampai agak gelap napa?!” celetuk Sampe yang sedang memandu petinju lainnya melakukan latihan memukul target.

Mendengar teriakan itu, Dion pun tertawa. “Abang macam tak pernah muda saja.”

Sampe masih sibuk memandu petinju. Ia menyahut tanpa menoleh. “Ha? Kau pikir aku sudah tua. Masih bisa kupukul KO kau dalam satu ronde.”

“Iya, Bang, percaya. Abang macam tak pernah ABG saja,” Dion mengganti guyonannya membuat Sampe tertawa.

“Bukan apa-apa. Nanti kalau dilihat si Harris jadi nggak fokus dia. Dia kan masih puber,” ujar Sampe lalu meneriakkan instruksi pada petinju yang sedang ia pandu.

Mendengar dirinya dijadikan guyonan, Haris pun menyahut. “Bah, biar begini aku sudah punya dua mantan pacar. Bang Dion baru mau cari satu,” guyonnya membuat Dion dan Meyleen tertawa.

Dion lalu melakukan latihan memukul target atau focus mitt drills dipandu oleh instrukturnya, Tohap.

“Jab, jab, hook!” teriak Tohap. Dion pun mengikuti instruksi yang diberikan padanya.

“Ulangi! Kali ini lebih cepat,” Tohap kembali memberikan instruksi yang meminta Dion mempercepat pukulannya.

Latihan itu berlangsung hampir dua puluh menit.

“Latihan berikutnya apa?” tanya Meyleen sambil meminum jus dari gelas plastik yang dari tadi ia pegangi.

“Latihan tarung tapi lebih pada role playing, bukan tarung benaran. Habis itu pendingan dan selesai,” jelas Dion sambil menyeka keringat di tubuhnya.

“Cuma singkat, ya?” tanya Meyleen sambil memandangi butir-butir keringat di tubuh Dion.

“Iya! Aku ikut program untuk penghobi jadi durasinya lebih pendek. Bukan program untuk atlet tinju profesional,” jelas Dion.

Setelah kurang dari lima menit Dion lalu beranjak naik ke atas ring. Tohap lalu mengenakan helm pelindung pada Dion serta memasukkan karet pelindung gigi atau gumshield ke mulutnya.

Dion sparring dengan Sampe. Hari itu Sampe ingin berlatih meningkatkan kemampuannya dalam mengantisipasi serangan jabs atau pukulan straight. Keduanya bergantian menyerang dan bertahan.

Setelah hampir dua puluh menit keduanya berlatih-tanding. Dion dan Sampe pun menuruni ring tinju karena petinju lain akan berganti menggunakannya.

Keduanya kemudian melakukan pendinginan berupa peregangan otot yang tegang akibat pengerahan tenaga dan kecepatan selama latihan tadi.

Usai mandi, Dion mengganti pakaiannya dengan polo shirt biru dan jin hitam. Ia keluar dari ruang ganti sambil menyelempangkan tas duffle-nya dan mendapati Meyleen sedang asyik ngobrol dengan Tohap.

Sekilas ia masih bisa mendengar pembicaraan keduanya tentang keinginan Meyleen untuk bertemu dengan manajemen sasana dan fitness. “Pasti Meyleen sedang mencari peluang bisnis nih,” pikir Dion.

Pembicaraan keduanya terputus ketika Dion mendekat ke arah mereka. Dion kemudian berpamitan pada Tohap serta rekan-rekan satu sasananya.

“Sering-sering singgah, Mbak!” seru Sampe sambil melambaikan tangan pada Dion dan Meylen yang melangkah meninggalkan ruang latihan.

“Meyleen mau ditraktir makan apa nih?” tanya Dion.

Sejenak Meyleen berpikir tapi kemudian menyerahkan pilihan kepada Dion. “Apa saja deh,” jawabnya.

“Di sekitar sini ada banyak pilihan. Masakan tradisional Padang-Melayu, ada juga bakso, Chinese, Japanese, bahkan ada juga Western Food,” Dion memberi ide tapi wanita itu semakin tidak bisa menentukan pilihan.

“Tapi Kalau Meyleen lebih suka yang ringan untuk makan malam. Kita ke steak house dekat sini saja. Mereka menyediakan menu rendah kalori. Selain itu kopinya enak,” cetus Dion.

“Nah. Itu boleh. Tapi, bukannya steik itu berkalori tinggi?” tanyanya sambil masuk ke sedan birunya.

“Iya. Mereka menyediakan steik yang katanya memilih bagian tertentu dari sapi yang rendah lemak. Selain porsinya lebih sedikit, mereka justru memperbanyak salad-nya,” jawab Dion sambil memasang sabuk pengaman.

“Meyleen sedang menghindari makan malam, kah?” tanya Dion.

“Nggak. Tapi memang selalu meminimalisir asupan gula dan karbohidrat,” jawab Meyleen lalu menanyakan arah tujuan sebelum menjalankan mobilnya.

