Ketukan palu dari hakim ketua, mengakhiri biduk rumah tangga Nirma bersama Yasir Huda.
Jalinan kasih yang dimulai dengan cara tidak benar itu, akhirnya kandas juga ... setelah Nirma dikhianati saat dirinya tengah berbadan dua.
Nirma memutuskan untuk berjuang seorang diri, demi masa depannya bersama sang buah hati yang terlahir tidak sempurna.
Wanita pendosa itu berusaha memantaskan diri agar bisa segera kembali ke kampung halaman berkumpul bersama Ibu serta kakaknya.
Namun, cobaan datang silih berganti, berhasil memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kebimbangan.
Sampai di mana sosok Juragan Byakta Nugraha, berulangkali menawarkan pernikahan Simbiosis Mutualisme, agar dirinya bisa merasakan menjadi seorang Ayah, ia divonis sulit memiliki keturunan.
Mana yang akan menang? Keteguhan pendirian Nirma, atau ambisi tersembunyi Juragan Byakta Nugraha ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25
“Ini perihal Nyonya Nirma, dia terlihat tak nyaman, beberapa kali kedapatan menangis, dan juga enggan dipanggil Nyonya, Juragan.”
Byakta menghela napas panjang. “Apa dia sudah makan?”
Melihat gelengan sang bibi, kembali dirinya menarik napas berat. “Panaskan menu tadi, siapkan dua piring di atas meja. Kami akan makan bersama! Soal nama, panggil Ibuk saja, sebagaimana Kamal memanggilnya.”
“Baik, Juragan. Em … satu lagi, saya rasa kutang yang kita beli untuk Bu Nirma kekecilan. Tadi, sewaktu melihatnya menyusui Kamal, terdapat bekas merah di bahunya akibat tertekan tali beha,” bik Ning berkata lirih, meskipun tabu, tapi baginya ini penting. Sebab sang tuan sudah memberikan titah untuk melaporkan semua tentang Nirma.
“Biarkan saja! Bila kami telah menikah nanti, dia tak memerlukan benda itu lagi!” ucapnya frontal, lalu menaiki anak tangga.
Bik Ning tersenyum masam sambil menggeleng kepala, dalam hati merutuk mantan majikannya. ‘Betapa bodohnya kau Afna. Dulu dia begitu tulus mencintaimu, tapi malah kau balas dengan pengkhianatan.’
.
.
Byakta Nugraha membuka pintu kamar, berjalan tanpa suara, rasa lelah yang tadi menggelayuti bahunya sirna seketika kala melihat Nirma tertidur sambil bersandar pada ranjang, hijab masih terpasang sempurna menutupi kepala.
Ia menoleh memandang sayang pada Kamal yang tertidur dengan posisi miring.
‘Ya Rabb, kehidupan seperti inilah yang hamba rindukan sedari dulu,’ batinnya menyuarakan keinginan terpendam.
Byakta mengikis jarak sampai berdiri tepat di samping lutut Nirma, netra yang biasa menatap tajam, kini memandang hangat.
‘Maafkan saya Nirma, telah dengan sengaja membuatmu menderita, semata-mata hanya karena ingin segera menjadikanmu permaisuri di istanaku ini.’
‘Maaf bila cara saya kejam dan tak manusiawi, tapi ini jua demi kebaikanmu. Semakin Kamal besar, dia akan bertambah kritis, bertanya siapa saya dan hubungan kita, mengapa berbeda dari pasangan para orang tua temannya yang hidup seatap, padahal ia memanggilnya sama seperti mereka, Ayah dan Ibu.’ Byakta menatap lekat pada manik tertutup rapat.
‘Dibalik itu semua, saya sudah terlanjur suka di panggil Ayah, dan begitu nyaman bila berdekatan denganmu wahai wanita lemah berlagak sok kuat,’ ia terkekeh tanpa suara, baginya Nirma sosok lucu, lugu, naif, dan sangat sederhana.
“Yah … Yah ….” Kamal terbangun, netra bulatnya menatap penuh binar bahagia.
Tidur Nirma menjadi terusik, wanita berhijab hitam itu membuka mata, pandangannya langsung bertabrakan dengan netra juragan Byakta. “Mas ….”
“Ayo turun ke bawah, temani saya makan!” Ia langsung mengangkat Kamal, membawa sang putra ke dalam dekapan. Sebenarnya dirinya sudah makan bersama Ron dan Aji.
Nirma langsung mengangguk antusias, tidak menyadari bila tindakannya itu berhasil menerbitkan senyum seorang Byakta Nugraha.
Bersama mereka menuruni anak tangga. Kamal yang hari ini sudah cukup tidur, tidak henti-hentinya mengoceh, mencoba kosakata baru.
“Mam!” serunya kala melihat hidangan di atas meja.
Cup.
“Anak Ayah sungguh pintar.” Ia kecup pipi tembam Kamal, bayi laki-laki itu tertawa geli dikarenakan bulu kumis dan jambang sang ayah menggelitik kulit wajahnya.
“Bik, saya bisa ambil sendiri.” Nirma menolak kala piringnya hendak diisi nasi putih.
“Baik, Buk.”
“Terima kasih, Bik,” hatinya menghangat mendengar panggilan yang menurutnya lebih pantas daripada nyonya.
“Bibik boleh istirahat, kami ingin menghabiskan waktu bersama.” Juragan Byakta memberikan kode melalui anggukan kecilnya.
Sang bibi pun berpamitan, lalu melangkah keluar dari ruang makan.