Di kafetaria itu, Dion dan Meyleen melanjutkan obrolannya. Meyleen merasa senang dengan tempat pilihan Dion itu yang tampak ramai oleh kaum profesional yang bersantai after office.

“Bagaimana dengan urusan di Sudirman?” tanya Dion.

“Tidak apa-apa. Bukan urusan penting, kok. Urusanku denganmu lebih penting,” jawab Meyleen membuat Dion mengernyitkan kening pertanda heran.

“Aku tertarik dengan idemu memperbaiki hubungan dengan unit lain di kantor,” sambung Meyleen.

“What can I do?” tanya Dion.

“Whats your advice?” Meyleen malah balik bertanya.

“Aku merekomendasikan pendekatan kecil. Misalnya bergabung sarapan sebelum rapat atau ngopi bareng setelahnya,” usul Dion.

“Mereka sebenarnya tidak begitu sulit didekati. Pepatah tak kenal maka tak sayang sangat berlaku di kota ini,” lanjut Dion yang didengarkan Meyleen dengan seksama.

“Setelah kenal malah sayang-sayangan,” lanjut Dion dengan wajah serius membuat Meyleen tertawa.

“Sikap wartawan di Indonesia, atau secara khusus di Kota Medan mungkin berbeda dengan negara lain. Di sini para wartawan bersikap lebih informal dalam pergaulan di kantor. Lebih pasaran gitu,” Dion menambahkan keterangannya.

“Don’t get me wrong, though! Beberapa dari mereka malah memiliki pendidikan tinggi. Pak Agus misalnya, dia mendapatkan PhD Communications dari Australia. Selain jadi redaktur, siang hari dia berprofesi sebagai dosen. Pak Amri malah cukup lama menjadi koresponden untuk ‘Associated Press’ dan surat kabar ‘Boston Globe’. Dia lulusan Sastra Inggris Universitas Indonesia,” kata Dion.

“Oh, really?” sahut Meyleen kagum.

“Yup!” kata Dion sambil memakan steak-nya.

“Hanya kulturnya yang berbeda. Selebihnya menurutku sama saja. Aku yakin Meyleen akan mudah berbaur dengan mereka,” Dion meyakinkan Meyleen.

“Tapi Dion berbeda dari mereka, lho!”

“Beda apanya?”

“I don’t know.”

“Lho, kok malah don’t know?”

“Hmm, Lets see! Kamu selalu mengekspresikan pikiranmu dengan kalimat yang efisien dan tak pernah sinis. Juga berwawasan luas,” jelas Meyleen dengan pujian.

“Ah. Aku tak tahu soal itu. Omong-omong sebenarnya aku baru mengenal mereka dua tahun ini. Jadi masih tergolong baru juga, Meyleen belum tertinggal jauh. Malah aku yakin mereka akan lebih senang mengenalmu daripada aku.”

“Kenapa begitu?” kali ini Meyleen yang heran dengan pernyataan Dion.

“Tentu dong. Siapa yang tidak suka berteman dan ngobrol dengan perempuan cantik dan pintar seperti Meyleen. Liat saja tadi. Semua orang di sasana berhenti latihan hanya untuk menyapamu. Mereka tidak pernah berlaku begitu pada orang lain,” jelas Dion membuat Meyleen tertawa senang karena mendapat pujian.

Obrolan berikutnya Dion lah yang melancarkan pertanyaan-pertanyaan pada Meyleen. Soal tempat tinggal, latar belakang pendidikan dan pekerjaan Meyleen sebelumnya.

Meyleen tinggal bersama pamannya di sebuah perumahan elit. Meskipun lahir dan besar di Singapura, ia sudah terbiasa dengan Indonesia karena kebanyakan keluarga ayahnya tinggal di negeri ini.

Meyleen, paling bungsu dari tiga bersaudara. Pernah tinggal di Surabaya selama masa SMP ketika ayahnya membuka bisnis pengapalan di kota itu. Ia malah memiliki paspor Indonesia.

“Mengapa memilih jadi WNI? Bukankah Singapura menyediakan insentif yang lebih baik bagi warganya?” tanya Dion.

“Aku lebih suka Indonesia,” sahut Meyleen. Tapi Meyleen kemudian menjelaskan alasan lainnya, yakni mempermudah dokumentasi legal kepemilikan aset-aset milik ayahnya yang merupakan warisan dari kakeknya.

Hari sudah mulai gelap ketika keduanya meninggalkan kafetaria itu dan kembali ke kantor.

“Terima kasih sudah memberi perspektif baru hari ini,” ujar Meyleen ketika akan memasuki ruangannya.

“Terima kasih juga sudah mengantar, nungguin latihan, malah menemaniku makan malam. Kupikir aku melewati sore yang baik,” sahut Dion membuat Meyleen merasa senang.

Tapi bukannya terpuaskan, rasa penasaran Meyleen pada Dion malah kian menjadi-jadi. Dalam hati ia mengagumi pemuda itu dan ingin lebih mengenalnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!