Kamal duduk tenang di bangku khusus bayi. Nirma begitu menikmati makanannya, rasa lapar tadi langsung lenyap.
Juragan Byakta sengaja melambatkan gerakan mengunyah, menelan. Dia menunggu dengan sabar agar Nirma benar-benar kenyang.
Tidak perlu waktu lama, Nirma menyudahi acara makan kelewat malam ini, isi piringnya juga sudah bersih.
“Mengapa sedari datang hingga petang, sama sekali tak ada makan apapun?”
Nirma menoleh, memandang malu pada raut tegas pria yang duduk di seberang meja. “Tadi masih kenyang, Mas.”
“Kenyang makan angin? Atau tak lapar dikarenakan sibuk menangis?” tatapannya terlihat biasa saja, tapi nadanya terdengar menahan kesal.
“Maaf, Mas. Saya masih sungkan dan belum terbiasa,” akhirnya ia mengakui.
“Lain kali bila lapar, ya langsung makan! Tak perlu menunggu saya! Mengerti Nirma?”
“Ya.”
Seketika suasana menjadi canggung, Nirma sibuk menunduk, sedangkan Byakta asik menikmati memandang calon istrinya dalam diam.
“Saya sudah membereskan urusanmu! Semua sesuai harapan. Kau tak payah mencemaskan apapun, hanya perlu memikirkan macam mana caranya meminta restu. Sebab minggu depan kita akan menikah,” beritahu nya, kali ini tidak menatap Nirma, melainkan mengelap air liur Kamal menggunakan kain celemek khusus untuk bayi.
“Semudah itu, Mas?” tanyanya sedikit tidak percaya, keningnya berkerut, mata memicing.
Byakta Nugraha kembali fokus kepada Nirma. “Segala sesuatunya akan mudah bila kau punya uang, dan kekuasaan dalam genggaman mu, Nirma! Bahkan hal sulit sampai dirasa mustahil pun dapat diwujudkan menjadi nyata.”
‘Mas benar, sama seperti bu Nidia dan Linda. Karena kekuasaan yang mereka miliki, jadi bisa berbuat semena-mena terhadap diri ini.’
Selepasnya, mereka kembali ke kamar masing-masing. Kamal mau pindah tempat tidur, setelah dibujuk ayah nya.
.
.
Pagi hari.
“Astaga Giren! Kau apakan Anjing mu itu?!”
Bik Ning berkacak pinggang, menatap sinis sosok layaknya tuyul tapi ini versi dewasa. Hanya Giren yang bisa membuat wanita paruh baya itu murka.
“Santai sekejap ya Bibik yang kecantikannya mengalahkan Nini Ragarunting! Aku tengah meluruhkan dosa si Anggun," katanya seraya mencukur bulu Anjing menggunakan pisau cukur manual.
"Anjing kau tu Jantan, mengapa dinamai Anggun? Sudah tak waras memang dirimu!" ketus Bi Ning.
“Apa sebab Bibik berteriak layaknya toa?!” Wulan keluar dari dalam rumah, ia langsung menjatuhkan diri di lantai teras, tertawa terbahak-bahak kala melihat rupa Giren dan Anjingnya yang begitu mirip.
“Astaga! Abang dan Anggun hendak beralih profesi jadi Tuyul kah? Nak keliling di mana kalian, Bang?” Wulan nyaris tak mampu bersuara, penampilan Giren sungguh mengaduk-aduk perutnya.
Bayangkan saja! Kepalanya botak plontos, kedua alis gundul, wajah yang biasa dihiasi kumis, kini licin bak minyak jelantah, bulu kaki keriting pun telah tiada, dibabat habis.
Sedangkan si Anggun pun sama, bulu hitam dan coklat mengkilapnya tinggal kenangan. Anjing jantan itu tidak lagi berbulu, ikutan gundul seperti tuannya.
“Tuyul Mbah mu wi!” Giren menatap sengit pada Wulan.
“Ini tu namanya mensucikan diri dari debu dosa masa lalu! Konon katanya, dengan kita mencukur semua bulu di sekujur badan, maka akan terhindar dari kesialan!” ucapnya jumawa.
“Mensucikan diri lambemu wi!” sahut bik Ning sinis.
“Percuma Bang! Percuma! Begitu kau innalilahi, langsung saja pintu kawah neraka terbuka lebar, dan Malaikat Malik menyambut seraya berkata ‘Masuk sendiri atau saya sepak!’ Terus_”
“Sini kau! Biar ku kuncir muncung mu itu!"
“Ehem!” Ron berdeham, menghentikan tindakan kekanakan rekan kerjanya yang baru saja tiba, tapi sudah membuat keributan.
***
Sedangkan di lantai atas.
“Sudah siap belum, Buk?” Byakta masuk ke dalam kamar Nirma.
‘Apa Mamak dan Mbak Mala mau merestui kami ...?’ hatinya dirundung rasa cemas luar biasa, sampai keningnya berkeringat.
"Mas, nanti kita main juga ke rumah Wak Sarmi, ya ...?"
.
.
Bersambung.
Next ... Nirma bertemu keluarga dan para sahabatnya, tapi ini saya buat versi berbeda, biar tak sama seperti di Gamala ❤️
Gak tahu aja mereka, kalau juragan Byakta dan Aji sudah mepersiapkan seminggu sebekum hari H.nya.
merusak suasana saja 😂
itu perut sebuncit apasih? kok disebut-sebut terus, jangan bilang sebuncit orang hamil tujuh bulan 😆